[20] you're save

841 96 7
                                    

Bahagiaku adalah cukup melihat orang yang aku sayangi berada pada jalan ketaatan. Dan hari ini dadaku membuncah diisi dengan letupan perasaan bahagia, sesederhana empat orang di depanku. Bapak yang kini menyampirkan sajadah di bahunya, Ndoro Ayu yang membenahi letak mukenahnya, sementara Bang Aras sedang memakai kopyah putih pemberianku. Mataku bergulir menatap sahabat karibku yang masih fokus dengan buku berjudul "Sirah Nabawi" di pangkuannya.

Terlalu sibuk dengan dunia akhirnya kami dapat meluangkan waktu untuk sholat berjamaah di Masjid komplek. Tanpa sadar aku memekik, meninju udara dengan semangat.

"Oi!"

Aku menoleh menatap keempat pasang mata yang kini memandangku dengan tatapan ini-anak-sehat?. Senyum tak berdosa adalah cara yang pas untuk menanggapi situasi akward seperti ini.
Deya meletakkan bukunya di meja, berjalan menghampiriku dan meletakkan tangannya di keningku.

"Nggak panas." Dia mengangguk-angguk, "Kayaknya efek patah hati bikin otak lo agak geser ya?" tanyanya prihatin sedangkan Bang Aras mempraktikkan ucapan Deya dengan membentuk garis miring menggunakan telunjuknya di depan dahi.

Pipiku menggembung.

"Kayak kamu juga nggak habis patah hati aja. Tolong patah hati jangan teriak patah hati." Dia mendelik.

"Sama-sama korban laki-laki dilarang saling menghujat," lerai Ndoro Ayu.

Kami berdua terdiam, skak mat.
"Loh loh, mbak. Aras kan juga laki-laki. Jangan disama ratakan dong," ujar Bang Aras tidak terima.

"Yang bilang kamu perempuan siapa?"

Mendengar celetukan Ndoro Ayu membuatku dan Deya tidak tahan untuk tidak tertawa ngakak sampai menetesakan air mata. Bibir Bang Aras mengerucut mendengar respon lempeng dari Ndoro Ayu. Memang ya kalau berurusan dengan Ndoro Ayu, sekali kena skak langsung kicep, hahaha.

"Udah jangan ribut terus, udah adzan. Ayo berangkat." ucap Bapak menutup perdebatan kami.

Deya beranjak mengambil buku yang tadi dibacanya lalu dimasukkan ke dalam totebag-nya, "Iqro' nya udah dibawa?" aku bertanya dan mendapat anggukan darinya.

Sudah dua minggu Deya belajar membaca Al - Qur'an dengan Ummu Fatima-teman Ustadzah Salamah yang bersedia membantu Deya membaca Al - Qur'an, tapi kami memanggilnya Ummu Fat-setiap hari senin sampai kamis selepas sholat isya. Itulah alasan mengapa dia ada disini dan membawa buku iqro' sebagai awalan untuknya.

"Ayo." Kami berjalan bersama menuju Masjid kompleks.

###

Selepas isya, di dalam Masjid tersisa beberapa anak kecil-yang juga ikut mengaji bersama-dan beberapa orang yang masih menunaikan sholat Sunnah. Ndoro Ayu, Bapak dan Bang Aras memilih untuk pulang.

Karena harus mengantri membaca, aku menemani Deya sambil membaca buku yang dibawanya tadi. Mendongak menatap Deya yang kini mengulang bacaannya kemarin sambil menunggu giliran membuatku salut, perjuangannya untuk hijrah bukan main-main dan bukan cuma omong kosong.

Setidaknya kami menunggu dua puluh menit sampai giliran Deya, anak-anak kecil yang tadi mendapat giliran duluan pun sudah pulang menyisakan Deya. Aku masih setia menemaninya yang kini duduk meletakkan buku iqra' di meja kecil pembatasnya dengan Ummu Fat.

Don't Fall in Love, It's a Trap! [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang