58. Lily Putih.

6.9K 318 67
                                    

Hal yang paling menyakitkan bukan melihat seseorang yang disayang sudah tiada, melainkan bagaimana raga dan hati ini dipaksa untuk kuat melihat itu semua.

***

Aroma obat-obattan sangat tajam menusuk indra penciuman. Suasana ramai namun tenang didapatkan Adrianne saat ini. Langkah kakinya melangkah lebar nan panjang menuju keberadaan omahnya.

Kedua matanya menangkap seorang gadis yang sedang gelisah di tempatnya. Adrianne dengan cepat menghampiri gadis itu. "Kinan."

Kinan yang sedang meremas dressnya dengan pandangan menunduk, menegakkan kepalanya. Ia langsung menabrakkan tubuhnya pada Adrianne, tangisnya tumpah di pelukan cowok itu.

Melihat reaksi Kinan seperti ini, dada Adrianne bertambah sakit. Sangat sesak seperti ada benda besar yang menghimpit dadanya. Tidak, bukan karena ia menaruh perasaan pada Kinan, tetapi karena kondisi omahnya. Kalau omahnya tidak parah sakitnya, Kinan pasti tidak akan sampai seperti ini.

Yang dilakukan Adrianne saat ini adalah membalas pelukan Kinan. Menenangkannya. Walaupun dirinya sendiri lebih butuh ditenangkan. Adrianne mendekap dan mengelus rambut panjang Kinan, entah mengapa matanya menjadi berkaca-kaca seperti ini.

"O-omah Yan hiks," lirih Kinan. Kedua tangannya mencengkram jas di belakang tubuh Adrianne.

"Sstt." Adrianne memang penasaran dengan yang terjadi pada omahnya. Tetapi, tidak mungkin Kinan akan menjelaskannya sekarang.

Tiba-tiba sebuah tangan mengelus kepala Kinan, membuat Kinan menoleh bersamaan Adrianne yang menoleh. Mamahnya Adrianne menatap iba pada Kinan dan Adrianne.

Kinan membuyarkan pelukannya pada Adrianne saat itu.

"Tenang aja sayang. Omah pasti baik-baik aja." Mamah menyentuh kepala Kinan dan mengelusnya, satu tangannya lagi menyentuh lengan anaknya.

Di depan ruang UGD sudah ramai oleh keluarga Adrianne, sampai sepupu-sepupunya mulai berdatangan juga ikut mengkhawatirkan kondisi omahnya.

Keluarga Kinan yang noatbenenya teman dari orang tua Adrianne, juga hadir bersama mereka. Lantunan doa-doa terlaksana di masing-masing batin tiap orang. Mereka semua sangat mengharapkan Omah akan baik-baik saja.

"Ke-kenapa Omah bisa kayak gini mah?" lirih Adrianne.

Mamah menarik napas, berusaha untuk tidak mengeluarkan air matanya. "O-omah jatuh di kamar mandi nak."

Kalian tahu kan bagaimana akhir seseorang yang jatuh di kamar mandi, apalagi yang mempunyai penyakit jantung. Itu sama persis dengan yang diderita Omah. Memiliki penyakit jantung dan terjatuh di kamar mandi sampai ia tak sadarkan diri.

Kini Adrianne semakin takut, ia takut kehilangan Omahnya.

Lelaki itu melirik satu per satu anggota keluarganya. Sampai ia berhenti di satu titik, papahnya. Laki-laki yang penuh kewibawaan dan ketegasan kini tak berdaya di pelukan sang istri. Air matanya terus meluruh mengkhawatirkan sang ibu di dalam ruangan yang ditangani oleh sang dokter.

Dan sekarang siapa yang akan menjadi sandaran untuk Adrianne?

Adrianne mampu menyembunyikan rasa sakitnya, tetapi mau bagaimana pun juga ia hanya laki-laki biasa. Laki-laki yang butuh seseorang, ia butuh rumahnya untuk bersandar. Ia butuh ditenangkan saat ini. Sepandai apapun lelaki itu menyembunyikan kekhawatirannya pada dua orang penting di dalam hidupnya, ia tidak akan bisa menahan gemuruh di hatinya.

Adrianne duduk di lorong yang sangat sepi dan gelap. Hanya ada dirinya saat ini. Biasanya tubuh kekarnya ia tegakkan, kini ia tundukan sedikit. Kepalanya menunduk dalam, kedua tangannya terkepal kuat. Berusaha menguatkan dirinya sendiri.

My Boyfriend Is a Doctor and CEO (SELESAI)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora