[4.1] Mbak Sari

2.1K 613 110
                                    

REPUBLISH

Happy reading.
.

.

Siapa sih yang nggak ingin menikah, punya anak dan bahagia selamanya. Tapi nggak semua orang cepat bertemu dengan jodohnya. Manusia diciptakan berpasang-pasangan jadi walau setua apapun, bila ketemu jodohnya diumur segitu mau apa. Sudah menikah pun apa bila pasangan bukan jodoh kita bisa saja cerai--entah itu cerai hidup atau cerai mati. Jodoh itu nggak bisa ditentukan ataupun ditebak, yang tahu siapa jodoh kita cuma Allah dan sebagai hambanya kita hanya disuruh mencari yang baik agama dan akhlaqnya.

Namun perihal menikah selalu menjadi bahan pembicaraan yang hangat apalagi wanita yang sudah matang untuk menyandang gelar menjadi seoang istri. Misalnya aku, dalam seminggu biasanya aku ditanya sampai tiga kali pasal pernikahan, entah itu pertanyan dari orang tua, tetangga, kerabat bahkan sahabatku. Ketakutan mereka akan anggapan perawan tua membuat mereka lupa bahwa menikah bukan perkara yang mudah.

Sama seperti pagi ini, Ndoro Ayu kembali menyinggung perihal kejombloanku setelah perbincangan tentang pernikahan Mbak Sari, cucu saudara nenek. Apalagi dalam kurun satu minggu ini aku harus menghadiri undangan pernikahan, yang pertama dari Novi--dua hari lalu, dan sekarang pernikahan Mbak Sari.

Mencoba untuk tidak perduli aku masuk ke dalam garasi dan mengeluarkan sepeda motorku untuk memanaskan mesin. Sepuluh menit kemudian aku kembali masuk ke ruang makan dan mendudukan diri di samping Bang Aras yang kini asik memakan sayur sop kesukaannya.

"Mengko aja sampai lupa ba'da dhuhur kudu ada di rumah." Aku mengangguk-ngangguk paham sambil mengambil secentong nasi lalu meletakkannya di piringku, sudah tiga kali Ndoro Ayu mengingatkan.

"Kamu udah buat surat izin cuti, Ras?" tanya Ibu dengan tangan yang memindahkan lauk perkedel kentang ke piring Bapak. Aku menoleh, Bang Aras cuma bergumam mengiyakan.

"Kok belum siap-siap, Ras. Kamu cutinya sehari penuh?" Bapak bertanya di sela-sela menyuapkan nasi ke mulutnya.

"Iya, bang sekalian. Percuma kalau masuk setengah hari. Surat cutinya juga kemarin udah Aras titipin sama temen," jelas Bang Aras. Aku meminum airku lalu mencibir pelan, itu sih maunya dia aja biar bisa males-malesan di rumah.

"Oh iya mbak, nanti sekitar jam 9 temen Ras ada yang mau main ke sini, boleh?" tanya Bang Aras.

"Boleh, tapi nanti kamu anterin mbak ke pasar sebentar ya," jawab Ibu yang disanggupi oleh Bang Aras.

Setelah menandaskan air aku memasukkan ponsel ke ransel miniku. "Ra udah selesai, berangkat dulu ya, Pak..Buk. Assalamualaikum." ucapku sambil menyalami tangan Bapak Ibu dan Bang Aras. Mereka kompak mejawab salamku.

###

Aku memasuki butik seraya mengucap salam dan dijawab Sani yang mungkin sejak pagi sudah bersiap di depan meja kasir. Aku menoleh saat kurasa ada tepukan pelan dibahu kananku. Seketika aku tersenyum lebar melihat Mbak Nita, asistenku dan juga penanggung jawab untuk bagian menjahit.

Aku langsung memeluknya erat, ya ampun kangen banget aku sama ibu anak satu ini. Ini hari pertamannya setelah 3 bulan cuti hamil dan melahirkan.

"Ya ampun setelah lama cuti tambah seger aja sih Mbak, si kecil nggak di ajak?" tanyaku lalu mengurai pelukan. Mbak Nita terkekeh.

"Tambah seger ini kalimat pujian atau ada udang di balik rempeyek?" Aku tertawa mendengar guyonannya.

"Si kecil aku lagi sama neneknya. Mama lagi lengket banget sama Nirma, aku yang ibu kandungnya sampai kalah quality timenya, hihihi," kekehnya lagi.

Don't Fall in Love, It's a Trap! [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang