12. Kehormatan

3.2K 332 13
                                    

Sang rembulan dan sang mentari kembali bergantian tugas yang telah menjadi ketetapan alam. Hangatnya sang mentari tak kalah dengan kehangatan yang Dewi Harnum dapatkan dari keluarga kecilnya. Mata indahnya tampak berkaca-kaca mengingat ia akan pergi kembali untuk menjalankan titah sang ratu Kerajaan Borealis; pergi ke Kekaisaran Alaska untuk menemui istri Putra Mahkota kekaisaran tersebut.

Scawati memberikan sebuah patung Dewi Dione berukuran pada Dewi Harnum yang diterima dengan senang hati.

“Aku pergi. Jaga diri kalian baik-baik.”

“Kau pun, Sayang.” Scawati memeluk putrinya erat sebelum melepaskan dengan perasaan berat.

Dewi Harnum duduk di samping Alcmena dan mencium punggung tangannya penuh rasa hormat. “Akan kuusahakan untuk lebih sering pulang dan menghabiskan banyak waktu bersama kalian.”

“Nak, sampai di sana jangan biarkan siapa pun mengetahui nama aslimu.”

Mendengar titah Alcmena yang tiba-tiba dan cukup janggal tersebut membuat Dewi Harnum mengernyit samar. “Mengapa begitu, Nek?”

“Terimalah jati dirimu yang sesungguhnya dan jagalah kehormatanmu agar tetap utuh,” lanjut Alcmena, enggan menjelaskan apa pun.

Melihat kebingungan dan rasa penasaran di wajah Dewi Harnum, Scawati menyentuh bahunya pelan hingga siempunya menatap ke arahnya. “Ikuti saja apa pun yang Nenekmu ucapkan, Sayang. Nenekmu tak mungkin menginginkan hal buruk terjadi padamu. Suatu saat nanti pun kau akan mengetahui dengan sendirinya mengapa Nenekmu berujar demikian.”

Dewi Harnum mengangguk sebelum kembali menatap Alcmena gemas. “Nenek memang selalu bisa membuatku penasaran.”

Mengingat jarak desanya dengan Kekaisaran Alaska tak terlalu jauh bahkan bisa ditempuh dengan berjalan kaki, ia pun menghabiskan lebih banyak waktu bersama keluarga kecilnya sebelum menginggalkan kediamannya dengan berat hati. Ia membawa patung Dewi Dione bersamanya dengan cara memeluk.

Wahai Dewi, jagalah selalu keluargaku dalam perlindungan terbaik-Mu.

***

“Bagaimana perkembangan perihal perang, Jenderal?”

“Semua dalam kendali kita, Yang Mulia. Terlebih dukungan penuh dari Kerajaan Lahore membuat posisi kita semakin kuat.”

Penguasa Kerajaan Kashi, Raja Kashl mengangguk puas. Lalu menatap menteri sekaligus penasihat kerajaannya tanpa riak. “Apakah ada berita terbaru di perbatasan, Menteri?”

“Saya mendapat kabar dari mata-mata kita yang berada di perbatasan jika Pangeran Leonard telah kembali dan akan menjadi jenderal perang Kerajaan Corinthus, Yang Mulia.”

“Tak masalah,” ujar Raja Kashl santai.

Putra Mahkota kerajaan tersebut, Pangeran Ruby menatap sang raja yang merupakan ayahnya penuh keheranan. “Mengapa Anda tampak tenang, Yang Mulia? Ini adalah masalah serius. Pelosok negeri pun mengetahui betapa hebatnya Pangeran Leonard di medan perang. Jika ia yang memimpin perang, maka kemungkinan kita untuk menang adalah ketidakmungkinan, Yang Mulia.”

“Kita pasti menang karena Pangeran Arjuna yang akan menjadi jenderal perang pasukan kita.”

Siapa yang tak mengenal Pangeran Arjuna? Pelosok negeri pun mengetahui betapa hebatnya kekuatan, kecerdikan dan kepiawaian Pangeran Mahkota Kerajaan Lahore tersebut di medan perang. Dialah ahli strategi perang yang jenius dan mendapat julukan ‘rubah cerdik’.

Seketika ketenangan melegakan hati anggota Kerajaan Kashi.

Di sisi lain, Pangeran Arjuna tengah mengutarakan niatnya yang ingin mempersunting Putri Arianna dari Kerajaan Borealis pada kedua orangtuanya di ruang keluarga.

“Jika istrimu telah mengizinkan, kami pun mendukungmu, Nak.”

“Tetapi jadilah jenderal perang Kerajaan Kashi yang akan berperang melawan Kerajaan Corinthus karena Ayah telah menjanjikannya pada Raja Kashl.”

“Kau bisa mengirim Shaz untuk itu, Ayah. Aku sedang tak ingin berperang.”

“Shaz di sini untuk mengurus banyak hal. Jika kau tak ingin, jangan harap bisa menikah lagi.”

Pangeran Arjuna mengepalkan tangan kuat emosi karena tak bisa menolak meski ingin.

***

Selir Sita duduk di tepi ranjang dengan lesu seolah tak memiliki tenaga untuk melakukan apa pun. Sesekali ia menutup mulut saat bibirnya membuat gerakan ingin memuntahkan sesuatu secara spontan kala perutnya bergejolak. Akhir-akhir ini kepalanya pun terasa pusing dan perutnya selalu mual. Ia tak mengerti ada apa dengan dirinya karena ini pertama kalinya ia mengalami hal demikian.

“Saya mendengar dari pelayan pribadi Anda jika Anda akhir-akhir ini selalu berada di kamar.” Suara Selir Marya terdengar kian dekat seiring langkahnya yang meniadakan jarak dengan Selir Sita. “Ada penjual minyak wangi di halaman istana, saya ingin Anda memilihkan minyak wangi yang cocok untuk saya-Ya ampun! Anda tampak pucat, Selir Sita. Apakah Anda sakit?” Selir Marya terkejut dan khawatir saat melihat kulit Selir Sita tampak seputih kapas.

“Saya baik-baik saja.”

Selir Marya menggeleng, menolak percaya. Ia duduk di hadapan Selir Sita dan memeriksa suhu tubuhnya namun tak merasakan apa pun yang janggal. “Apakah yang Anda rasakan?”

“Saya hanya merasa mual dan pusing.”

“Mungkinlah Anda hamil?”

Tubuh Selir Sita menegang. Tangannya terulur pada perutnya secara naluriah dan matanya berkaca-kaca saat merasakan kedamaian. Tetapi memikirkan penyebab benih itu ada di dalam rahimnya dan kemungkinan terburuk jika Pangeran Leonard mengetahuinya membuat tubuhnya bergetar pelan. Tanpa ia sadari, Selir Marya menatap kearah perut yang masih rata dengan berkaca-kaca. Ia kesal sekaligus sedih karena kecemburuan yang tiba-tiba mendominasi hatinya. Ia ingin sekali marah pada Pangeran Leonard yang telah menghamili Selir Sita.

Saat menghabiskan malam bersamanya, lelaki itu mengenakan pengaman tetapi mengapa dengan Selir Sita berbeda? Selir Marya mencintainya dengan tulus, namun mengapa ia dibedakan?

“Bisa saja dugaan Anda salah, Selir Marya. Mungkin saya hanya masuk angin biasa,” elak Selir Sita saat melihat wajah muram lawan bicaranya.

“Saya pergi dulu,” ujar Selir Marya datar sebelum berlalu. Ia tak bisa terus berpura-pura di saat hatinya sedang tak baik-baik saja.

Selir Sita merasa tak enak hati. Ia bersandar pada kepala ranjang dan menatap ke depan kosong. Ia memegang perutnya yang rata perlahan dengan mata berkaca-kaca. Percintaannya dengan lelaki lain, yang bukan suaminya muncul ke permukaan. Awalnya Selir Sita menolak. Namun rayuan manis lelaki itu terdengar begitu menjanjikan di telinganya. Pada akhirnya ia hanya bisa pasrah. Ia pun menangis.

“Keadaan cukup pelik. Kumohon jangan dulu hadir ….”

Selir Sita menyesali segalanya, tetapi sekarang apa gunanya? Ia menghapus air mata kasar. Ia harus segera menemui lelaki itu. Ia berdiri dan menutupi wajahnya dengan selendang sebelum pergi secara diam-diam dari istana melalui jalan rahasia.

***

Permaisuriku~ (END)Where stories live. Discover now