[12] heboh

1K 208 65
                                    

REPUBLISH

Happy reading.
.

.

Aku mengembuskan napas kasar, entah sudah berapa banyak kerabatku yang tiba-tiba meneror dengan panggilan telepon. Ini semua karena kabar perkenalanku dengan Mas Gala yang menjadi trending topik dalam grup WhatsApp keluarga besar--walau kejadian itu sudah terjadi dua hari yang lalu. Mereka terlalu antusias dengan perkembangan hubungan kami. Baru perkenalan sudah seheboh ini bayangkan kalau sampai menikah bisa-bisa notifikasi teleponku jebol.

Kini ponselku kembali berdering menampilkan nama orang yang menganggap dirinya berjasa karena berhasil mengenalkanku dengan Mas Gala. Siapa lagi kalau bukan Budhe Sum.

"Assalamualaikum, halo?" salamku meletakkan ponsel di meja lalu mengatifkan loudspeaker. Fokusku terbagi dua, menganalisa catatan penjualan bulan ini dan telepon dari Budhe Sum.

"Iya, Waalaikumsalam. Gimana? cocok ndak sama Gala?" tanya Budhe Sum, aku merotasikan mataku malas, pertanyaan yang mirip seperti yang diajukan beberapa kerabat yang tadi meneleponku.

"Belum tahu budhe, kan kemarin baru tahap perkenalan. Kayaknya Ra perlu pertimbangan dan sholat istkharah dulu deh."

Karena menyatukan dua insan dan dua keluarga dalam pernikahan bukan perkara yang bisa dianggap sepele, banyak yang menjadi bahan pertimbangan dan tidak bisa diputuskan dalam waktu yang singkat. Perlu untuk mendekatkan diri kepada Allah dan sholat istikharah adalah pilihan yang tepat untuk memilih keputusan yang benar-benar matang.

"Ck, apalagi sih yang perlu dipertimbangkan? Ganteng? Mapan? itu sudah jelas ada pada dirinya Gala. Kamu itu mau cari yang kayak gimana lagi? Nggak usah cari yang muluk-muluk. Kalau Gala juga kamu tolak, bisa-bisa kamu beneran jadi perawan tua."

Lagi! Lagi dan lagi. Memang ganteng dan mapan adalah segalanya? aku menikah bukan hanya untuk meraih dunia tapi juga akhiratnya. Lebih baik mempertimbangkan akhirat yang kekal daripada dunia yang fana, kan? Yang kuutamakan adalah suami yang baik akhlaqnya dan juga mampu membimbingku menjadi lebih baik untuk masuk ke surga bersamanya.

Aku berdecak kesal, "Bukan Ra nggak mau nikah budhe, tapi pernikahan bukan persoalan sepele. Ra butuh waktu untuk memikirkan matang-matang. Ibu sama bapak juga nggak maksa Ra untuk lanjut hubungan ini kalau Ra memang nggak nyaman."

"Bapak ibumu itu tahu apa, anaknya udah matang nggak ndang dinikahn! wes talah percoyo karo budhe, uripmu bakalan enak. Kamu lihat Karin, bahagia kan sehabis nikah."

"Tapi budhe--"

"Wes tak tutup, pokoke kabari kelanjutan hubunganmu yo. Wassalamualaikum."

Belum sampai aku menjawab salam, sambungan telepon terputus dari pihak seberang. Rasanya tanganku gatal ingin mencabik-cabik mulut sengak milik budheku itu, tidakkah beliau sadar ucapannya itu menusuk sampai ke sumsum tulangku. Namun sepertinya aku bukan psycho yang nggak punya kewarasan dan tata krama untuk melakukan hal itu.

Merasa lelah dengan permasalahan jodoh membuat kepalaku mendadak pening. Kutelungkupkan tangaku pada meja sambil memejamkan mata sejenak, sepertinya istirahat sebentar bisa memulihkan rasa sakitku.

Ketukan pada pintu membuatku mengerang pelan, padahal sebentar lagi aku akan terlelap. Rasa pening dikepalaku terasa semakin menjadi, dengan lunglai aku berjalan membuka pintu.

"Mbak." Via berdiri dengan ekspresi penasaran di depan pintu sambil membawa sebuket bunga yang entah apa namanya namun berwarna putih.

"Kenapa, Vi?"

Don't Fall in Love, It's a Trap! [✔]Where stories live. Discover now