3. DANU

3.2K 725 76
                                    

"Astaga, Arum!" seru Ayah yang khawatir sekaligus sungkan minta ampun pada Mas Danu. Bagaimana bisa anak gadisnya mencelakai pria dewasa seperti Mas Danu sampai berdarah? Jika berita ini beredar di kota pelabuhan itu, bagaimana tanggapan orang-orang nanti terhadap Arum? Bisa-bisa anaknya dicap sebagai siluman.

"Arum kan ya ndak sengaja," balas Arum tidak terima sembari mengobati luka di kaki Mas Danu.

"Kamu itu anak gadis, ya anteng sedikit toh," gumam Ayah sembari menggelengkan kepalanya tidak mengerti. "Sudah berapa keluhan Ayah terima dari warga karena kamu."

"Arum ndak ngapa-ngapain..."

"Mengintip pria mandi, mencuri jambu dan mangga," potong Ayah sembari mengabsen satu per satu keluhan yang ia terima dari warga terhadap anak perempuan satu-satunya itu. Nama boleh cantik, namun kelakukannya sangat di luar nalar.

"Yang mengintip pria mandi... itu Arum ndak sengaja!" balas Arum dengan pipinya yang langsung merah padam, sembari mengintip sedikit ke arah Mas Danu yang tertawa.

"Tapi kamu menikmati toh..." ejek Ayah membuat pipi Arum kian memerah.

"Kalau Arum menikmati wanita mandi... itu baru Ayah panik."

Perkataan Arum memancing tawa lebar dari Mas Danu, namun kerutan di wajah Ayah. "Uwis... uwis.." ucap Ayah, kemudian mengamati luka di kaki Mas Danu. Helaan nafas lembut terdengar dari Ayah.

"Sepertinya harus disuntik rabies ini," gumam Ayah tiba-tiba.

"Mas Danu?" tanya Arum polos yang membuat tawa Mas Danu kian kencang.

"Kamu," balas Ayah sengit.

"Anjingnya, Arum," koreksi Mas Danu lembut.

"Arum... Arum..." gumam Ayah sembari menggelengkan kepalanya, tidak memahami tingkah anak gadisnya. "Kata orang-orang kamu bunga desa, kalau kata Ayah, kamu bunga liar."

"Ayah!" seru Arum dengan wajah tidak terimanya, namun Ayah sudah lebih dulu kabur ke dalam rumah kayu mereka sembari tertawa terpingkal-pingkal, puas menggoda anaknya sendiri.

Kini, tinggallah Arum dan Mas Danu berdua saja. Puji syukur Arum panjatkan pada Tuhan, sebab Mas Danu kini sudah berpakaian. Arum sungguh tidak bisa menahan mata 'anak gadis' nya jika ia harus berhadapan langsung dengan Mas Danu dalam keadaan pria itu tidak memakai atasan.

"Maaf, Mas," ucap Arum perlahan. "Arum ndak sengaja."

"Semudah itu, Arum?" tanya Mas Danu lagi. Kata-katanya terkesan tajam dan menusuk, namun nadanya begitu lembut dan halus bagaikan suara gemerisik daun kelapa.

Arum mendongakkan kepalanya dan menatap langsung mata Mas Danu. Kepanikan mulai menjalari dirinya. Namun, di sisi lain, Mas Danu malah menatapnya tenang terkendali.

"A-Arum harus bagaima-"

"Temani saya berkeliling kota," potong Mas Danu lagi sembari melanjutkan ikatan kain di lukanya.

"Berdua saja?" tanya Arum kaget.

Mas Danu mengangguk. "Iya. Saya dan kamu."

"A-arum pikirkan lagi..."

"Itu bukan tawaran, Arum," gumam Mas Danu dengan nadanya yang begitu tenang dan lembut. Ucapan Mas Danu sontak membuat Arum melongo. Ia tidak pernah dipaksa sehalus ini sebelumnya. Otaknya masih mencerna perkataan dan nada pria itu yang kontradiksi. 

