[8] Deya

1.2K 338 76
                                    

REPUBLISH

Happy reading.
.

.

Dalam perjalanan menuju rumah Randi, walau masih menangis dan menahan isak yang keluar namun mulutku tidak berhenti merapalkan doa.

Ayolah, jangan sampai terjadi apa-apa dengannya. Ingatanku melambung mengingat perilaku-perilaku nakalnya. Walau ucapan narsisnya kadang membuatku jengkel setengah jiwa, dalam lubuk hatiku yang paling dalam aku tidak mau dia terluka.

"Kamu tarik napas dalam-dalam, dia pasti baik-baik aja." Aku menuruti perintah dari wanita paruhbaya di sampingku yang merupakan Nenek Ziana. Mama Pak Wisnu menepuk-nepuk punggung tanganku lalu mengusapnya pelan.

Perlahan, aku menarik napas dalam berusaha tenang.

"Rumahnya yang mana?" tanya Pak Wisnu ketika mobil sudah sampai di komplek perumahan Randi, aku yang duduk dibelakang bersama Mama Pak Wisnu menunjuk rumah bercat hijau muda.

Kemudian Pak Wisnu memarkirkan mobil tepat di depan rumah Randi. Kami bertiga bergegas masuk saat mendengar suara barang pecah dan teriakan dari dalam rumah.

Saat merasa pintu tidak dikunci, aku langsung masuk dengan perasaan kalut. Rumah Randi berantakan dengan banyak pecahan keramik di lantai. Namun mataku membulat sempurna mendapati Deya sudah tergeletak di depan sofa dengan darah mengalir di sekitar dahinya. Aku berlari menghampiri Deya yang nampak kacau, menaruh kepalanya di pahaku sambil menepuk pipinya.

"Ngapain lo di sini!" Mataku menatap Randi tajam, berani-beraninya dia memukuli sahabatku ini yang bahkan orang tuanya tidak pernah berlaku kasar kepadanya.

"Aku udah tahu akhirnya bakalan kayak gini, memang dari dulu seharusnya Deya dengerin kata-kata aku buat nggak pacaran sama cowok brengsek kayak kamu. Ah, jadi kemarin yang buat pergelangan tangan Deya memar itu kamu juga?" Wajah Randi mengeras, matanya menyorot tajam kepadaku. Tangan kanannya mengarah ingin menamparku. Aku memalingkan wajah, menutup mataku erat.

"BACOT! SEMUA WANITA SAMA AJA! SAMA-SAMA JALA-"

BUGH!

Aku terkejut.

Sebelum Randi menyelesaikan kalimatnya, dia tersungkur mencium lantai setelah mendapat tinjuan di rusuknya. Randi meringis sakit dengan Pak Wisnu menatapnya dengan raut tak suka.

"Sudah kodratnya seorang wanita mendapat perlindungan dari seorang laki-laki. Tapi laki-laki yang sudah berani menyakiti wanita dengan kekerasan verbal bahkan sampai kekerasan fisik, sudah pantaskah kamu dipanggil sebagai laki-laki?" Kalimat yang keluar dari mulut Pak Wisnu benar-benar dingin dan menusuk walau di akhiri dengan tanya mengejek, tetap membuat bulu kudu di sekitar tengkukku seketika meremang. Melihat reaksinya, aku seolah melihat orang yang berbeda dengan Pak Wisnu yang biasanya ramah.

"Kamu nggak kenopo-keno tho, nduk¹?" Mama Pak Wisnu yang kini ikut berjongkok di sebelahku, beliau terpekik menatap keadaan Deya yang tak sadarkan diri. Aku menggeleng menjawabnya.

Randi tertawa sinis, "Lo cuma orang luar yang nggak tahu apa-apa! Nggak usah ikut campur!"

"Sampai sini kamu belum sadar kesalahanmu? Ah! sepertinya memang gendermu perlu dipertanyakan?"

Tangan Randi mengepal menahan amarah, matanya memandang Pak Wisnu dengan penuh kebencian. Dia beranjak menarik kerah Pak Wisnu lalu sekuat tenaga membalas menonjok wajah Pak Wisnu, aku dan Mama Pak Wisnu menjerit memanggil namanya.

Pak Wisnu bangkit lalu mengusap darah di ujung bibirnya dengan jempolnya. Diam sejenak.

BUGH!

Don't Fall in Love, It's a Trap! [✔]Where stories live. Discover now