23. Tak Ingin Dikasihani

2.7K 302 10
                                    

Didedikasikan untuk verra__25

***

Kelopak mata Dewi Harnum mengerjap pelan sebelum terbuka sepenuhnya. Ia mengerang pelan karena kasur yang besar dan empuk membuatnya nyaman dan enggan beranjak. Ia menatap langit-langit kamarnya dengan kerutan halus di kening karena merasa asing dengan apa yang dilihatnya.

Seingatnya kamar tamu yang ia tempati, tak memiliki langit-langit kamar dengan pemandangan indah tersebut. Matanya berpendar menatap sekeliling yang bukan kamarnya selama di Kekaisaran Alaska. Ia pun terduduk sambil menangkup wajahnya sendiri dengan riak terkejut.

“A-aku … ketiduran di kamar Putra Mahkota?!”

Tiba-tiba saja Dewi Harnum merasa kedinginan usai menyadari sikap lancangnya. Ia mengenakan selendangnya kembali untuk menutupi wajah dan bergegas pergi dari ruang kamar tersebut. Dewi Harnum menggigit bibirnya resah. Ia takut perbuatannya diketahui orang. Namun saat ia membuka pintu dan berjalan seolah tak terjadi apa-apa, ia mengernyit heran.

“Mengapa tiada yang menegur sikap lancangku?”

“Maaf menyela langkah Anda, Kaalillya.”

Dewi Harnum menghentikan langkah saat seorang pelayan menghadang jalannya. Dalam hati ia merasa gugup.

“Kaisar meminta Anda untuk menghadiri rapat kekaisaran pagi ini.”

Dewi Harnum meremas sisi pakaiannya gelisah. Mungkinkah sikap cerobohnya yang ketiduran di kamar Putra Mahkota telah sampai ke telinga kaisar hingga ia dititahkan untuk menghadap?

“Umm … y-ya.” Usai kepergian pelayan itu, Dewi Harnum menjadi tak tenang. Hingga suara Dewi Hanum yang terdengar membuatnya tertegun.

“Kau akan diusir, Harnum.”

Jadi … tiada yang mengetahui jika ia ketiduran di kamar Putra Mahkota?

“Mengapa aku diusir secara tiba-tiba, Kaalillya?”

“Segera bersiap dan datanglah. Kau akan mengetahuinya.”

“Tetapi … mengapa aku merasa berat untuk pergi dari sini, Kaalillya?”

Namun, tiada jawaban.

***

Scawati meringkuk di atas kasur dan menangis tersedu. Ia ingin bersama Alcmena di sisa napas terakhirnya atau bersama dengan putrinya, namun Angkara tak mengizinkan. Lelaki itu membawanya ke sebuah rumah besar yang sangat layak huni.

Namun Scawati tak bahagia. Ia lebih baik hidup dalam kemiskinan asal bersama dengan keluarganya dibanding hidup nyaman bersama dengan suaminya yang jahat. Suara pintu yang terbuka, memaksa Scawati untuk berhenti menangis.

“Aku membawakan makanan kesukaanmu, Dinda.”

Suaranya lembut tak bisa meredakan amarah Scawati yang kini tengah menghapus air matanya kasar. Ia bangkit dan duduk di atas kasur sambil melirik makanan lezat yang berada di tangan suaminya yang kini duduk di sampingnya.

“Apakah menurutmu aku bisa makan dengan tenang dalam suasana berkabung?” Mata sembabnya menatap lawan bicaranya tajam. “Sampai kapan kau akan mengurungku di sini? Antarkan aku pada Ibu. Antarkan aku pulang! Atau jika kau keberatan, lepaskan aku! Biarkan aku pergi!”

Permaisuriku~ (END)Where stories live. Discover now