[18] Bapak

834 115 17
                                    

REPUBLISH


So, enjoy reading.

.

.

Menjelaskan semuanya ternyata tidak semudah seperti yang ada di bayanganku, kenyataannya lidahku kelu untuk sekedar mengucapkan barang satu kata. Mulutku bungkam, ribuan kata yang sudah kususun rapih di dalam otakku mendadak hilang entah kemana.

Pada akhirnya semalam Deya-yang sebenarnya memaksa ikut dalam pertemuan itu-adalah orang yang mewakiliku menceritakan kejadian di rumah makan, disaat aku tidak tahu harus berbicara apa.

Aku baru paham, lily putih yang biasanya dia kirim untukku adalah bentuk pesan tersiratnya. Bunga yang baru kuketahui bermakna permintaan maaf itu mempresentasikan ungkapan maafnya yang mungkin sulit untuk diucapkan. Tapi yang pasti dia harus mempertanggung jawabkan semua tindakannya.

Tepukan singkat kurasa pada bahuku saat Bapak mengambil tempat dan duduk disebelah sofaku. Terlalu banyak melamum membuatku melupakan kegiatanku sebelumnya, menonton teve-walau diakhir malah tevenya yang menontonku.

Bapak menekan tombol power pada remote membuat layar yang tadinya memutar film komedi menjadi hitam.

"Pasti sulit ya, Ra?"

Entah kenapa pertanyaan sesimpel itu memancing sisi emosionalku untuk keluar. Seketika selaput bening menyelimuti mataku, dan tangis yang selama berhari-hari ini kutahan kembali luruh tanpa bisa kucegah. Sesak didadaku mengalir selaras dengan derasnya air mata yang turun.

Tangan Bapak terulur merangkul dan menepuk bahuku dengan ritme pelan. Harusnya perlakuan Bapak membuatku tenang tapi malah menimbulkan kebalikannya, isak kecil lolos keluar dari bibirku. Aku menunduk membiarkan cairan bening jatuh mengaliri pipiku.

Sepuluh menit kami masih dalam posisi yang sama, namun tangisanku mulai mereda menyisakan mata yang sembab dan jejak air mata.

"Gimana, udah plong?" Aku mengangguk.

Beliau kini mengelus kepalaku, "Kalau memang sakit jangan ditahan, nangis juga nggak ada yang ngelarang kok. Sesekali nangis nggak bikin anak bapak yang cantik ini kelihatan cengeng," hiburnya menghapus sisa air mataku dengan jempol tangannya.

Timbul perasaan lega luar biasa dalam benakku. Memang kebanyakan anak akan dekat dengan ibunya tapi berbeda denganku. Sedari kecil aku sangat dekat dengan Bapak karena beliau lah yang paling mengerti peringaianku dan tahu bagaimana perasaanku.

Helaan napasnya terdengar ditelingaku, "Kalau dipikir-pikir Gusti Allah itu sayang banget loh Ra sama kamu." Aku menyerong memandang penuh tanya atas kalimat yang diucapkan Bapak.

"Gusti Allah bikin kamu sakit hati di awal biar kamu nggak nyesel diakhir. Ya...coba kamu bayangin aja kalau kamu tahu kebenarannya setelah nikah sama dia. Sakitnya malah luar biasa kan? Sudah dibohongi dikhianati pula."

Terdiam,

Hati kecilku menghangat mengingat Allah masih menyayangiku.

Benar bukan, Allah tahu apa yang kita butuhkan bukan yang kita inginkan.

Meskipun perasaanku padanya masih dipermukaan, tetap saja kebohongannya membuat lubang dihatiku. Membayangkan ucapan Bapak membuatku begidik, tahu kebenarannya sebelum hubungan ini serius saja membuat lubang kecil dihatiku. Kalau tahu kebenarannya setelah menikah, jujur, itu mungkin akan membuat hatiku bolong dan disfungsi.

Bapak merengkuh tubuhku, "Anak gadis bapak sudah dewasa sekarang. Padahal kamu dulu tuh kecil kelihatan lemah tapi siapa yang menyangka anak Bapak Hasan sekarang tumbuh jadi gadis tangguh," kekehnya melepas rengkuhannya lalu membuka lengan bajunya menunjukkan otot lengan seolah memperagakan kata tangguh.

Senyum kecil terbit dari bibirku, "Ra, sayang banget sama bapak. Maafin Ra, ya belum bisa kasih mantu buat bapak."

Bapak adalah cinta pertamaku dan orang yang paling kusayangi setelah ibu. Beliau juga orang pertama yang akan meniupi lukaku saat terjatuh.

