[28] (the truth : Arasyad)

1.1K 100 19
                                    

Dua part lagi dah tamat jadi siap-siap sama endingnya, wkwk.

Happy enjoy.

Aku masih belum sepenuhnya percaya bahwa orang yang melamarku tadi siang adalah Pak Wisnu. Benar-benar tidak terduga. Orang yang ku kira sudah mempunyai istri satu anak satu itu ternyata masih single. Dan bahkan semua anggota keluargaku kenal dekat denganya, kecuali aku! Hey, kebetulan macam apa yang ku alami ini?

Tapi kalau dipikir-pikir lagi, kebetulan lain yang berkaitan dengan Pak Wisnu sering terjadi sih. Seperti saat ban sepedaku bocor, dia yang kebetulan lewat, berhenti dan membantuku. Tidak sengaja bertemu di mall saat dia sedang bersama Ziana. Dan juga ketidaksengajaan lagi saat tahu dia ternyata pemilik kafe tempat kajian mingguan. Tentu, jangan lupakan saat dia dengan berani membantuku menolong Deya. Bukankah ini terlalu kompleks jika disebut kebetulan? Ataukah memang takdir yang sudah digariskan Tuhan?

Namun, bila ditilik lebih jelas. Pak Wisnu adalah sosok pria sekaligus ayah yang baik--sebelum aku tahu bahwa hubungannya dengan Ziana hanya sebatas paman dan keponakan. Dia menjadi seorang yang gentleman saat menghajar Randi dan mengajarinya perihal tanggung jawab. Menjadi ayah yang baik saat bersama Ziana walau bukan ayah dan anak.

Dingin dari gelas yang menempel di pipi membuatku sadar dari lamunan. Bang Aras menyerahkan segelas es teh dan duduk di sampingku. Dia juga membawa segelas es teh lain di tangan kirinya lalu diteguknya perlahan.

"Minum es malem-malem di luar gini nggak takut masuk angin, bang?" tanyaku heran sambil meletakkan gelas es teh pemberiannya di meja.

"Biarin! Lo nggak tau aja sensasi segernya minum es dinikmati bareng angin malam. Brrr ... seger." Dia terkekeh kecil lalu menaruh kakinya di atas meja taman belakang. Namun sedetik kemudian meringis kesakitan karena pahanya kupukul dengan tangan.

"Wah ... sadis ya lo sama gue. Gue nggak bayangin sekasihan apa Bala setelah nikah sama lo! Ck ck!" cibirnya sambil berdecak sebal. Aku kembali memukul pahanya keras.

"Kok abang panggil Pak Wisnu dengan panggilan Bala, ya?"

"Nama dia kan Bala Wisa Nugraha, jadi nggak salah kan gue panggil dia Bala? Lah, lo malah yang aneh! Setahu gue panggilan Wisnu bukannya cuma buat keluarganya ya? Soalnya biasanya Mbak Ranti sama Tante Dewi suka panggil gitu. Lah lo bukan siapa-siapanya kok manggil dia Wisnu?" selidiknya.

"Ya ... Ziana selalu panggil dia dengan sebutan Ayah Wisnu, Ra kira namanya memang Wisnu."

Dia berpikir sejenak. Lalu memekik kepadaku.

"Jangan bilang, Pak Wisnu yang nolongin lo sama Deya pas digebukin Randi itu Bala?"

Wah, sepertinya tata bahasa Bang Aras perlu diperbaiki. Digebukin? Bukankah itu terlalu kasar?

Dia tampak tak sabar menunggu jawabanku, namun kubalas hanya dengan anggukan. Mendengar itu dia kembali berpikir.

"Jangan bilang lagi, yang waktu itu lo juga diundang ke acara tasyakuran ulang tahunnya Zizi?" tanyanya lagi.

Aku kembali mengangguk. Tapi, tunggu dulu, bagaimana dia bisa tahu aku diundang?

"Bentar! Abang tau darimana?"

"Wuah! Gue juga diundang!" Dia memekik sambil berdiri dan menutup mulutnya tidak percaya. Jadi, kado yang dibawanya dulu bukan untuk Nana tapi Ziana?

"Jadi, gini yang namanya takdir. Padahal gue cuma berniat ngenalin tapi kok bisa sejauh ini," gumamnya namun masih bisa tertangkap di telingaku.

"Apa maksudnya kata 'ngenalin'?" tanyaku dengan mata memicing curiga. Kayaknya ada sesuatu yang dia sembunyikan, tapi berusaha dia tutupi.

"Udah terlanjur basah, yaudah deh nyelem sekalian," gumamnya lagi.

