21. Perang Kerajaan (Corinthus VS Kashi)

2.8K 276 35
                                    

Scawati tampak sangat terharu karena kini dua orang yang ia kasihi telah berbaikan. Ia duduk di samping Alcmena dan menggenggam tangannya seolah ingin menyalurkan kebahagiaan yang tak dapat ia ucapkan. Suaminya sendiri tengah berada di kamar mereka usai Alcmena menitahkannya untuk beristirahat.

“Terima kasih atas semua kepedulianmu padaku, Nak.”

“Mengapa Ibu mengucapkannya? Meski kau mertua, tetapi aku telah menganggapmu seperti ibu kandungku sendiri.”

Alcmena tersenyum haru dengan mata berkaca-kaca. “Semoga kau selalu bahagia, Nak.”

“Kita akan bahagia selalu, karena keluarga kecil kita telah lengkap sekarang,” ralat Scawati sambil menatap Alcmena lekat. Saat tak menemukan riak bahagia di wajah tua sang ibu, ia pun keheranan. Bukankah seharusnya Alcmena bahagia karena putranya telah kembali? “Ibu …, apakah yang tengah memberatkanmu? Berbagilah padaku.”

“Bagiku kau bukan menantu. Kau adalah putriku. Terlepas dari sikap kerasku, aku sangat menyayangimu, Scawati.” Alcmena balas menggenggam tangan Scawati erat waktunya semakin dekat.

Meski heran dengan sikap tak biasa sang ibu, Scawati tetap mengangguk. Tak lama ia terbelalak saat Alcmena tampak sangat kesakitan. “Ibu! Ada apa denganmu? Kakang …!” Scawati yang sangat panik dan khawatir memanggil suaminya.

Namun suaminya tak kunjung datang. Scawati berlari ke arah kamarnya dan berniat memanggil suaminya, namun melihat kenyataan pahit di depan matanya, air mata kecewa pun mengalir tanpa henti.

Di atas kasur, Angkara tengah bersemedi dengan mata terpejam, bibir berkecumit dan kedua tangan yang ditangkupkan. Di depannya terdapat boneka kayu yang dipenuhi paku dengan posisi berbaring. “Teganya kau melakukan itu! Alcmena adalah ibu kandungmu, Kakang! Sadarlah dan hentikan semua ini!”

Mengabaikan aura mengerikan dan sinar hitam yang mengelilinginya, Scawati mendekat namun tubuhnya tersungkur saat mengenai sinar itu. Ia memekik kesakitan, “Akh ...!”

Angkara semakin fokus.

“Kau sangat keterlaluan, Angkara. Aku membencimu!” teriak Scawati murka. Teriakan Alcmena yang terdengar menyakitkan menyadarkannya untuk bergegas menghampiri. “Mengapa Ibu tak pernah memberitahuku jika orang itu adalah suamiku sekaligus putra kandungmu sendiri?”

Scawati menangis pilu saat kembali duduk di sisi Alcmena. Ia tak berdaya untuk menolong Alcmena dari niat jahat Angkara. “Ibu tahu jika ini akan terjadi, namun mengapa Ibu membiarkan Harnum pergi? Jika saja Harnum masih berada di sini ….”

Alcmena hanya bisa menangis di sela rasa sakit yang teramat.

“Ibu, Mahadewi telah memberitahumu cara untuk menghentikan ini. Lakukanlah sekarang sebelum semua terlambat.”

Alcmena menggeleng lemah. “D-dia pu-putraku ….”

“Putra durhaka sepertinya tak pantas diampuni!”

“Jaga bicaramu, Istriku.”

Mendengar suara itu membuat Scawati bangkit dan menatapnya nyalang. “Kau benar-benar anak durhaka! Dia ibu kandungmu, Kakang! Cepat sembuhkan Ibu!”

“Dia memang pantas mati.” Angkara mendengkus dan membawa Scawati secara paksa bersamanya dengan cara memanggul tubuhnya di salah satu bahu. Ia terus berjalan, mengabaikan pukulan bertubi-tubi di punggungnya dan Alcmena yang tengah sekarat.

Permaisuriku~ (END)Where stories live. Discover now