22. JANGGAL

2.8K 751 77
                                    

Arum meremas rerumputan pendek yang tumbuh di tanah itu. Arum dan Mama Sintha langsung tahu tempat itu adalah tempat dikuburnya Ayah dan dua belas warga lainnya dari kontur permukaannya yang tidak biasa. Di saat tanah di sekitarnya ditumbuhi ilalang tinggi, hanya tanah itu yang memiliki rumput pendek. Di sekitar tanah itu juga terdapat bebatuan yang sengaja disusun mengikuti lubang yang pernah digali. Terdapat banyak lilin yang mencair, menandakan ada banyak yang mendoakan keluarga mereka di sana.

Arum menangis hebat sembari meremas rumput di atas permukaan tanah itu. Di situlah Ayah disemayamkan dengan cara yang tak manusiawi, bahkan tidak ada papa nama di sana. Arum menempelkan dahinya di tanah dan kembali mengerang, memanggil Ayah. Ia ingin sekali menggali tanah itu dan memeluk Ayah sekali lagi, tidak peduli jika pria itu telah menjadi tulang-belulang belaka. Arum hanya ingin memeluk Ayah dan meminta maaf pada pria itu serta warga lainnya, karena sudah menikah dan hamil anak dari pembunuh mereka. Kebohongan Mas Danu sungguh menyakiti Arum lebih dalam dari apa pun yang pernah Arum tahu. Pria itu telah menghancurkan Arum hingga Arum tidak memiliki apa-apa lagi. Harga diri pun tidak.

"Arum... sudah..." ucap Mama Sintha, berusaha membawa Arum berdiri. Namun, Arum tetap di tanah itu dan menangis tersedan-sedan, hingga ia tidak bisa bernafas. "Arum, kasihan bayi kamu."

"Bagaimana ini, Mama? Arum hamil anak seorang pembunuh," isak Arum, merasa dirinya sudah tidak tertolong lagi.

"Arum... Arum... dengar..." gumam Mama Sintha sembari berjongkok di sebelah Arum kemudian mengusap punggung gadis malang itu. "Anak kamu tidak bersalah. Danu yang membohongi kamu, Arum. Semua kesalahan ayahnya tidak ada sangkut paut dengan anaknya. Tetaplah bertahan, setidaknya demi anak kamu."

"Arum tidak ingin kembali ke kota kependudukan," erang Arum lagi sembari menggelengkan kepalanya.

"Saya juga ndak akan membiarkan kamu kembali pada Danu brengsek itu," gumam Mama Sintha sembari membawa Arum ke dalam pelukannya dan mengusap punggung gadis itu. Mama Sintha mengenal Arum bahkan sejak gadis itu masih di kandungan. Dahulu, ibunya adalah bunga kota yang begitu cantik dan menawan. Ibu Arum adalah teman baik Mama Sintha dahulu. Kini, merawat Arum adalah sebuah kehormatan, bukan lagi tanggung jawab atau pun beban.

"Arum takut," bisik Arum perlahan, sebelum kemudian Mama Sintha merasakan tubuh gadis itu semakin berat dan benarlah dugaannya. Arum pingsan, karena dehidrasi dan juga stres berkepanjangan. Hal itu tentu membahayakan bayinya, tetapi untungnya tidak terjadi apa-apa pada kandungannya.

Sejak Arum mengetahui seluruh cerita dan kebenaran, ia merasakan hatinya terkoyak, tetapi entah mengapa memberikan kelegaan tersendiri. Selama ini, Arum selalu menaruh prasangka pada Mas Danu dan menyalahkan dirinya sendiri karena sudab berpikir hal yang jahat pada pria itu. Dan kini, ketika ia tahu semua kebenarannya, Arum akhirnya memiliki alasan yang kuat untuk membenci pria itu dengan segenap hatinya.

Hari demi hari berlalu. Tak terasa, Arum kini sudah satu minggu berdiam di kota pelabuhan, tepatnya di rumah Mama Sintha. Ia bukanlah wanita penghibur di situ, melainkan Arum yang membantu membersihkan rumah, memasak makanan dan juga berbelanja. Semua warga kota yang mengenalnya tampak kaget ketika tahu ia masih hidup. Dan Arum tidak lagi membahas Mas Danu pada siapa pun, menganggap pria itu hanyalah angan-angan belaka. Usia kehamilannya yang masih muda tidak berpengaruh banyak pada penampilannya. Ia masih terlihat seperti Arum, si gadis pantai yang gesit. Perutnya yang masih belum membesar juga memudahkan Arum untuk mengayuh sepeda dan berkegiatan dengan intensitas sedang.