Dia berdeham dua kali lalu dengan kikuk membuka suara, "Lo inget dulu gue pernah izin ndoro ayu ngajak main temen gue ke rumah ini?" Aku mengangguk. "Bala yang ke sini."

"Terus, apa hubungannya sama ngenalin?"

Dia berdecak kesal, "Bentar, elah! Belum kelar nih gue ceritanya! Jangan dipotong dulu!"

Aku tersenyum malu lalu menyuruhnya kembali bercerita.

"Ya ... gitu lo tau sendiri dia umurnya udah siap buat nikah tapi masih sendiri tapi Tante Dewi desak dia buat cari calon mantu. Lah, gue inget lo kan juga jomblo. Niat baik gue mau ngenalin lo berdua."

"Tapi, nyatanya abang nggak pernah ngenalin tuh?"

Dia mengangguk-angguk, "Nah, itudia. Katanya, dia pengen tahu orang macem apa lo itu, mangkanya dia pakek alasan Zizi buat beli baju di butik lo. Sebulan setelah itu dia bilang ke gue pengen ngajak serius hubungan sama lo. Tapi, habis itu dia bilang mau mundur. Nggak tau alesannya apa," jelasnya. "Lah, sekarang tiba-tiba malah semangat mau ngelamar lo! Padahal kata Ustaszah Salamah mau taaruf dulu, kan?" Aku mengangguki.

Benar juga setelah Mas Gala datang, frekuensi kehadiran tidak pernah lagi terlihat. Dan, aneh nggak sih? Setelah dia bilang kepada Bang Aras mau mundur tapi sekarang malah datang melamarku?

"Lo nggak usah khawatir, dia anak baik-baik kok. Pinter untuk urusan agama. Bibit bebet bobotnya juga gue berani jamin baik. Gue bahkan akrab sama mamanya, Tante Dewi," ujarnya. "Eh, lo udah tau belum? Dia dulu temen sekosan gue waktu dulu kuliah, walau nggak sejurusan sih."

"Udah, Mbak Ana yang cerita waktu acara tujuh bulanannya kemarin," terangku padanya.

"Jadi, jangan takut buat jatuh cinta lagi. Kalau dia sampai buat lo sakit hati, walau temen kalau dia nyakitin lo gue siap pasang badan," pesannya menatapku hangat.

Kenapa suasananya jadi melankolis gini sih? Walau Bang Aras yang suka grusak-grusuk nggak sekalem Mbak Ana, dia orang yang selalu siap siaga menjagaku setelah Bapak. Dia bukan lagi pamanku melainkan kakak laki-laki yang selalu bersedia melindungi adik perempuannya.

"Ck, jangan bikin Ra pengen nangis, dong!" raungku kesal sambil mengusap air mataku yang meleleh keluar.

"Lah, lo malah udah nangis kali!" selorohnya.

"Abang, ish!"

Dia tertawa terbahak-bahak sampai memegangi perutnya, "Sorry-sorry, lo ngakak soalnya. Kalau jadi istri nanti jangan cengeng-cengeng! Kalau nanti ada masalah, apapun itu. Coba dibiracain baik-baik dulu, jangan sampe kebawa emosi."

Aku merotasikan bola mataku malas. Dia mikirnya kejauhan.

"Baru juga lamaran! Nikahnya masih lama kali!" jawabku remeh.

"Lah? Gue denger tadi kata bang Edwar seminggu lagi mau diadain akad?" sahutnya enteng lalu meneguk es tehnya yang ada di meja.

TUNGGU DULU!

AKAD?

SEMINGGU LAGI?!

"HAH?! GIMANA-GIMANA?!" teriakku tepat di depan telinga Bang Aras. Dia yang terkaget mendengar suaraku pun terperanjat dan terbatuk-batuk karena tersedak es teh yang di minumnya.

"Heh, Masyaallah. Suaramu! Jangan ngagetin gue! Kalau gue mati keselek gimana? Kan, nggak lucu!" pekiknya. "Tuhkan baju gue jadi basah! Lo sih!" kesalnya dengan tangan yang sibuk mengibas-ngibaskan bajunya yang basah.

"Eh! Maaf-maaf! Yang dibicarain bapak soal akad itu, akad aku sama Pak Wisnu?" cicitku.

"Yaiyalah, maemunah! Masak gue! Kan yang dilamar lo!"

Wah, tolong beritahu ini semua cuma palsu atau beritahu sekarang ini semua cuma prank! Benar, memang aku ingin segera menikah, tapi nggak seminggu lagi juga!

Ya Salam, apa lagi ini?

TBC

Don't Fall in Love, It's a Trap! [✔]Where stories live. Discover now