"Besok, Mas tunggu di depan rumah," ucap Mas Danu mengakhiri perkataannya dengan senyuman hangat menari di wajahnya. Ia beranjak berdiri dari tempatnya duduk. Buru-buru, Arum juga ikut berdiri, ingin mengantar Mas Danu pulang. Pria itu mengulurkan tangannya ke arah Arum. Dikaitkannya sejumput rambut ke belakang telinga gadis itu. Mendapat perlakuan tersebut, pipi Arum langsung memerah dan ia refleks menunduk. Danu tersenyum tipis, kemudian melenggang pergi seolah tidak terjadi apa-apa.

***

"Ada kiriman untuk saya, Mas?' tanya Danu pada sang penjaga kantor pos.

"Atas nama siapa, mas?"

"Danu."

Penjaga kantor pos itu terdiam, menunggu Danu melanjutkan perkataannya, namun tidak ada lanjutan yang keluar dari pria itu. Kantor pos itu mendongak dengan wajah bingungnya. "Hanya Danu, Mas?" tanyanya pelan.

"Hanya Danu." Penjaga pos itu tampak kebingungan mendengar jawaban Danu. Penggunaan satu nama saja adalah hal yang tak biasa. Tidak ada satu pun pelanggan yang ia temui menggunakan hanya satu nama di kirimannya. 

Senyuman tipis muncul di wajah Danu. "Nama saya sendiri sudah ndak biasa, Mas. Jadi, saya rasa penggunaan nama lain ndak diperlukan," balas Danu pelan yang langsung meruntuhkan semua kebingungan sang penjaga pos itu padanya.

"Owala, gitu toh. Nggih, sebentar ya, Mas. Saya carikan," gumam sang penjaga pos yang hilang dibalikk rak-rak tinggi. Ketika penjaga pos itu menghilang, senyuman Danu perlahan pudar, digantikan dengan ekspresi seriusnya. Matanya dengan jeli mengamati setiap sudut kantor pos itu, hingga ke halaman dan jalanannya.

"Danu ya?" ulang sang penjaga pos sembari meletakkan kotak berukuran sedang di atas meja. Danu mengangguk dengan senyuman hangatnya yang kembali muncul. Setelah memberikan tanda tangan dan berpamitan, Danu mengikat dus kotak itu di jok belakang sepedanya. Ia melajukan sepedanya membelah jalanan alun-alun kota yang selalu sepi itu.

Kota pelabuhan itu memang sering sepi dan jarang ramai. Ramai hanya ketika adanya pesta rakyat, kesenian digelar, atau pun ada festival dan layar tancap yang mana hanya akan digelar sebulan sekali atau pun satu tahun sekali. Namun, akhir-akhir ini, terdapat iring-iringan yang seirng meramaikan kota itu. Konvoi tersebut adalah yang paling ditunggu-tunggu oleh nelayan maupun petani kecil di kota itu. Iring-iringan itu sering disebut pembawa wahyu Tuhan, mengingat orang-orang yang ada di dalamnya adalah mereka yang sangat memperjuangkan kaum buruh, petani dan nelayan. Ketika konvoi itu tiba, nelayan, petani dan buruh akan melambaikan bendera berlogo di sepanjang jalan yang dilewati, tanpa tahu maksud sebenarnya dari logo itu. Mata Danu yang tajam sering mengamati bagaimana orang-orang beridealis itu membawa pengaruh yang begitu besar pada kota kecil -yang lebih tepat disebut sebagai desa- tersebut.

Ketika sampai di rumah, Danu langsung mengunci seluruh pintu di rumah sederhananya, barulah ia membuka dus tersebut. Di dalam dus itu, terdapat plastik hitam yang ketika dibuka terdapat tumpukan pakaian, sebelum akhirnya di bawah tumpukan pakaian itu, terdapat satu bundel kertas. Di tengah bundel kerta situ, terdapat sebuah surat yang terselip di antaranya. Danu membaca surat itu perlahan. Matanya terpaku pada sebuah peribahasa yang tertulis di akhir surat.

Di ujung kuku.

Danu langsung merobek kertas itu, lalu melemparnya ke api nyalang yang masih memanaskan tungku nasinya. Diamatinya bagaimana api tersebut melahap habis kertas itu hingga menjadi abu, seperti nasib sang kayu bakar.

TBC..

Update lagii bestieee, selamat menikmatii✨

Jangan bosan bosan yaa✨

NAMANYA ARUM.Where stories live. Discover now