5. PERASAAN TAK BIASA

3.1K 712 59
                                    

Enam bulan lamanya, Mas Danu menjadi bagian dalam hidup Arum. Setiap hari, ia selalu melihat wajah pria itu. Tersenyum, melambai dan menyapanya dengan hangat. Pria itu memang sangatlah ramah dan menawan, hingga beberapa kali Arum sering salah mengartikan keramahan pria itu padanya. Arum terkadang marah pada Mas Danu, terlebih pada dirinya sendiri. Cara pria itu tersenyum padanya terasa... berbeda dari cara pria itu tersenyum pada orang lain. Arum seringkali merasa ia berhalusinasi dan mungkin terlalu percaya diri. Namun, perasaan itu begitu nyata, jelas, membuatnya tak bisa tidur di malam hari.

Di sisi lain, Arum sadar bahwa ia tidak mungkin menempati sisi spesial dalam hati Mas Danu. Ia bahkan tidak tahu apa-apa tentang pria itu. Sedikit pun tidak. Mas Danu tidak pernah menceritakan dirinya sama sekali; tentang masa lalunya, keluarganya atau bahkan makanan kesukaannya. Arum seringkali mencoba bertanya, tetapi Mas Danu akan mengganti topik pembicaraan mereka menjadi fokus pada Arum seorang. Dan sialnya, Arum seringkali tidak menyadari itu. Ia membenci Mas Danu untuk itu, tetapi di sisi lain, ia tidak bisa mengabaikan pria itu. Jadilah, Arum membenci dirinya sendiri karena perasaan yang tumbuh itu.

Arum berpisah dengan Mei Li di perempatan jalan setapak yang ada di sawah itu. Ia melambaikan tangannya pada gadis tionghoa itu, lalu melanjutkan langkahnya ke arah timur. Hari ini, Arum tidak memakai sepeda, mengingat hari itu adalah hari pasar, yang mana Ayah akan membawa hasil ikannya untuk diperdagangkan dengan ditemani si Mas Genderuwo itu.

Arum menghela nafas kasar sembari menatap langit yang mulai mendung. Samar-samar, ia mendengsr suara kayuhan sepeda dari belakang tubuhnya. Refleks, Arum meminggirkan tubuhnya, membiarkan sepeda itu mendahuluinya. Namun, nyatanya sepeda itu malah berhenti di sampingnya, membuat Arum menoleh kaget dan hampir terjatuh -kalau saja Mas Danu tidak memegang sikutnya.

"Apa kabar, Nona Manis?" sapa Mas Danu ringan dengan senyuman hangatnya.

"B-baik," jawab Arum. Ia tidak dalam perasaan yang bagus siang itu, apalagi jika harus bertemu dengan sumber perasaan tersebut. Arum melepaskan sikutnya dari genggaman Mas Danu dan kembali berjalan dengan langkah yang lebih cepat.

"Arum," panggil Mas Danu lembut sembari mengayuh sepedanya dan mengimbangi langkah Arum di sepanjang jalan setapak itu.

"Pulang sama saya?" ajak Mas Danu lagi, setengah membujuk.

"N-ndak usah, Mas..."

"Kenapa?"  tanya Mas Danu cepat, memotong Arum.

"Udara hari ini bagus," ucap Arum sembari tertawa gugup. "Mataharinya cerah..."

"Ini mendung, Arum," potong Mas Danu lagi, membuat Arum terdiam canggung di tempatnya.

"Ya... Arum ingin jalan," gumam Arum sembari membuang wajahnya ke arah lain.

"Kamu menghindari saya..." simpul Mas Danu membuat tubuh Arum langsung menegang dan ia melangkahkan kakinya lebih cepat lagi. Namun, ia tetap bisa disusul oleh sepeda Mas Danu yang terus berdampingan dengannya.

"Ndak... untuk apa?" balas Arum lagi.

"Seharusnya saya yang bertanya; Untuk apa, Arum?" Mas Danu malah membalikkan kata Arum dengan nada yang tidak biasa, seolah-olah pria itu tahu bahwa Arum menghindarinya karena ia memiliki perasaan pada pria itu.

"Arum ndak mungkin menjauhi Mas Danu," jawab Arum lagi setengah tertawa gugup.

Tidak terdengar jawaban dari pria itu. Mas Danu mengayuh sepedanya semakin cepat, melewati Arum, membuat Arum menghela nafas lega. Namun, nyatanya pria itu malah memarkirkan sepedanya di depan Arum, dengan sengaja menghadang jalannya.

