4. MAMA SINTHA

3.1K 736 60
                                    

"Heh! Cah gendeng!"

Sapaan anarkis itu langsung diterima oleh Arum ketika ia baru menapakkan kakinya di rumah pelacuran Mama Sintha yang masih tutup di sore itu. Seolah sapaan saja belum cukup, Arum juga dihadiahi pukulan oleh Mama Sintha di lengannya, membuat Arum meringis kecil.

"Ayu begini dibilang gendeng," balas Arum tidak terima yang langsung disambut tawa dari Mama Sintha. Arum memang cukup dekat dengan Mama Sintha dan beberapa wanita yang ada di situ, mengingat mereka adalah pelanggan setianya. Mama Sintha juga sering memberinya uang tambahan sebagai uang jajannya, yang mana selalu ditabung oleh Arum, agar ia bisa membeli tiket layar tancap.

"Kok kamu yang bawa ikannya? Mana Mas Danu?" tanya Mama Sintha sembari memberikan uang bayarannya pada Arum.

"Mas Danu ndak mau sama yang galak-galak," ejek Arum sembari menjulurkan lidahnya kurang ajar pada Mama Sintha. Hal itu membuatnya dihadiahi pukulan di kepala oleh kipas tangan.

"Galak-galak begini seenggaknya ndak liar kayak ngono kuwi." Mama Sintha yang tidak mau kalah, kembali membalas ejekan Arum dengan ejekan yang sama menusuknya. Perkataan Mama Sintha sontak menyambut tawa dari beberapa wanita yang tengah berdandan di situ.

"Sudah selesai?"

Ucapan itu membuat Arum sontak menoleh dan mendapati Mas Danu tengah berdiri di depan pintu masuk rumah pelacuran itu. Figur Mas Danu yang tinggi dan besar seolah menutupi cahaya yang masuk dari arah pintu masuk. Kehadiran Mas Danu membuat Mama Sintha dan beberapa wanita di situ terhenyak sebentar, sebelum senyuman sumringah muncul di wajah wanita paruh baya itu.

"Mas Danu," ucap Mama Sintha dengan senyuman lebarnya sembari menghampiri Mas Danu dan menarik pria itu masuk bersamanya. "Sekali-sekali Mas Danu toh yang ngantar ikannya, bukan cah liar ini."

"Jangan, Mas, Mama Sintha galak," bisik Arum dengan suaranya yang sengaja dibesarkan agar bisa didengar wanita paruh baya itu. Bisikan Arum lagi-lagi memancing tawa dari beberapa wanita di situ, termasuk Mas Danu sendiri. Pukulan dengan kipas kembali berlabuh di kepalanya.

"Jangan didengarkan anak ini..." ucap Mama Sintha sembari menatap sinis ke arah Arum, lalu senyumannya kembali mengembang ketika melihat Mas Danu. "Ndak mau mampir, duduk-duduk santai, Mas?"

"Maaf, ndak bisa. Setelah ini, saya ditemani Arum berkeliling kota," ucap Danu dengan nadanya yang sopan dan lembut, menolak tawaran Mama Sintha. Senyuman ramah itu langsung luntur digantikan dengan wajah kecewa dari Mama Sintha.

"Awas jatuh di sawah Pak Tarno lagi ya kamu," ucap Mama Sintha memperingatkan Arum yang selalu terjatuh di sawah Pak Tarno.

"Nuwun, Den Ayu," ucap Arum dengan senyuman manisnya yang terkesan seperti mengejek, membuat Mama Sintha ingin menghadiahi pukulan di kepala gadia itu dengan kipasnya lagi. Namun, gadis tengil itu sudah berlari keluar dari rumah pelacuran itu secepat mungkin dengan tawa kecilnya yang khas. Mas Danu pun ikut berpamitan pada Mama Sintha, menyusul Arum yang sedang mempersiapkan sepedanya.

"Ayo, Mas!" ucap Arum bersemangat sembari menepuk jok depan sepeda tua tersebut.

"Kita ke mana?" tanya Mas Danu dengan senyuman yang sama seperti Arum.

"Curi jambu," balas Arum polos dengan tawa ringannya. Mendengar ucapan Arum, Mas Danu kembali tertawa. Tawa berat pria itu terdengar begitu ramah di telinga Arum.

Mas Danu menggelengkan kepalanya tidak percaya, namun tak ayal ia tetap menaiki sepeda tua itu. Arum dengan segera duduk di jok belakang sepeda tersebut, kemudian meremas kaos Mas Danu, sebagai penahan bobot tubuhnya.

"Sudah siap?" tanya Mas Danu lagi.

"Sudah, Mas!" jawab Arum bersemangat.

Mas Danu mulai mengayuh sepeda itu menembus jalanan yang mulai sepi itu. Angin membelai lembut rambut Arum yang sudah ia kepang tunggal. Orang-orang sudah mulai bersiap-siap untuk menyambut malam. Beberapa dari mereka mulai menutup kedai, toko kelontong maupun gerainya. Matahari mulai menghampiri peraduannya, meninggalkan jejak oranye di horizon. Wangi air asin tercium cukup jelas di indera penciuman Arum.

