24. MIMPI BURUK

3K 709 59
                                    

"Rendra.... Rendra..."

Panggilan itu membuat anak lelaki berusia 15 tahun itu sontak terbangun dari tidurnya. Nafasnya terasa begitu sesak, padahal ia sudah dibantu dengan peralatan medis. Rendra beranjak duduk sembari menatap sekelilingnya dengan pandangannya yang berkunang-kunang. Kepalanya pusing sekali. Bernafas pun juga masih terasa sesak. Tebalnya asap dan rintihan kesakitan serta teriakan minta tolong terus membayangi ingatannya. Rendra memukul dadanya sendiri, berusaha menghilangkan perasaan sesak itu.

"Rendra!"

Bentakan itu disertai dengan kedua tangannya yang dikunci. Rendra mendongak dan mendapati seorang pria paruh baya yang familiar. Pria itu adalah sahabat Ayah sejak Ayah pertama kali masuk dalam dunia militer. Pria itu memang jarang tersenyum, tetapi Rendra tahu Ayah sangat mempercayainya.

"A-Ayah? I-Ibu?" tanya Rendra terbata sembari menitikkan air matanya, berharap mereka baik-baik saja. Rendra tidak ingat bagaimana mulanya, tetapi yang ia ingat adalah Ayah bertengkar hebat dengan Ibu di dapur, lalu setelahnya... Ibu nekat menyiram minyak tanah ke seluruh rumah. Ayah terus berusaha menahan Ibu, tetapi wanita itu sudah kehilangan akalnya. Kejadian itu diakhiri dengan Ibu melemparkan korek api yang menyala, hingga api tersebut tersulut kian besar dan melahap rumah. Ayah terus berteriak agar Rendra menyelamatkan dirinya, di saat pria itu terus berusaha menahan Ibu yang ingin membakar dirinya sendiri.

"Mereka sudah tidak ada," gumam sahabat Ayah dengan nadanya yang pelan, tanpa perasaan.

"A-Ayah?" tanya Rendra masih tidak percaya.

"Dia juga, Rendra," gumam pria itu, membuat Rendra merasakan hatinya diremas hebat. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal, berusaha mencerna informasi tersebut. Ini semua karena perempuan gila itu. Ibunya memang tak waras, sejak kematian kakak pertamanya. Dan kini, gara-gara perempuan itu, Rendra harus kehilangan orang yang ia kasihi, Ayah.

"R-Rendra harus bagaimana..." isak Rendra, merasakan ketakutan menjalari dirinya. Ia kini sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi. Rendra bahkan masih bersekolah saat itu dan ia sudah harus menjadi yatim piatu.

"Ikutlah bersama saya, Rendra," tawar sahabat Ayah dengan nada pelannya. "Saya akan menyediakan apa pun yang kamu inginkan, tetapi sebagai balasannya kamu harus setia pada saya sampai mati."

Rendra menatap sahabat Ayah dengan tatapan ragunya. Pria itu menawarkan sesuatu yang sangat ia butuhkan selama ini, tetapi konsekuensi yang mengikutinya juga sangat besar. Namun, Rendra tidak paham lagi harus ke mana jika bukan pada sahabat Ayah. Karena itu, Rendra menelan semua ketakutan dan keraguannya, lalu mengangguk sembari terisak pilu, menangisi kesengsaraannya.

Nyatanya, minggu itu adalah minggu terakhir Rendra bisa menangis, sebab setelahnya ia akan dipukul habis-habisan jika ketahuan menangis. Sahabat Ayah adalah orang yang sangat keras. Pria itu mengajarinya latihan fisik setiap hari dan membunuh perasaan Rendra. Setiap kali Rendra menampilkan emosi yang manusiawi, sahabat Ayah akan memukulnya atau membentaknya. Hari demi hari, hati Rendra kian mengeras, menjadi sesuatu yang dingin dan tak berperasaan. Ia tidak lagi paham caranya menangis atau pun tertawa. Emosi itu terasa begitu janggal baginya.

Tepat di usianya yang menginjak 21 tahun, Rendra tiba-tiba saja dipanggil oleh sahabat Ayah. Pria itu memberinya nama baru dan identitas baru. Nama yang tak biasa; Danuarta.

"Ada hal yang harus kamu kerjakan untuk saya, Danu," ucap sahabat Ayah sembari meletakkan sebundel kertas tebal di atas meja kerja pria itu.

Rendra meraih bundel kertas itu dan tubuhnya membeku. Ia tahu bahwa ia dilatih untuk ini. Rendra tidak bodoh. Ia paham bahwa semua didikan keras, pasti akan berujung pada hal seperti ini. Namun, ia sudah berjanji dan sahabat Ayah telah berjasa banyak untuknya. Karena itu, ia melakukan apa yang diperintahkan sahabat Ayah padanya.

Dan sejak saat itu, Danu tidak lagi bisa tidur dengan tenang.

***

Arum terbangun kaget dari tidurnya. Mimpinya sangatlah buruk, membuat tubuhnya dibasahi keringat. Arum merasakan nafasnya sesak. Pandangannya berkunang-kunang dan dadanya terasa begitu berat. Ia seolah lupa caranya bernafas. Tidak ada Mas Danu di sebelahnya atau pun Mbok Asri yang menuntunnya agar bisa bernafas kembali. Hal itu, membuat Arum frustrasi dan terus memukul dadanya, berusaha menghilangkan perasaan berat itu.

"Tarik nafas, Arum." Ucapan itu disertai dengan usapan di punggungnya. "Tarik dan keluarkan."

Arum mengikuti perintah itu dengan patuh, meskipun ia tahu perintah itu berasal dari orang yang sangat ia benci. Arum bernafas perlahan, mengikuti setiap tuntunan Mas Danu. Perlahan-lahan, ia mulai bisa menguasai dirinya sendiri. Arum mengerjapkan matanya perlahan, lalu mendongak. Matanya langsung bertemu dengan mata Mas Danu yang menatapnya datar. Pria itu bahkan berbaik hati menyeka keringat di leher dan dahinya.

"Sudah lebih baik?" tanya Mas Danu pelan.

Arum menahan tangan Mas Danu yang menyeka keringatnya. Ditepisnya tangan pria itu dengan gerakan dingin. Arum memalingkan wajahnya dengan ekspresi muak.

"Sebenci apa pun kamu pada Mas, Arum, kamu tetap membutuhkan Mas juga pada akhirnya," gumam Danu perlahan, sembari meletakkan handuk itu di nakas. Arum memilih tetap diam dan mengabaikan Mas Danu.

"Saya tahu saya bukanlah orang yang baik, Arum," ucap Danu perlahan. "... tetapi itu juga bukan berarti saya orang yang jahat."

"Arum sudah tidak lagi mempercayai Mas."

"Kenyataannya, kamu bahkan tidak mempercayai diri kamu sendiri, Arum," balas Mas Danu lagi, menohok Arum lebih dari yang ia duga. Arum membenci Mas Danu karena suka mempermainkan pikirannya seperti ini.

"Arum membenci Mas Danu yang senang mempermainkan pikiran seperti ini," gumam Arum dengan nada gemetarnya, menahan tangis.

"Benci saya sepuas kamu, Arum," gumam Mas Danu lagi dengan tatapan dalamnya. "... saya tidak peduli."

Mas Danu beranjak berdiri dari ranjang Arum dan berniat kembali ke kamarnya sendiri. Arum mengepalkan tangannya jengkel hanya karena melihat figur pria itu.

"Arum berharap Mas mati saja," desis Arum lagi.

"Selamat malam, Arum. Tidur yang nyenyak," jawab Danu dengan nadanya yang setenang air, lalu menutup pintu kamar Arum tanpa menolehkan wajahnya pada Arum. Perkataan Mas Danu begitu kontras dengan perkataan Arum. Pria itu seolah-olah membuatnya menjadi sosok yang jahat disitu, padahal pria itu adalah yang paling iblis dari antara semua iblis.

TBC...

WATS UPPP BESTIEEE, omgg ini liburan panjang, sebuah surga✨

Selamat menikmatii✨

Jangan bosan2 yaw

Jika kalian suka cerita ini, kalian bisa memberi dukungan berupa komentar, vote dan juga share✨

NAMANYA ARUM.Where stories live. Discover now