"Apa saya menyakiti kamu?" tanya Mas Danu tanpa turun dari sepeda itu dengan tatapannya yang masih berusaha mencari tatapan Arum.

"Ndak..."

"Apa kamu akan menghindari saya seterusnya?" tanya Mas Danu setenang mungkin.

"Arum ndak menghindari Mas Danu!" seru Arum sedikit jengkel.

"Kalau begitu naik," balas Mas Danu cepat, membuat Arum terdiam. Nada pria itu tenang dan pelan seperti halnya sungai yang mengalir. Sialnya, hal itu membuat situasi mereka semakin tak menyenangkan. Arum semakin gelisah melihat Mas Danu yang tenang dan tidak terusik sedikit pun.

"Kalau kamu memang tidak menghindari saya, Arum. Naik dan tersenyumlah seperti yang biasa kamu lakukan," gumam Mas Danu lagi. Sekilas, Arum mendengar nada yang tak biasa terselip di sana, seperti... memaksa, mengontrol dan dingin. Namun itu hanya sepersekian detik, membuat Arum merasa jika ia hanya berhalusinasi saja.

"Kenapa?" tanya Arum pelan. Mas Danu tetap diam, menunggu Arum menyelesaikan perkataannya.

Siang itu, Arum tampak semakin cantik dengan seragam sekolahnya dan rambutnya yang dikepang tunggal -sedikit bersntakan karena dibelai angin. Kecantikan Arum seperti halnya bunga liar, yang seringkali terlewatkan, namun jika dilihat baik-baik, sebenarnya tak kalah cantik dari bunga taman. Gadis itu seperti ombak di kala pasang dengan tingkahnya yang trengginas dan liar, tetapi sebenarnya gemulai dan lembut seperti halnya watak air. Gadis itu cerah seperti fajar, cantik seperti bunga liar dan unik seperti ombak. Namun, kini Arum-nya menatapnya dengan tatapannya yang kehilangan arah dan kebingungan. Tidak seperti Arum yang biasanya.

Tidak seperti Arum-ku.

"Kalau pun Arum menghindari Mas, kenapa itu penting?" tanya Arum terang-terangan pada Mas Danu.

Mas Danu terdiam. Ia mencengkeram kemudi sepedanya kemudian berkata pelan, "Kenapa itu ndak penting?"

"Mas ndak pernah memberikan jawaban. Mas selalu membalikkan semuanya pada Arum," gumam Arum dengan nada jengkelnya yang tidak bisa ia tutupi. Ia berjalan melewati sepeda Mas Danu dengan langkah penuh amarahnya.

"Karena saya menginginkan kamu, Arum," ucap Mas Danu. Pelan, namun bisa didengar oleh Arum.  Arum menoleh dengan wajah kaget dan juga linglungnya. Apakah ia baru saja berhalusinasi?

"Jika itu sudah menjawab, apa kamu mau pulang bersama saya?" tanya Mas Danu lagi dengan senyuman lembut yang kembali tersungging di wajahnya. Arum mengerjapkan matanya berulang kali. Pipinya merah padam, namun tak ayal perasaan itu bertumbuh semakin subur dalam dirinya.

Arum menelan ludahnya gugup, lalu mendekati Mas Danu. Senyuman senang tak bisa disembunyikan Danu ketika melihat Arum menghampirinya dan naik di kursi belakang sepedanya. Danu meraih kedua tangan Arum untuk melingkar di pinggangnya.

"Pegang yang erat, nanti jatuh," gumam Danu dengan nada gelinya.

"I-ini Arum ikut karena mau hujan," balas Arum, malu setengah mati.

"Baik, Nona Manis," canda Mas Danu, lalu mengayuh sepedanya menyusuri jalan setapak di sawah tersebut.

Kayuhan Mas Danu pelan, terkendali dan santai, tidak seperti biasanya ketika pria itu mangantarkan ikan. Mas Danu mengayuh sepeda itu seolah ia ingin menikmati waktu yang tenang dengan ditemani gemerisik angin lembut. Pemandangan sawah membentang yang dikelilingi bukit megah menjadi tontonan keduanya sepanjang perjalanan ke rumah. Wangi tanah yang basah terasa sangat ramah di indera penciuman Arum dan Mas Danu.

Keduanya diam sepanjang perjalanan, namun entah mengapa tak ada perasaan canggung di sana, melainkan perasaan nyaman dan tenang.

TBC...

Jangan bosan bosan yaa✨

NAMANYA ARUM.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang