6. BISKUIT AYAH

2.9K 685 68
                                    

"Arum."

Panggilan itu membuat Arum mengalihkan fokusnya dari buku di tangannya pada Ayah yang menjulurkan kepalanya dari balik pintu depan rumah. Arum menutup buku yang ia pinjam dari perpustakaan kotanya, lalu menatap Ayah dengan wajah bingungnya.

"Ada biskuit," ucap Ayah sembari menampilkan seluruh tubuhnya dari balik pintu dengan efek dramatisnya sembari bergoyang kegirangan dengan nampan di tangannya. Arum menyunggingkan senyuman lebar sembari berdiri dan ikut berjoget bersama Ayah, merayakan biskuit tersebut. Keduanya menari ronggeng ala-ala dengan tawa yang mengiringi setiap gerakan. Ayah dengan nampan di tangannya dan Arum dengan buku yang belum ia lepaskan.

Ayah meletakkan nampan tersebut di dipan, lalu duduk di sampingnya dengan tawa yang belum usia. Arum pun juga ikut duduk di sebelah Ayah sembari mencomot biskuit tersebut. Biskuit adalah makanan kesukaan Arum, namun benda itu juga sangatlah langka. Arum bukanlah keluarga yang berada dan untuk membeli biskuit ia harus menabung dan berpikir banyak kali sebelum membeli. Namun, terkadang Ayah yang membelikan untuknya seperti saat ini.

Arum bergumam senang ketika merasakan manisnya biskuit tersebut di lidahnya. Melihat Arum yang bahagia, Ayah juga ikut tersenyum sembari mengusap puncak kepala anak gadis satu-satunya itu.

"Enak?" tanya Ayah pelan.

"Sekali," jawab Arum bersemangat dengan matanya yang berbinar.

"Lebih enak biskuit atau ikan tembang Ayah?" goda Ayah sembari menaik turunkan alisnya.

"Ikan tembang Ayah terlalu asin," keluh Arum, membuat Ayah tertawa. Ayah adalah pria yang selalu bahagia. Tak pernah sekali pun, Arum melihat Ayah sedih atau pun murung, kecuali ketika Ibu meninggal karena demam berdarah saat Arum masih berusia 10 tahun. Namun, di balik kesedihan Ayah saat itu, ia masih tetap berusaha senyum dan selalu menemani Arum yang sama terpukulnya saat itu. Ayah adalah dunia Arum. Tak pernah sedikit pun, Arum ingin berpisah dengan Ayah. Ia ingin selalu bersama Ayah seperti halnya pasir dan air laut yang takkan pernah terpisahkan.

"Kamu ndak mau sekolah tinggi, Rum?" tanya Ayah tiba-tiba, membuat Arum menghentikan kunyahannya. Ini bukan pertama kalinya, Ayah menanyakan ini padanya.

"Untuk apa, Yah? Di sini ya jarang ada anak gadis sekolah sampai di kota kependudukan," gumam Arum dengan senyumnya yang mulai memudar. Arum ingin sekali sekolah tinggi, namun ia tahu bahwa berapa pun tabungan Ayah yang pria itu siapkan untuknya takkan mungkin cukup untuk menyekolahkannya di kota kependudukan yang tak terkira mahalnya. Selain itu, Arum juga tidak tega meninggalkan Ayah tinggal sendirian.

"Ya ndak papa. Siapa tahu kamu bisa jadi 'orang' di kota kependudukan, Rum," balas Ayah sembari mengangkat semua kskinya ke atas dipan dan mengamati ombak bergulung.

"Memangnya sekarang Arum siluman?" balas Arum yang lagi-lagi memancing tawa renyah Ayah.

"Ndak berubah, bunga liar ini," ejek Ayah sembari mencubit pipi Arum gemas. Arum memasang wajah marahnya pada Ayah, sembari menggigit biskuitnya lagi dan lagi.

Keduanya kembali hening, meninggalkan suara deburan ombak yang menjadi lantunan musik di antara Arum dan Ayah.

"Arum ndak ingin pergi," gumam Arum memecah keheningan. "Arum ingin selalu di kota ini. Bersama Ayah. Bersama Mei Li..."

"Bersama sawahnya Pak Tarno..." tambah Ayah yang memancing dengusan geli dari Arum.

"Kota ini terlalu melekat..." gumam Arum sekali lagi sembari menatap warna oranye di horizon langit yang dipantulkan oleh lautan. "Lagipula, kalau Arum pergi Ayah memang bisa sendirian?"

"Ayah kuat dan pemberani. Laut saja Ayah hadang," ucap Ayah sembari memukul dadanya dengan bangga. Arum lagi-lagi tertawa lebar sembari memukul perut besar Ayah, saking tidak bisa menahan tawanya.

"Selamat sore."

Salam itu membuat Arum mendongak dan mendapati Mas Danu-lah yang menghampiri mereka.