Tergelak beliau menjawab, "Kan Bapak nggak pernah maksa kamu buat cepet nikah Ra. Bapak percaya kalau sudah ketemu jodohnya juga bakalan nikah. Allah itu menciptakan manusia berpasang-pasangan jadi nggak mungkin ketuker" ujarnya mengambil remote dan memutar kembali tv yang tadi sengaja dimatikan.

Loh, bukannya kemarin-kemarin Bapak dan Ndoro Ayu yang ngebet pengen anak satu-satunya ini segera mendapat label sebagai seorang istri, tapi sekarang kok lain. Kesalahpahaman macam apa ini?

Alisku mengkerut dalam, "Bukannya kemarin-kemarin Bapak malah mau jodohin Ra sama salah satu karyawan Bapak, ya?" tanyaku bingung. Ini yang benar yang mana? Otakku terasa buntu memikirkannya, apa ini salah satu efek patah hati?

Mendengar pertanyaanku kontan membuat Bapak mengurai tawa lepas, kerutan di pinggir matanya terlihat menunjukkan umurnya yang kini memasuki kepala enam.

"Bapak bercanda kali Ra."
Mendadak aku speechless dan sesekali mengerjab linglung, apa selera humorku terlalu tinggi sampai tidak menyadari ucapan Bapak waktu itu hanyalah sekedar gurauan? Tawa Bapak terhenti melihatku yang tidak menunjukkan reaksi apa-apa.

"Nggak lucu ya?" Aku mengangguk menanggapinya.

Sedetik kemudian tawa kami pecah, sudah lama sekali aku tidak tertawa lepas dengan Bapak. Akhir-akhir ini kami terlalu sibuk dengan pekerjaan dan kesulitan meluangkan waktu untuk sekedar bercanda bersama, itulah yang membuat kami terasa jauh padahal dekat.

"Kenapa malem-malem ketawa ngakak begitu? Ibu kira ada kuntilanak lewat eh malah anak perawan lagi ngakak. Keras banget sampai kedengaran dari dapur. Ora apik Ra anak gadis malem-malem ketawa kayak begitu." Sisa tawa kami masih terdengar saat Ndoro Ayu menghampiri dengan tanda tanya.

"Enggak kenapa-kenapa kok, Bu. Iya kan, Ra?" jawab Bapak mengerling kepadaku, pasti Bapak berniat menjahili Ibu. Setuju dengan niat Bapak aku mengangkat kedua jempolku.

"Iya iya maaf. Lagian Bapak ini loh ngelucu tapi nggak lucu, kan jadinya lucu."

Mata Ndoro Ayu memicing, menelisik kebohongan yang mungkin kami lakukan, "Kalo kata Deya, ibu ini kepo." Aku menggigit pipiku bagian dalam menekan agar tawaku tidak menyembur keluar saat melihat Ibu merajuk. Astagfirullah, jahat banget aku jadi anak karena menertawakan ibuku sendiri.

"Mbuh lah ngomong sama kalian berdua itu yang ada bikin tensi darah Ibu mendadak naik. Bapak karo anak kok nggak onok bedane, sama-sama bikin jengkel," kesal Ndoro Ayu menghentak-hentakkan kaki, membalik badan dan kembali menuju dapur.

Aku menyenggol lengan Bapak pelan, takut kalau Ndoro Ayu benar-benar marah. Wah, bisa-bisa perang dunia ke tiga nih. Mengerti akan kodeku, Bapak mengangguk dan bangkit dari duduknya menyusul Ndoro Ayu ke dapur sambil tersenyum geli.

Aku terkekeh, satu kata untuk mereka, lucu. Melihat bagaimana bahagia dan harmonisnya rumah tangga kedua orang tuaku membuatku memimpikan hal itu juga akan terjadi padaku-dalam artian menikah dengan jodohku-nantinya. Punya keluarga kecil yang walaupun sederhana tapi bisa mendapat ketentraman hidup saat bersama.

Kalau kata akun-akun bucin di instagram perkara jodoh itu mirip alif lam mim dalam surat Al - Baqarah, artinya? Hanya Allah yang tahu. Tapi jangan anggap aku desperate dengan asal nyomot gitu aja, anganku masih tetap memiliki suami yang mampu membimbingku ke surga. Punya suami yang bisa membimbing, anak-anak sholeh sholehah dan aku. Bukankah itu sebuah mimpi yang indah.

Tapi, jangan hidup dalam mimpi.
Ingat Ra! Pria baik untuk wanita baik. Jadi, ayo semangat perbaiki diri sendiri!

TBC

Don't Fall in Love, It's a Trap! [✔]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora