2. RUMOR

3.7K 765 80
                                    

"Cepat! Sebelum ada yang datang!" seru Arum panik dan juga deg-degan, sebab posisinya dengan Mei Li sekarang sedang berada dalam situasi mencuri buah jambu orang. Bukannya turun, Mei Li malah semakin naik ke atas pohon tinggi tersebut untuk menggapai buah jambu besar yang warnanya sudah mulai memucat, yang dapat berarti buah tersebut sudah matang adanya. Ketika buah itu berhasil diraihnya, senyuman puas tersungging di wajah oriental itu. Ia langsung melemparkan buah jambu itu dan ditangkap dengan gesit oleh Arum.

Meskipun wajahnya terkesan halus dan feminin, namun kekuatan Mei Li apalagi dalam panjat-memanjat sudah tidak perlu diragukan lagi. Gadis berdarah Tionghoa itu memang senang dengan kegiatan yang ekstrem dan brutal, meskipun orangtuanya berkali-kali melarangnya bertingkah seperti perempuan nakal. Namun, Mei Li tidak pernah mengindahkan nasihat orangtuanga dan malah sering mencuri buah, entah mangga dan jambu bersama pasangan kriminalnya; Arum.

Ketika Mei Li dengan selamat menapakkan kakinya kembali di tanah, perasaan lega membanjiri diri Arum. Arum dengan berbaik hati membantu membersihkan tubuh Mei Li yang dirayapi semut, juga dedaunan kering. Dengan segera, Arum menarik tangan Mei Li agar kabur dari perkebunan tersebut. Ia menarik Mei Li hingga ke pantai, tempat mereka biasa menghabiskan waktu bersama.

Tanpa melepaskan seragam sekolah, keduanya duduk di pasir putih yang bersih sembari menggigit jambu hasil jerih payah mereka. Suara desiran ombak mengalun bagaikan gendhing lakon wayang rakyat yang biasa ditonton ayahnya. Angin lembut membelai rambut ikal Arum yang ia kepang tunggal. Mata Arum terpaku pada horizon luas yang membentang di depannya. Horizon yang mulai berwarna keabu-abuan, sebab hari mulai mendung.

"Itu bukannya Mas Danu ya?" tanya Mei Li lagi dengan aksennya yang masih belum hilang. Keluarganya masih sering menggunakan bahasa Hokkian asli di rumah, sehingga setiap kali Mei Li berbicara dalam bahasa Indonesia, ia masih sulit beradaptasi dengan aksennya. Keluarga Mei Li sendiri sudah turun temurun berada di kota itu, seperti keluarga nelayan lainnya. Garis keturunannya bahkan sudah ada di kota pelabuhan itu sejak para londo masih berkuasa hingga Dai Nippon menduduki Indonesia. Usaha kelontongnya pun masih langgeng hingga saat ini dan kini dikelola oleh kedua orangtuanya.

Arum mengikuti arah pandang Mei Li dan mendapati Mas Danu tengah menjahit jala di depan rumahnya. Rahang Arum terbuka ketika mendapati pemandangan tubuh seorang pria dewasa yang sehat terpampang cukup jelas tanpa ditutupi atasan.

"Memangnya... anak gadis seperti kita boleh lihat hal seperti ini?" tanya Mei Li dengan ekspresi yang sama seperti Arum, fokusnya pun masih terpaku pada tubuh Mas Danu yang mengilap karena basah.

"Selama orangnya ndak tahu, ya anggap saja ndak papa," jawab Arum yang disambut dengan tawa lebar Mei Li.

"Kita kayak ndak pernah yang lihat begitu aja. Biasanya ya nelayan ndak pakai atasan," balas Mei Li sembari berdecak pelan dan menggigit jambu bijinya sembari menonton otot punggung Mas Danu yang kini membelakangi mereka.

"Tapi kok ya... ndak ada begitu nelayan yang tubuhnya seperti Mas Danu. Rata-rata seperti Ayah, kan apa yang mau dilihat."

Dengan segera, Mei Li menjitak kepala Arum yang disambut dengan keluhan panjang. "Anak gadis kok..." tegur Mei Li dengan wajah prihatinnya.

"Kayak kamu ndak menikmati aja," ejek Arum yang ditanggapi dengan senyuman geli dari Mei Li.

"Udah dengar rumor tentang Mas Danu?" tanya Mei Li dengan nadanya yang memancing.

Arum menoleh tertarik. "Mas Danu itu perawakannya ndak biasa di kota ini. Cara bicaranya dia itu terlalu sopan, ndak seperti kita anak pantai yang kasar-kasar begini. Semua orang menebak dia asalnya dari kota kependudukan. Banyak yang bilang... dia itu mata-matanya Dai Nippon."

NAMANYA ARUM.Where stories live. Discover now