Arum mengepang rambut panjangnya, kemudian menggerakkan sapunya, membersihkan ruang tamu. Mama Sintha sebenarnya khawatir pada tingkah Arum yang tak pernah berdiam diri di rumah. Gadis itu padahal sedang hamil muda, tetapi selalu saja berkegiatan ke sana ke mari. Dan seringkali Arum mengayuh sepeda sendirian di sore hari. Ketika ia pulang, rambut gadis itu sudah berantakan, karena terkena angin laut. Namun, Mama Sintha merasa lebih lega, sebab Arum kini lebih ceria dan riang, tidak sepeeti pertama kali gadis itu datang.

"Ndak mual, Arum?" tanya Mama Sintha khawatir.

"Ndak," jawab Arum dengan senyuman lembutnya. "Arum sudah mual-mual subuh tadi."

"Saya boleh bertanya sesuatu pada kamu, Arum?" tanya Mama Sintha dengan nadanya yang serius, membuat Arum menoleh dengan wajah bertanyanya.

"Ketika kamu dibawa ke kota kependudukan, apa yang Danu lakukan pada kamu?" tanya Mama Sintha perlahan.

Arum terdiam sejenak, lalu tersenyum getir. "Saya dibawa ke sebuah rumah yang sangat cantik dan Mbok Asri yang mengasuh saya. Beberapa bulan kemudian, Mas Danu datang dan mendesak saya untuk menikah dengan dia, sebab saya tidak memiliki identitas dan kata dia, itu sangatlah rawan," jelas Arum kembali melanjutkan kegiatan menyapunya. "Saat itu saya sangatlah polos, sebab di mata saya, Mas Danu sangatlah baik. Ketika saya mimpi buruk, pria itu yang selalu menenangkan saya, membuatkan teh dan juga menyiapkan biskuit. Dia selalu mengatakan Ayah masih hidup, lalu membohongi saya dengan membalas semua surat saya pada Ayah."

"Kamu... pernah menyukai dia?"

Arum terdiam lagi, lalu menelan ludahnya perlahan. "Pernah. Dulu, saat saya belum tahu siapa dia yang sebenarnya. Saya bertemu dia saat jatuh di sawah Pak Tarno pertama kali, sepulangnya dari layar tancap. Dan dia adalah pria yang sangat baik dan sopan..."

"Layar tancap?" tanya Mama Sintha perlahan, mengingat kembali hari di mana Mas Danu pertama kali berkunjung ke rumah itu. "Kamu yakin itu pertama kali kamu bertemu dengan dia, Arum?"

Arum sontak menolehkan kepalanya pada Mama Sintha. Keduanya saling bertatapan untuk sepersekian detik. "M-maksudnya?" ucap Arum gugup setengah mati.

"Saat dia pertama kali menginjakkan kaki di sini, Arum, sekitar dua hari sebelum layar tancap digelar... dia pernah bertanya apakah kami mengenal seorang gadis bernama 'Arum'. Setelahnya, dia kembali bertanya di mana kamu tinggal," jelas Mama Sintha lagi membuat Arum membeku. Tubuhnga mendingin. Arum bersumpah, ia bertemu dengan Mas Danu pertama kali adalah ketika ia terjatuh di sawah Pak Tarno.

"Kami awalnya mengira dia adalah sanakmu, tetapi ternyata tidak," tambah Mama Sintha lagi.

"Apa yang..." Arum tidak bisa melanjutkan perkataannya saking penuh otaknya saat ini. Ia tidak bisa berpikir.

"Arum... jangan bilang kamu pertama kali bertemu dia adalag hari ketika layar tancap digelar?" tanya Mama Sintha perlahan.

Arum mengangguk pelan.

"Dia sudah mengincar kamu sejak awal, Arum," jawab Mama Sintha membuat bulu kuduk Arum berdiri tegak.

Tetapi pertanyaannya adalah untuk apa?

TBC....

Hola selamat menikmati, jangan bosan yaw

Jika kalian suka cerita ini, mohon bantuannya untuk vote, komen atau mungkin juga share ke teman-teman✨

NAMANYA ARUM.Where stories live. Discover now