PROLOG

6.6K 1K 83
                                    

Sang cucu membantu neneknya untuk duduk di kursi yang telah disiapkan oleh kru film dokumenter. Wanita berusia 70 tahun itu bangkit dari kursi rodanya dan berjalan ke arah kursi yang telah disiapkan dengan bantuan tongkat. Tubuhnya gemetar, tetapi ia masih tergolong cukup kuat dan sehat untuk umur 70 tahun. Sang nenek duduk dengan nyaman kemudian memperbaiki alat bantu pendengarannya. Setelahnya nenek itu tersenyum polos ke arah kru, menunggu muda-mudi tersebut selesai bersiap-siap.

"Satu, dua, tiga. Mulai!" ucap sang sutradara sembari menutup papan klipmya di depan kamera.

"Bisa diperkenalkan dulu namanya, Oma," ucap sang pewawancara wanita yang berasal dari kru film dokumenter tersebut.

"Nama saya Yasinta. Umur 70 tahun. Panggil saja 'Oma'," ucap nenek itu dengan lancar dan tanpa berbelit, meskipun sesekali sedikit kesusahan dengan gigi palsunya.

"Terima kasih sudah bersedia hadir sebagai narasumber. Kami sangat menghargai kehadiran Oma Yasinta di sini. Pertanyaan yang akan ditanyakan di sini tidak bermaksud membuka luka lama. Jika Oma keberatan dengan pertanyaan yang dilontarkan, kami berharap Oma tidak perlu sungkan mengatakannya," gumam wanita muda tersebut dengan sopan yang ditanggapi dengan anggukan bersemangat dari Yasinta.

"Pada tahun 1965, Oma berumur 17 tahun, benar?" ucap sang pewawancara pada Oma Yasinta yang ditanggapi dengan anggukan pelan. "... dan ayah Oma sendiri adalah korban dari tragedi 1965. Apa bisa diceritakan apa yang terjadi saat itu, Oma?"

Raut wajah Oma Yasinta berubah menjadi lebih sedih dan getir, tetapi ekspresi itu begitu halus dan lembut hingga tak semua orang bisa menyadarinya. Oma Yasinta kembali mengangguk dengan senyuman tipisnya. "Saya ndak pernah menduga bahwa hari itu terjadi. Kota kami adalah kota yang indah dan tenteram, sampai tentara-tentara itu masuk dan menangkap beberapa orang yang diduga masuk dalam organisasi terlarang."

Oma Yasinta menurunkan tatapannya ke arah lantai sembari mengenang hari yang kelam tersebut. "Sebenarnya berita tragedi jenderal itu sudah kami dengar lewat radio beberapa hari sebelumnya. Berita penangkapan demi penangkapan pun sudah kami ketahui. Kami tahu dengan jelas tentara itu memasuki kota kami untuk menangkap orang-orang yang dianggap sebagai bagian dari organisasi terlarang tersebut. Namun... tidak pernah sedikit pun terlintas dalam benak kami jika kami adalah orang-orang yang akan ditangkap."

Ruang studio itu langsung hening seketika saat mendengar penjelasan Oma Yasinta yang begitu rapuh dan penuh kegetiran. Sudah lebih dari 53 tahun berlalu, tetapi kepahitan itu masih menyelimuti dirinya. Yasinta memang sudah memaafkan masa lalunya, tetapi ia tidak bisa melupakannya. Masa lalu itu akan selalu tetap ada dalam dirinya dan menghantuinya sepanjang masa. Tujuh puluh tahun ia hidup, Yasinta melewati perjalanan yang sangat berat. Dua kali ia terlibat dalam tragedi berdarah yaitu di tahun 1965 dan 1998. Ia baru bisa merasakan damai yang sebenarnya di masa-masa tuanya, setelah melewati beberapa tahun yang sulit.

"Ketika Papa ditangkap, saya diperiksa. Mereka melucuti seluruh pakaian kami sehingga kami telanjang di depan mereka. Memang tidak ada yang terjadi, tetapi itu cukup memberikan pengalaman yang buruk. Kami selalu bergantian mengirimkan pakaian dalam dan makanan untuk Papa dalam masa kurungan. Saat itu kami sangat percaya jika Papa tidak bersalah. Hingga hari itu, saya mengantarkan barang-barang tersebut... Papa sudah tidak ada. Ia sudah dieksekusi dan dikubur dalam liang yang besar bersama dua belas warga lain," jelas Yasinta lagi dengan air matanya yang menitik dan langsung diberikan tisu oleh cucunya.

"Apa Oma menyaksikan sendiri bagaimana Papa..."

"Ndak. Saya juga ndak kuat. Saya hanya mendengar dari orang-orang di situ, tetapi saya percaya, karena ada tentara yang mengembalikan seluruh barang Papa dan... salah satunya berdarah."

"Oma kalau ndak kuat, kita berhenti di sini saja nggak papa," ucap sang pewawancara wanita itu dengan sedikit khawatir pada Yasinta. Yasinta tersenyum lembut dan ia tetap bersikukuh melanjutkan perkataannya. Melanjutkan cerita dari sisi warga biasa dan kecil yang tidak pernah diangkat ke permukaan dan tidak pernah dituliskan dalam buku sejarah.

"Kemudian, saya dibawa pergi secara sembunyi- sembunyi dari kota itu lewat bantuan para suster di biara. Kami menetap di kota baru dan kami terpaksa meninggalkan semuanya. Sahabat, toko dan harta. Awalnya berat, tetapi kami bisa bertahan dengan baik," jelas Oma Yasinya dengan wajahnya yang perlahan mulai cerah.

"Beberapa tahun menetap di sana, saya mulai terbiasa dan kami mulai stabil. Kemudian, saya bertemu teman lama saya kembali. Dia adalah sahabat saya yang berasal dari kota yang sama. Kami dulu sering menonton layar tancap bersama dan juga terkadang memetik jambu bersama. Dia adalah orang terdekat saya. Ayahnya juga menjadi salah satu korban dalam tragedi tersebut," jelas Oma Yasinta perlahan. "Berbeda dengan saya, ketika saya bertemu dia, dia sudah menikah dan tengah hamil."

"Dan..." Oma Yasinta menghentikan kalimatnya, membuat ruang studio itu ikut tegang dan hanyut dalam cerita wanita tua itu. Cukup lama Oma Yasinta terdiam, membuat sang pewawancara ingin menanyakan keadaan wanita tua itu. Namun, tiba-tiba saja, Oma Yasinta menghela nafas panjang dengan tangannya yang mulai gemetar.

"Di usia renta ini, tak banyak yang saya inginkan, selain... selain mengetahui sahabat saya masih hidup dan baik-baik saja," ucap Oma Yasinta lagi mengakhiri ceritanya.

"Apa... yang terjadi pada sahabat Oma...?" tanya sang pewawancara sepelan dan sesopan mungkin, sebab kata-kata Oma Yasinta menyimpan banyak tanda tanya yang mengusik rasa penasarannya, tetapi di sisi lain juga seolah menyimpan luka yang tak terselami.

Mata Oma Yasinta berair. Tangannya gemetar hebat. "Apa yang terjadi pada sahabat saya melebihi segala penderitaan yang pernah saya tahu."

TBC...

Selamat menikmati✨

NAMANYA ARUM.Where stories live. Discover now