42. HANGAT

626 66 6
                                    

HAPPY READING♥

Sesuai ucapan Awan kemarin, hari ini Rain berangkat bersama Awan. Gadis itu membuka pagar rumahnya lalu tersenyum manis di hadapan Awan.

Namun, saat Rain seorang diri ia masih belum menerima keadaan. Rain masih sangat terpukul, tapi Rain tidak mau semua orang yang ia sayangi khawatir padanya. Di depan mereka sebisa mungkin Rain menutupi kesedihannya dengan cara tersenyum. Karena memang senyum selalu menjadi andalannya untuk menutupi segala kerapuhannya selama ini.

"Selamat pagi," sapa Rain pada Awan dengan senyum palsunya.

Bukannya menjawab sapaan Rain, Awan malah memperhatikan detail wajah Rain. Menatapnya lama membuat sang empu merasa gugup diperhatikan sedetail itu. Pikir Awan, ada sesuatu yang janggal.

"Lo nangis lagi?" tanya Awan.

Rain meneguk ludahnya kasar. Ia menggigit bibir bawahnya. Matanya bergerak ke sana ke mari. Bagaimana bisa? Bukankah ia sudah sedikit memoles wajahnya? Mamanya saja tidak sadar, tapi kenapa Awan dapat menyadarinya?

"N-nggak. Yuk berangkat gue takut telat," kelit Rain.

"Jangan bohong Rain!"

"Kenapa?"

Awan diam. Tatapannya tenang menatap Rain yang saat ini terlihat gelisah. Lalu Awan bergerak mendekati Rain. Setelah berada tepat di hadapan gadis itu, Awan mengangkat tangan besarnya dan mengusap lembut pipi sang gadis.

"Gue nggak bisa lihat lo nangis," kata Awan dengan tatapan teduhnya.

Seketika bola mata Rain berkaca-kaca. Setiap malam ia selalu merindukan Kakek dan Neneknya. Jujur ia lelah berbohong pada semua orang. Rain harus berpura-pura sudah tidak bersedih lagi padahal ia masih sering menangis saat ia seorang diri. Rain hampir frustasi jika tidak mengingat bagaimana teman-teman dan orang tuanya berusaha menghiburnya.

Satu bulir air mata berhasil lolos dari sudut matanya. Luruh sudah pertahanan Rain. Entah kenapa di depan Awan, Rain tidak ingin menahannya lagi. Rasanya begitu berat menyembunyikan hal ini di depan Awan. Rain tidak tahu alasannya kenapa. Namun, ia selalu merasa nyaman dan ingin terbuka pada Awan. Baginya Awan seperti seorang pangeran baik hati yang selalu menolong dan setia mendengar segala keluh kesahnya.

Melihat Rain yang menangis Awan pun dengan cepat menghapus air matanya kemudian membawa gadis itu ke pelukannya. Diusapnya pelan bahu Rain yang bergetar. Awan paling tidak suka melihat orang yang dicintainya menangis. Yang Awan inginkan hanya sebuah senyuman manis penuh sorotan kebahagiaan bukan air mata penuh kesedihan.

"Gue bilang jangan nangis. Kenapa nangis?" tanya Awan pelan.

"Kangen Kakek sama Nenek," lirih Rain diiringi dengan isakan tangisnya.

Awan mengangguk mengerti. Ia mengambil salah satu tangan dingin Rain lalu menggenggamnya. Tatapannya pun lurus menatap Rain. Bukan tatapan dingin dan datar seperti yang biasa ditampilkan olehnya, melainkan tatapan hangat juga penuh cinta. Entahlah Awan belajar dari mana hingga mempunyai sifat manis seperti ini.

"Mau bolos?"

"Bolos?"

"Iya. Katanya kangen Kakek sama Nenek."

Brittle [Tamat]Where stories live. Discover now