[3] kondangan

2.5K 716 120
                                    

REPUBLISH

Happy reading.
.

.

Kata Deya hal yang sama horornya dengan pertanyaan kapan nikah adalah pergi ke kondangan sendirian. Menurutnya datang sendirian ke kondangan--entah itu kondangan teman atau keluarga--sama-sama berpotensi membuat telinga seorang jomblo panas. Karena mendengar rentetan pertanyaan yang bisa menjurus ke pertanyaan awal "kapan nikah". Bukan hanya itu, pergi ke kondangan tanpa membawa pasangan bisa memicu nyinyiran orang. Apalagi kalau sudah bertemu orang yang suka mengomentari hidup orang lain seolah hidupnya sendiri sudah sempurna.

Dan sepertinya aku sedikit memahami statement tentang horornya pergi ke kondangan sendirian. Karena sekarang aku sedang terjebak dalam situasi yang membuatku harus duduk bersama Rindi, teman sekelasku SMP dulu yang nyinyirnya, masyaallah ngalah-ngalahin netizen maha benar.

Niat awal aku duduk di sini adalah menunggu antrian bersalaman dengan pengantin sedikit sepi, malah berujung Rindi datang dan ikut duduk di meja yang sama denganku.

Dia menatapku dari atas sampai bawah dengan tatapan menilai. Ditatap seperti itu membuatku reflek membenarkan letak khimarku, "Lama nggak ketemu masih aja, Ra, pakai baju model kedodoran kayak gitu? Nggak gerah? Hari ini panas banget loh," ucapnya sambil mengibas-kibaskan tanganya.

Aku tersenyum tipis, "Kalau sudah komitmen buat pakai hijab, panas siang hari ini nggak ada apa-apanya dibanding panasnya neraka," jawabku membuatnya terbatuk pelan lalu menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinga.

Dia menegakkan punggungnya dan menumpu kaki kirinya pada kaki kanannya membuat tubuh yang terbalut kebaya broklat bergaya kutubaru itu mencetak jelas lekuk tubuhnya.

Matanya menilikku lalu mengambil lipstick dari dalam tasnya untuk memoles ulang bibirnya sambil bercermin dengan ponsel, "Lo nggak pake make up, Ra? Jerawat dipipi lo kelihatan loh, nggak malu dateng ke nikahan orang polosan gitu? Setidaknya pake foundation kek biar ketutupan."

Aku memaksakan bibirku untuk membentuk senyuman, kenapa pakai bawa-bawa fisik sih. Kesel deh sama orang kayak gini. Kalau disinggung nanti malah ngejawab tentang kebebasan berbicara. Aku setuju dengan cuitan Dave Vescio¹ pada akun twitternya. "I really hate when people think that "freedom speech" means that "I can be as rude as I want and you're not allowed to get mad."

Untungnya aku tipe orang yang nggak gampang kesinggung. Kalau orang lain yang nggak pandai bersyukur dan malah insecure saat dengar ini, gimana?

"Yang aku tahu dalam islam merias diri itu ditujukan untuk suaminya bukan untuk konsumsi publik. Aku juga pernah baca, ada wanita tergantung pada rambutnya dan otaknya menggelegak dalam periuk akibat tidak menutup auratnya, wanita yang mukanya hitam dan memamah isi perutnya sendiri akibat mengoda dan mengairahkan lelaki. Ngeri bukan?" Rindi berdehem lalu meneguk segelas air di depannya.

Aku kembali menyunggingkan senyum saat melihatnya salah tingkah mendengar jawabanku, namun senyumanku tidak bertahan lama setelah kalimat itu meluncur dari bibirnya.

"Sendirian aja, Ra, datang ke sini? Nggak bawa pacar? Gebetan?" Aku menggeleng.

Dia mendesah, "Yah...padahal kalo lo punya pacar, pacar lo mau gue kenalin sama pacar gue."

Menghela napas, mataku mengedar mencari keberadaan Deya. Karena sepertinya aku nggak akan bertahan lama kalau bahas topik mengenai pasangan.

Mencoba berbaik hati aku bertanya, "Kamu datang sendirian, Rin?" Dia menyeringai, "Ya enggak dong. Pacarku tuh lagi ngobrol sama temennya," jawabnya menunjuk laki-laki berkemeja batik yang sedang berbincang dengan dua temannya.

Don't Fall in Love, It's a Trap! [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang