7. RUMAH MAS DANU

3.2K 692 67
                                    

"Selamat pagi saudara pendengar di seluruh kepulauan Nusantara, bahkan di mana pun Saudara berada. Inilah Radio Republik Indonesia, studio Jakarta..."

Lantunan pembukaan radio itu mengisi keheningan di antara Mei Li dan juga Arum yang tengah sibuk membaca majalah. Arum duduk bersadar di samping ranjang Mei Li dengan majalah Diskorina di tangannya, sedangkan Mei Li sudah terlentang dengan majalah yang sama di tangannya. Arum meraih pao yang diberikan oleh ibu Mei Li dan menggigitnya perlahan sembari membalikkan halaman majalah itu. Majalah itu memang dikhususkan untuk perempuan dan remaja sepertinya yang sedang senang-senangnya merawat diri dan berdandan agar seperti pelakon dalam layar tancap.

 Majalah itu memang dikhususkan untuk perempuan dan remaja sepertinya yang sedang senang-senangnya merawat diri dan berdandan agar seperti pelakon dalam layar tancap

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Kamu pernah kepikiran ndak untuk pergi dari kota ini?" tanya Arum tiba-tiba pada sahabatnya.

Mei Li tampak berpikir sejenak kemudian menggeleng. "Ke mana?"

"Ke kota kependudukan mungkin?" tanya Arum lagi yang diiringi musik 'Rindu Lukisan' yang memang sedang populer akhir-akhir ini. Tak terhitung berapa kali lagu itu diputar di radio beberapa hari terakhir ini. Lagu itu memiliki lantunan irama yang menarik, tenang, namun juga tidak membuat kantuk; bersemangat, namun tidak agresif, sehingga tak heran lagu itu menjadi lagu favorit dirinya dan Mei Li.

"Memangnya buat apa di sana?" tanya Mei Li lagi dengan nadanya yang masih tidak paham.

"Sekolah mungkin? Atau bekerja?" tanya Arum sembari menggidikkan bahunya tidak mengerti.

"Ah ndak... Mei Li akan terus di kota ini sampai Mei Li menua. Lagipula kota kependudukan, orangnya pasti jahat-jahat," jawab Mei Li lagi sembari menegakkan tubuhnya dan duduk menghadap Arum. "Memangnya kamu akan ke kota kependudukan, Rum?"

"Ndak... tetapi Arum ditawari, hanya Arum menolak," balas Arum lagi dengan senyuman lebarnya. "Arum juga ndak mau ke kota kependudukan. Kota ini udah yang paling baik."

"Kita pasti menua bersama di kota ini. Seperti kata Ba Ba, kita lahir di kota ini, ya akan meninggal di kota ini juga," balas Mei Li santai sembari menggigit paonya dengan lahap.

"Janji ya jangan ke mana-mana," ucap Arum sembari mengulurkan jari kelingkinganya pada Mei Li dengan matanya yang menyipit tajam. "Soalnya siapa yang akan panjat pohon jambu kalau bukan kamu."

Mei Li tertawa lebar, namun tak ayal ia mengaitkan jari kelingkingnya pada Arum dengan erat. Arum mengenal Mei Li sejak mereka masih di bangku sekolah dasar. Gadis tionghoa itu adalah satu-satunya teman terbaik yang pernah Arum punya di kota itu. Mei Li liar sama seperti Arum dan yang paling penting adalah Mei Li menganggap Arum sebagai saudaranya seperti halnya Arum pada Mei Li, meskipun keduanya berasal dari kebudayaan dan keluarga yang sangat berbeda jauh. Terkadang, Mei Li akan mengajari Arum berbahasa Hokkian dan beberapa saat Arum akan mengajari Mei Li berbahasa Jawa yang fasih.

"Kamu ngomong begitu seperti kita akan berpisah lama toh," ejek Mei Li, kembali berbaring di lantai dan melanjutkan bacaannya.

"Ya siapa tahu."

NAMANYA ARUM.Where stories live. Discover now