"Oh Danu. Iya, iya, duduk, Dan," ucap Ayah sembari mempersilahkan Mas Danu duduk di dipan sebelah Arum.

"Biskuit, Mas," ucap Arum sembari menawarkan pria itu biskuitnya.

"Terima kasih," jawab Mas Danu dengan senyuman ramahnya sembari meraih sepotong biskuit dan menggigitnya.

"Beli di mana, Mas?" tanya Mas Danu lagi.

"Itu? Oh itu ndak dibeli, Dan," jawab Ayah santai.

"Ndak dibeli?" balas Arum kebingungan.

Ayah mengangguk lagi. "Hari ini, tiba-tiba aja ada pembagian sembako di alun-alun lapangan. Ayah hanya disuruh cap jari dan juga Ayah diberikan cap di tangan -dukungan katanya?" gumam Ayah ragu-ragu sembari menunjukkan cap bersimbol di tangannya.

Arum langsung meraih tangan Ayah dan mengamati simbol di sana. "Ayah dica-"

"Tulisan apa yang ada di kertas waktu Mas cap jari?" potong Mas Danu, membuat Arum menoleh ke arah pria itu dengan wajah kebingungannya. 

"Saya ndak bisa baca," balas Ayah lagi dengan nadanya yang jenaka. "Saya hanya tahu nama saya dipanggil, lalu saya cap jari dan saya dapat sembakonya."

Mas Danu kembali diam. Dari sudut mata Arum, ia bisa melihat pria itu tampak berpikir. 

"Mereka memang orang-orang yang baik," gumam Ayah sembari menghela nafas pelan. "Peduli pada pekerja kasar seperti kita, bahkan tadi Ayah disapa langsung oleh pemimpinnya. Siapa itu? Kamerad Aidit?"

Ah ya, nama itu. Nama yang selalu Arum dengar setiap kali konvoi itu lewat di jalanan kotanya. Pria itu memang sangatlah ramah dan baik, sehingga ia dengan mudah diterima warga di situ. Tak hanya itu, pria itu juga sangat karismatik dan setiap orasinya selalu memberikan pemahaman baru bagi yang mendengarkan.

"Mereka pernah mengatakan apa yang mereka inginkan sebagai timbal baliknya?" tanya Mas Danu tiba-tiba, membuat Ayah terdiam, lalu berpikir.

"Ndak. Saya juga ndak paham sebenarnya mereka itu apa," gumam Ayah santai sembari menggigit biskuitnya dengan lahap.

"Ya, karena Mas Danu udah datang, Ayah harus menghadang laut lagi demi bunga liar Ayah," ucap Ayah dengan sikap dramatisnya sembari berdiri dari dipan dan mencubit dagu Arum dengan gemas. Arum memasang wajah gelinya pada Ayah, namun tak ayal ia tetap tertawa lebar.

"Ayah pergi dulu ya, Rum," ucap Ayah sembari berjalan ke arah sampan dan juga jaring yang sudah mereka siapkan sejak tadi.

"Mas juga pergi. Jaga diri," ucap Danu sembari mengacak rambut Arum dengan sikap ramahnya, lalu melenggang ikut bersama Ayah.

Arum menatap punggung Mas Danu dalam diam. Terkadang, Arum merasa nyaman di sekitar Mas Danu, namun beberapa saat ia merasa takut pada pria itu. Semakin ia mengenal pria itu, semakin Arum paham bahwa Mas Danu hanyalah... 'Danu'. Pria itu seperti tidak memiliki masa lalu, keluarga, atau bahkan identitas selain nama 'Danu'-nya dan reputasi baiknya di kota itu. Beberapa saat, Arum merasa Mas Danu terasa kosong, hampa dan tak seperti manusia biasa. Namun, semua perasaan itu hanya dirasakan oleh Arum.

Arum pernah bertanya pada Ayah dan Ayah menertawainya. Arum pernah bertanya pada Mei Li dan ia malah diejek. Arum pernah bertanya pada Mama Sintha dan kepalanya malah dihadiahi pukulan oleh kipas tangan.

Mungkin, Arum yang berhalusinasi -tidak, Arum yakin ia berhalusinasi pada sosok Mas Danu. 

TBC...

Cerita ini murni untuk hiburan semata. Tidak ada unsur sastra atau pengetahuan di dalamnya.

Setiap cerita fiksi sejarahku pada dasarnya hanya untuk menarik lebih banyak orang membaca fiksi sejarah, makanya ceritaku selalu ada bumbu romansanya. Aku harapnya ketika kalian membaca ceritaku, kalian bisa lebih tertarik membaca sesuatu yang levelnya jauh di atas karyaku seperti sastra sejarah.

Dan jika ada ketidaksejajaran mohon dimaklumi serta mungkin diberi umpan balik.

Cerita ini berlandaskan film dokumenter 'Naras Signature', 'Warisan Memori 65'

Selamat menikmati✨

Jangan bosan-bosan yaww

NAMANYA ARUM.Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