[15] kajian

770 145 19
                                    

"Ayo De! Mandi sana!"

Deya hanya menggeliat lalu menarik selimutnya sampai menutupi semua tubuhnya. Aku berdecak pelan. Bekerja sebagai freelance dan semenjak putus kerjaan utama dia ya ini, tidur.

"Kan kemarin kamu udah janji siang ini mau ikut aku ke pengajian," ucapku menggerutu. Padahal kemarin dia janji ikut dalam kajian pekanan yang di isi Ustadzah Salamah.

"Khaphan?" Dia berkata di balik selimutnya membuat suaranya teredam. Aku mendengus menarik kasar selimut tapi di tahan olehnya, sehingga terjadilah adegan tarik menarik selimut. Namun pada akhirnya aku yang kalah dengannya, gimana nggak kalah kalau dia aja mantan atlet voli, jelas banget lengannya kuat.

Aku merogoh sakuku, "Ini nih ini," kataku menunjukkan bukti chat kemarin. Dia membuka sedikit selimutnya menatap ponselku lalu tertawa cengengesan. Aku memandangnya datar.

"Tapi...nggak ngebosenin kan? males ah gue nanti di sana bukannya ilmunya nyantol malah ngewes gara-gara ketiduran." Dia menarik lagi selimutnya namun aku kembali membukanya, "Aku jamin kamu nggak bakalan ketiduran deh. Pengajiannya kali ini asik kok, Ustadzah Salamah yang milih tempatnya. Kamu pasti suka."

"Siang-siang gini mau keluar pake motor? Lo nggak ngerti panasnya udah kayak ngebakar kulit." Dia bangkit duduk menghentak-hentakkan kakinya pada kasur sambil merengek kepadaku.

"Kamu nggak berniat buat ngebatalin janji kan?" Dia terdiam sebentar lalu menggeleng kaku.

"Anggep aja nyari pahala biar dapat Ridho Allah. Di Surabaya yang panasnya bahkan nggak sampai seperjutanya neraka aja kamu nggak kuat gimana di nerakanya. Ayuk nyicil pahala biar bisa masuk surga." Walau enggan dia menurut, berjalan gontai sambil menggelung rambutnya tinggi-tinggi.

"Nih aku bawain kamu khimar sama gamis, di pakai ya!" Dia hanya menggangguk sekenanya lalu pergi ke kamar mandi. Aku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Huh, dasar.

###

Deya memandangku dengan tatapan tak percaya, "Beneran tempatnya di sini? Lo nggak salah alamat kan, Ra?"

Aku mengalihkan pandangan ke arah ponsel yang menunjukkan GPS kiriman Mbak Lila-salah satu sahabatku yang merupakan anak Ustadzah Salamah-lalu mencari nama kafe di jalan ini.

Aku mengangguk, "Iya bener kok, ini tempatnya. Nih kamu lihat sama kan kayak yang ada di google maps?" Kepala Deya serong untuk melihat ponsel yang kusodorkan padanya.

"Jangan percaya banget sama google maps, dulu gue pernah ketipu. Maunya ke salon tante gue, eh malah nyasar ke kuburan, mana gang masuknya sempit nggak bisa putar balik lagi." Dia bersungut-sungut menjelaskan pengalaman kurang menyenangkannya dengan salah satu aplikasi penunjuk arah.

"Masa salah sih?" gumamku lirih, jauh-jauh datang kesini malah salah tempat.

"Balik aja yuk, Ra. Bener nih emang salah alamat, udah balik aja. Panas nih!" rengeknya dengan tangan kanan yang sibuk mengipasi wajahnya semetara tangan kirinya di taruhnya di depan dahi sebagai penghalang cahaya matahari. Walau kami sudah berteduh di bawah pohon, namun tetap saja teriknya matahari terasa menyengat di kulit apalagi selepas Dhuhur adalah jam panas-panasnya matahari.

Sedangkan aku memilih berkutat dengan ponsel mengabari Mbak Lila untuk memberi tahu alamat tempat pengajian lagi atau kalau nggak menjemput kami di depan teras.

Don't Fall in Love, It's a Trap! [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang