[16] belajar hijrah

756 132 13
                                    

Kaget, kikuk dan canggung itulah yang aku rasakan ketika mengambil kunci motorku yang berhasil diambilkan oleh Ayah dari Ziana. Dengan gerakan cepat aku mengambil kunci motorku dari tangan Pak Wisnu, lalu dengan segera kami mengalihkan pandangan.

"Kalian saling kenal?" tanya Ustadzah Salamah yang tiba-tiba saja sudah berdiri di sampingku, membuatku sedikit terkejut dan mundur satu langkah.

"Ayahnya pelanggan saya, ustadzah." Ustadzah Salamah menaikan sebelah alisnya bingung menatap Pak Wisnu. Namun tersela penjelasan Mbak Lila.

"Dia yang berbaik hati mau menawarkan kafe ini untuk tempat kajian hari ini loh," jelas Mbak Lila kepada kami.

"Jadi, bapak pemilik kafe ini ya?" Pak Wisnu hanya mengangguk dan tersenyum kecil menanggapi pertanyaan Deya.

Cukup kaget sebenarnya mengetahui fakta, bahwa Pak Wisnu pemilik dari kafe yang sejak pertama kali masuk membuat aku dan Deya terpesona pada pandangan pertama. Terpesona dengan desain dan konsep kafe yang cocok untuk menjadi media sharing ilmu karena ada perpustakaan yang lumayan besar di tengah-tengah kafe sekaligus bisa menjaga pandangan.

Hening,

Deya menjawilku, menyuruhku untuk segera pamit sebelum semakin sore, "Yang tadi terimakasih pak sudah dibantu mengambilkan kunci saya. Kalau begitu saya pamit dulu mau pergi lagi soalnya. Mari ustadzah, Mbak Lila, Pak Wisnu. Assalamualaikum."

Setelah mengucapkan salam, kami berdua bergegas menuju gramedia terdekat untuk membeli beberapa buku bacaan islam yang mungkin bisa sebagai wawasan dalam proses hijrah Deya.

Pertama kali kami sampai di dalam Gramedia, mata Deya memancarkan binar kebahagiaan. Buku tentang islam berada di rak paling pojok sebelah kanan pintu masuk tapi Deya malah ngancir pergi menuju rak yang berada di bagian tengah toko. Melihatnya membuat dahiku mengkerut bingung. Namun tak urung aku mengikutinya.

Dia sudah berdiri di depan rak yang bertuliskan romance, sambil memperhatikan buku yang baru diambilnya. Mendapati aku disebelahnya dia menatapku dengan wajah senang sekali.

"RA! UDAH TERBIT RA!" pekiknya tertahan.

Terbit?

Dia memperlihatkan buku romantis bercover wajah artis korea yang merupakan idolanya, "Buku yang gue tunggu-tunggu sekarang udah terbit! Gue harus beli ini! Harus!" ucapnya ingin melenggang menuju kasir.

Sebelum itu aku mencekal tangannya, dia menatapku bingung, "De. Tujuan kita ke sini tadi mau beli apa?" Dia menggigit bibir bawahnya, "Tapi, Ra. Nggak ada unsur maturenya kali. Masa gara-gara hijrah nggak boleh baca ginian sih? Ribet amat."

"Buku model kayak begitu di rumahmu udah ada satu lemari kali, De. Daripada kamu girang dan mewek gara-gara baca buku perbucinan, lebih baik kamu ikut aku deh. Aku kasih tahu buku yang bagus banget."

Dia dengan tidak rela mengembalikan buku tadi ke tempatnya semula tapi tetap memandang dengan penuh harap. Aku meliriknya dengan tatapan ayo!-kamu-nungguin-apa-lagi?. Hanya dapat menghembuskan napas pasrah ia akhirnya berjalan gontai mengikutiku.

Kami berjalan menuju rak bertajuk islam, aku mengambil satu buku lalu menyerahkan pada Deya.

Dia menatapku penuh tanya, "Bilik-bilik cinta Muhammad?" kuangguki pertanyaannya.

Don't Fall in Love, It's a Trap! [✔]Where stories live. Discover now