[2] bucin

3.2K 845 152
                                    

REPUBLISH

Happy reading.
.

.

Sudah pernah kubilang bukan, penyakit bucin tidak memandang rupa, harta dan usia. Sama halnya dengan Deya, seorang Arasyad, sepupuku juga termasuk golongan pembucin sejati. Peribahasa yang cocok untuk menggambarkan hubungannya dengan kata bucin adalah dimana ada gula disitu ada semut, dimana ada Bang Aras disitu bucin selalu ngikut.

Umur dua puluh sembilan tahun bukan cerminan seseorang bisa menjadi dewasa, buktinya Bang Aras. Diumur segitu, uang hasil kerja kerasnya seharusnya ditabung untuk rencana membangun keluarga dimasa depan. Tapi separuh gajinya sebagai guru olahraga di SMA Negeri habis untuk membelanjakan Dek Nana--pacarnya yang masih menjadi mahasiswi semester tiga jurusan akuntasi. Untung saja dia tidak perlu diribetkan membayar uang kos karena tinggal bersama Bapak. Yah bayangkan saja, gaji seorang guru tidak begitu besar tinggal separuh harus dipotong lagi dengan pembayaran kos. Menjadi anak rantau yang jauh dari keluarga karena penempatan PNS membuatnya tidak punya pilihan untuk ikut tinggal di rumah Bapak yang dekat dengan tempatnya mengajar.

Lamunanku runtuh mendengar senandung lirih dari Bang Aras yang kini keluar dari kamarnya dengan wajah yang berseri-seri.

"Mau kemana, Bang? Wangi amat?" tanyaku mengendus parfumnya yang menguar saat dia berjalan mendekatiku.

"Kenapa ganteng ya, gue?" tanyanya tengil sambil menyisir rambutnya dengan jari. Aku mencibir pelan. Rasulullah yang presentase ketampanan di dunia ini lima puluh persen saja tidak pernah sombong. Nabi Yusuf yang presentase ketampanan dua puluh lima persen sampai membuat para wanita dijamannya mengiris jari juga tidak sombong. Lah dia yang kadar ketampanannya nggak ada seperempat sisa ketampanan semua laki-laki di dunia bisa senarsis ini?

"Ya iya dong wangi. Mau kencan nih sama Dek Nana. Emangnya lo jomblo, weekend cuma rebahan nonton spongebob," cibirnya melihatku asik menonton televisi, membuatku berdecih dan melempar sampai kulit kuaci ke arahnya. Memang apa salahnya hari minggu bersantai dengan menonton animasi sponge kuning bercelana kotak itu?

"Halah, bilang aja mau jalan buat bayarin belanjaannya Dek Nanamu kan?" Mendengar itu dia hanya cengengesan sambil garuk-garuk kepala.

Kesan saat pertama kali aku bertemu dengan Nandana adalah dia gadis yang manja, boros dan suka berbelanja. Aku masih bisa memaklumi apabila mentraktir belanjaannya sesekali, cukup wajar. Tapi kalau setiap kencan dibayarin yah, Bang Aras yang torok. Nandana yang pinter ngerayu dan Bang Aras yang gampang luluh aadalah kesatuan yang pas untuk menjadi gembel dalam sekejab. Bukan maksudku menghina prinsip perempuan harus matre pada saatnya atau prinsip laki-laki bertanggung-jawab adalah yang mentraktir pasangannya. Kadang prinsip seperti itu harus tahu situasi dan kondisi.

Aku memindai penampilan Bang Aras dari atas sampai bawah, "Tumben pakek style kayak cowok Korea? Ponian pula? Bukannya abang paling anti ya gaya cowok kemayu kaya mereka?" sindirku melihat dia memakai celana jogger berwarna army dan kaos oblong hitam yang dilapisi jaket bomber yang berwarna senada dengan celananya. Wajahnya yang sebenarnya tampan tapi nggak keurus itu berubah, karena rambut yang biasanya disugar ke belakang, kini dibiarkan diponi menutupi dahinya mirip gaya ulzzang boy Korea¹. Padahal biasanya dia kalau kemana-mana cuma pakai jeans jadul, kaos oblong dan sandal jepit kesayangannya.

"Nana minta gue ponian dan coba pakek style kayak gini. Katanya biar nggak kelihatan lagi jalan sama om-om," sahutnya sambil memakai sneakersnya satu persatu. "Tapi mau digimana pun gue tetep ganteng, ya nggak?"

"Geer. Lagian kalau nggak suka jangan dipaksain kali. Kalau emang sesayang itu sama abang, dia bakal terima apa adanya bukan ada apanya." ucapku sebal, gini nih kalau udah jadi bucin, segala sesuatu yang kadang nggak disuka rela jadi suka karena permintaan pasangan.

Don't Fall in Love, It's a Trap! [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang