14. PAGI HARI

4.2K 672 61
                                    

Arum memejamkan matanya dengan nafasnya yang masih berat. Apa yang ia lakukan sebelumnya sungguh sesuatu yang sangat menguras energi, tetapi cukup membuat Arum melupakan segalanya. Mas Danu menggodanya dan menyentuhnya dengan cara yang manis, menjadikannya bunga yang mekar tanpa paksaan. Arum tidak berbohong. Ia menyukainya. Namun, Arum tentu masih malu jika ia harus melakukannya lagi, sebab kegiatan tadi adalah hal paling intim yang pernah ia lakukan bersama pria. Apa yang akan dikatakan Ayah jika tahu bunga liarnya telah mekar sepenuhnya?

"Arum," panggil Danu yang disertai kecupan lembut di pundak Arum. Arum menoleh, menatap Mas Danu yang kini sudsh berada di atasnya.

"Mas buatkan teh ya? Supaya tubuh lebih enak dan hangat," tambah Danu sembari mengusap perut polos Arum dengan lembut.

Arum memang lapar. Sangat lapar sekarang. Karena itu, ia mengangguk pelan. Setelahnya, pelukan di tubuhnya terlepas dan terdengar suara gesekan pakaian, pintu yang dibuka, lalu semuanya kembali hening. Arum kembali sendirian dengan pikirannya sendiri. Ia beranjak duduk perlahan dan merasakan pinggangnya sedikit pegal. Arum merasa sedikit tidak nyaman di bawah sana, padahal tadi ia tidak merasakan apa-apa ketika bersama Mas Danu.

Arum duduk dalam diam. Ia mengamati tubuhnya dan menyadari jika ia telah disentuh oleh Mas Danu. Setiap jengkal tubuhnya telah disentuh, dipegang dan dipuja oleh Mas Danu. Ia sudah bukan lagi si 'Gadis Pantai Arum'. Kini, Arum sudah menjadi wanita dewasa dan telah bersuami.

Tak lama kemudian, pintu terbuka dan menampilkan Mas Danu dengan cangkir teh serta biskuit di tangannya. Mas Danu kembali menutup pintu dengan punggungnya, lalu meletakkan cangkir dan biskuit itu di nakas, sebelah Arum. Berbeda dengan Arum, Mas Danu telah memakai celananya kembali, meskipun pria itu memang masih bertelanjang dada.

Danu menyelipkan gelas itu di tangan Arum. Arum dengan segera menyeruputnya sembari memakan biskuit yang diberikan. Di sisi lain, Danu mengamati cara Arum makan dan minum. Sesekali, pria itu merapikan rambut panjang Arum dengan lembut.

"Bagaimana Mas... bisa selamat?" tanya Arum terang-terangan, menyuarakan pikirannya. "Bukankah Mas adalah bagian dari orang-orang itu?"

"Keberuntungan," gumam Danu pelan.

"Seperti Ayah?" tanya Arum.

"Ya, seperti Ayah," jawab Danu.

Arum pernah bertanya pada Ayah lewat surat, bagaimana ia bisa selamat dan jawabannya seperti Mas Danu; keberuntungan. Sejak saat itulah, Arum tidak lagi meremehkan kekuatan doa dan juga suatu kuasa bernama Tuhan.

"Ayah mengatakan Mas yang menyelamatkan Ayah saat itu," gumam Arum lagi. "Apa yang terjadi?"

"Ayah dan Mas saat itu berada dalam truk yang sama. Untungnya, saat itu kami dibawa saat pergantian jam tugas dan tentara tidak banyak yang berkeliaran. Mas langsung menyerang tentara yang menjaga dan Ayah langsung berlari pergi ke tempst yang Mas sarankan. Perkelahian itu cukup sengit dan tak sengaja tembskan melesat dan mengenai lengan Mas," jelas Danu lagi sembari menatap selimut yang dipakai Arum. "Kamu melihat bagaimana tangan Mas berdarah saat itu..."

"Kenapa... Ayah ndak datang ke kota kependudukan?"

"Mas sempat mengajak Ayah. Namun, ia tidak ingin kamu semakin terseret, karena itu ia memilih bersembunyi sampai semuanya mereda," jelas Mas Danu lagi sembari memijat kaki Arum dengan lembut.

"Waktu Arum bercerita Mas menikahi Arum, Ayah lega mendengarnya, sebab dia khawatir Arum tidak memiliki nasib yang baik di sini," jawab Arum sembari tersenyum tipis, ingin meredakan suasana yang tiba-tiba saja kembali tegang di antara keduanya. Arum menenggak tehnya hingga habis kemudian terdiam.

"Apa kamu masih mencurigai Mas?"

Arum langsung mendongak dengan matanya yang melebar kaget. Ia menggelengkan kepalanya sembari tertawa kecil. "Hanya Mas yang Arum punya saat ini. Dulu, Arum memang mencurigai Mas, tetapi saat ini, Mas adalah satu-satunya orang yang hanya Arum percayai."

Senyuman tersungging di bibir Danu. Senyuman pria itu begitu menawan membuat figur Mas Danu terlihat lebih manusiawi dan hangat. Arum mencondongkan tubuhnya ke arah Mas Danu kemudian mengecup lembut pipi pria itu.

"Terima kasih untuk semuanya, Mas," ucap Arum dengan matanya yang berbinar tulus.

Danu merasakan jantungnya berhenti berdetak. Sebelum Arum sempat menjauhkan wajahnya, bibir Mas Danu sudah kembali berlabuh di bibirnya. Pria itu menciumnya dengan ciuman yang dalam dan penuh perasaan. Diraihnya cangkir itu dari genggaman Arum dan diletakkan di nakas. Tangan Danu merayap di punggung telanjang Arum dan mengusapnya lembut, membuat helaan nafas lembut lolos dari bibir istrinya di sela ciuman keduanya.

Danu menekan tubuh Arum hingga kini gadis itu terbaring di ranjang. "Kamu kelelahan, Arum," simpul Danu ketika ia melihat Arum yang semakin sayu di bawahnya.

Arum mengangguk pelan. "Jika Mas menginginkannya lagi... A-Arum bisa menerimanya," jawab Arum perlahan.

Danu terdiam sembari menatap Arum yang lagi-lagi tersipu. Perkataan Arum menjadi lampu hijau yang tidak akan ia sia-siakan.

"Mas janji ini yang terakhir," gumam Danu, sengaja berjanji agar ia bisa lebih mengontrol dirinya setelahnya dan tidak melakukannya lagi, sebab Danu tahu ia adalah pria yang sangat memegang janjinya.

"Arum percaya. Selalu."

Dan begitulah, keduanya kembali memadu kasih malam itu. Dan untuk pertama kalinya, Danu melanggar janjinya sendiri.

****

Matahari telah keluar dari peraduannya, bersinar terang di langit yang berawan. Arum mengerjapkan matanya perlahan, berusaha mengumpulkan nyawanya. Ia menoleh ke arah nakas dan matanya langsung bertemu dengan jarum jam yang terus bergerak. Arum melompat kaget ketika melihat jarum pendek menunjukkan angka sepuluh. Ini sangatlah siang. Ia tidak pernah bangun sesiang ini.

Arum menoleh ke samping ranjangnya dan tidak mendapati keberadaan Mas Danu di sana. Ia langsung melompat turun dari ranjang dan menyadari dirinya masih tidak memakai apa-apa. Tidak ada jejak bajunya di kamar itu.

Oh... tunggu sebentar... bajunya masih di ruang tamu!

Kepanikan mulai menjalari Arum. Semoga Mas Danu yang memungut baju itu, sebab mau taruh di mana mukanya jika Mbok Asri mengetahui apa yang terjadi semalam. Arum bergegas membongkar lemari Mas Danu dan meraih kaos hitam pria itu. Dipakainya kaos dan celana sarung itu, sebagai pelindung tubuhnya satu-satunya. Arum merapikan rambut panjang bergelombangnya, ingin keluar dari kamar itu. Tiba-tiba saja ia teringat akan sesuatu. Arum kembali menghampiri ranjang Mas Danu dan benar dugaannya ada bercak darah di sana.

Pipi Arum memerah. Ia langsung melepaskan sprei itu dengan brutal, sebab Arum tidak ingin Mbok Asri melihat darahnya. Arum bersumpah, ini lebih memalukan daripada terjatuh di sawab Pak Tarno. Arum memeluk sprei itu dengan erat, lalu membuka pintu kamar Mas Danu. Ia berjalan perlahan ke kamarnya sendiri, berusaha agar tidak ketahuan.

"Non, sudah bangun?" sapa Mbok Asri hangat, sembari meletakkan teh di meja pendek ruang tamu. "Pak Danu tadi menyuruh saya tidak membangunkan Non. Katanya... kelelahan."

Arum melebarkan matanya kaget. Pipinya semakin memerah, membuat Mbok Asri tertawa lembut. "Itu spreinya? Mari saya cuci, Non," tawar Mbok Asri pelan.

"NDAK!" sergah Arum panik. Namun, kemudian Arum menyadari nadanya yang kurang ajar. Ia kembali memelankan suaranya dengan tubuhnya yang memanas karena malu. "Ndak... ndak perlu... Mbok..."

"Mau makan, Non?" tanya Mbok Asri lagi dengan senyuman penuh maknanya yang sengaja ditujukan untuk Arum.

Arum mengangguk. Ia lapar sekali pagi ini, seolah-olah ia baru saja berolahraga berat. "P-porsinya tolong dibanyakkan, Mbok. Saya... lapar sekali," gumam Arum perlahan.

"Sudah pasti, Non. Gadis yang baru mekar pasti akan lapar, apalagi jika malamnya berat," gumam Mbok Asri kemudian berjalan ke arah dapur dengan tawa gelinya yang tidak berhenti, melihat tingkah Arum yang begitu panik dan tidak terkontrol. Di sisi lain, Arum mematung mendengar candaan Mbok Asri. Awalnya ia tidak mengerti, tetapi lama kelamaan ia mulai bisa mencernanya dengan baik.

Arum ingin menghilang saja saking malunya.

TBC...

Selamat menikmati✨

Sepertinya ada pelet2 tidak terdeteksi, sebab ide ini lancar tak berujung🗿

NAMANYA ARUM.Where stories live. Discover now