1. SAWAH PAK TARNO

5.3K 846 64
                                    

Matahari mulai terbenam di balik bukit dan meninggalkan jejak oranye di lautan. Beberapa nelayan mulai mengeluarkan jala mereka dari gubuk sederhananya. Ada pun nelayan yang mulai memeriksa perahu kayunya, sebelum malam hari tiba. Para istri, mulai menyiapkan santapan malam dan juga kudapan untuk suami mereka yang sebentar lagi akan melaut. Ada pun anak-anak dan remaja yang tengah bermain di pinggir pantai dengan bola yang terbuat dari serabut kelapa sederhana. Toko kelontong, dan kantor pemerintahan mulai bersiap-siap untuk tutup. Pedagang keliling pun juga mulai berjalan pulang mendorong gerobak mereka, setelah seharian berkeliling mencari nafkah.

Bukannya semakin sepi, kota pelabuhan itu semakin ramai ketika menjelang malam. Tempat hiburan mulai dibuka di saat seperti itu, seperti layar tancap, pelacuran dan kesenian rakyat mulai digelar.

Malam itu, ayahnya tidak melaut, membuat Arum semakin gencar membujuk ayahnya agar ikut menonton layar tancap bersamanya di alun-alun kota. Film yang diputar malam ini adalah salah satu film kesukaan Arum; Tiga Dara. Saking bagusnya, tak terhitung berapa kali Arum membujuk ayahnya untuk ikut ke layar tancap dan menonton film yang sama berulang kali. Lagu dari film itu pun sampai dihafal Arum dari awal hingga akhir tanpa cela.

Ayah sebenarnya tidak masalah menonton layar tancap, hanya saja selesainya pasti cukup larut dan letak rumah mereka cukup jauh dari alun-alun kota itu sendiri. Ayah hanya khawatir dengan orang-orang jahat yang mungkin masih marajai jalanan di tengah malam. Belum lagi, matanya semakin tidak terang dan pencahayaan untuk ke rumah pun cukup minim. Hal itu seringkali membuat sepeda yang ia kendarai oleng seperti saat ini.

"Ayah! Jangan lewat situ!" seru Arum panik dan ketakutan.

"Udah, ndak papa. Lewat sawah lebih cepat," ujar Ayah sembari melajukan kayuhan sepedanya, mengejar agar mereka bisa segera sampai rumah.

Arum mengeratkan pelukannya di tubuh Ayah dengan rasa was-was mulai menjalari dirinya. "Katanya sawahnya Pak Tarno berhantu. Nggak terhitung berapa kali orang kepleset dan jatuh di situ -EH!"

Belum sempat Arum menyelesaikan perkataannya, benar saja sepeda Ayah oleng dan mereka jatuh tepat di sawah Pak Tarno. Hal itu membuat Arum semakin mempercayai mitos orang-orang desa mengenai sawah Pak Tarno yang ada genderuwonya. Mungkin Ayah juga akan percaya padanya kali ini, mengingat Ayah selalu bersikukuh mengatakan jalan setapak di sawah Pak Tarno memang licin dan terjal.

Berbeda dengab Arum yang marah, Ayah malah tertawa keras, padahal keadaan Ayah tak jauh lebih baik darinya. Pria paruh baya itu dipenuhi lumpur hingga ke lehernya, begitu juga dengan Arum. Bedanya, Arum lebih tenggelam lagi dalam lumpur. Mereka baik-baik saja, hanya sikut Arum sedikit lecet.

Arum meringis kecil sembari menatap sikutnya yang lecet dengan pencahayaan yang berasal dari bulan saja. Namun, sudut matanya menangkap ada seseorang yang mendekatinya. Arum yang awalnya mengira itu Ayah langsung mendongakkan kepalanya. Matanya melebar penuh ketakutan ketika melihat sesosok tinggi besar hitam yang kini berada di hadapannya. Arum pun menjerit hebat, membuat Ayah semakin tertawa keras, sebab Ayah tahu pasti jika yang menghampiri Arum adalah manusia.

"GENDERUWO! AYAH, GENDERUWO!" teriak Arum dengan segenap hatinya. "JELEK SEKALI!"

Genderuwo itu malah tertawa pelan bersama Ayah. Tawanya terdengar lembut dan baik, membuat Arum sedikit curiga akan entitas di depannya. Tidak mungkin bukan genderuwo bisa punya suara tawa selembut itu. Sebelum, Arum sempat berteriak lagi, sikutnya sudah ditarik untuk berdiri. Kini, ia berdiri berdampingan dengan genderuwo itu. Arum memberanikan dirinya untuk mengintip dan mendapati jika di sebelahnya hanyalah pria biasa yang mengalami nasib buruk sepertinya; jatuh di sawah Pak Tarno. Berbeda dari Arum, pria itu berlumur lumpur cukup banyak hingga ke wajahnya.

NAMANYA ARUM.Where stories live. Discover now