Kota ini mungkin tidak pernah ada di peta Indonesia, namun kota ini akan selalu ada di hati Arum. Kotanya memang sederhana, namun selalu meninggalkan kesan luar biasa bagi setiap penduduknya.

Sepeda mereka melewati alun-alun kota yang kebetulan sangat ramai hari itu. Ah ya, konvoi itu kembali diadakan. Orang-orang dalam konvoi itu, termasuk penduduk di kota kecil itu terus meneriakkan dengan penuh harapan pada sebuah nama. Nama yang sering didengar Arum dalam setiap percakapan politik bapak-bapak. Arum tidak benar-benar mengenal sang pemilik nama. Ia hanya pernah melihat pria itu beepidato di depan para konvoi atau pun melambaikan tangannya, menyapa semua pendukungnya, di atas mobil. Orang bilang, pria itu adalah penyelamat mereka; sang pembawa wahyu Tuhan; pemimpin organisasi. Namun, Arum tidak benar-benar ambil pusing pada konvoi tersebut, sebab ia masih terlalu muda untuk nimbrung dalam percakapan politik.

Anehnya, Arum merasakan tubuh Mas Danu menegang ketika mereka melewati alun-alun kota. Pria itu tidak menoleh ke arah konvoi itu barang sedikit pun, tetapi Arum bisa merasakan Mas Danu tampak tidak nyaman. Hal itu hanya berlangsung beberapa menit saja, sebelum pria itu kembali rileks dan tetap mengayuh sepedanya dalam diam.

***

"Tangkap Arum, Mas!" seru Arum liar, lalu melompat dari pohon itu ke arah Mas Danu yang sudah membentangkan tangannya. Mas Danu menangkapnya masuk ke dalam pelukan pria itu dengan sempurna. Kekuatan Mas Danu patut dipuji mengingat terakhir kali Arum melakukan ini pada ayahnya, ayahnya langsung sakit pinggang berminggu-minggu. Genggaman pria itu di tubuh Arum kuat dan kokoh, seolah tak ingin melepaskannya. Arum dengan segera langsung melompat turun dari gendongan itu, mengingat posisi tersebut masih cukup intim.

"Kamu memang seliar ini?" tanya Mas Danu pelan sembari mengikuti Arum ke arah pantai.

"Ini? Liar?" tanya Arum kaget. "Mas kurang jauh mainnya..."

"Mungkin karena kamu wanita pertama yang saya lihat seliar ini," bisik Mas Danu dari belakang telinganya, membuat Arum berjengit kaget dan menoleh. Pria itu tersenyum polos, sembari menegakkan tubuhnya dan menggigit jambunya.

"M-masa?" ucap Arum salah tingkah sembari berjalan cepat ke arah pantai.

"Kamu persis seperti yang dikatakan Ayah. Bunga liar," gumam Mas Danu lagi dengan nada santainya, membuat Arum menoleh dengan wajah tidak terimanya.

"Cantik tetapi liar," lanjut Mas Danu lagi sembari mencubit lembut ujung hidung Arum. "Menarik sekali."

Arum melebarkan matanya kaget sembari menutupi hidungnya yang dicubit oleh Mas Danu. Pipinya merah padam dan hal itu tak luput dari pandangan Mas Danu. Tawa lembut terdengar dari pria itu, ketika Mas Danu malah berjalan melewatinya seolah tidak terjadi apa-apa. Pria itu berjalan sembari menggigit jambunya dengan santai, menikmati pemandangan matahari yang mulai terbenam di lautan.

"Sudah berapa wanita yang jatuh hati pada Mas?" tanya Arum terang-terangan, sengaja menggoda pria itu, sekaligus menguliknya.

"Maksudnya?" tanya Danu tanpa menoleh sedikit pun.

"Ya... yang jatuh hati pada Mas..." gumam Arum mulai menyesali pertanyaannya.

"Ndak ada."

"Bohong."

"Sungguhan," balas Mas Danu sembari tertawa pelan.

Arum menunduk dan menatap kakinya yang kini telah menyentuh lembutnya pasir. "Dengan sikap seperti itu, mustahil ndak ada wanita yang jatuh hati sama Mas."

"Termasuk kamu?" balas Mas Danu lugas sembari menoleh, menatap Arum.

Tatapan keduanya bertemu. Di bawah sinar matahari yang terbenam, tatapan Mas Danu padanya kian dalam dan tidak terdeteksi kedalaman hati dan maksud pria itu. Pipi Arum semakin memerah dan ia tergagap di tempatnya.

"Ndak," sergah Arum cepat sembari menoleh ke arah lain.

"Itu aneh," gumam Mas Danu sembari menyelidiki Arum terang-terangan.

"Aneh?"

Senyuman penuh makna muncul di wajah Mas Danu. "Saya pria dewasa, Arum. Sikap saya pada kamu bukan tanpa makna... dan sedikit aneh kamu tidak menangkap maksud saya."

Arum melongo di tempatnya. Apa? Bagaimana tadi? Arum masih belum bisa memproses perkataan pria itu.

"Saya hanya melakukan itu semua pada kamu, Arum," tambah Mas Danu lagi, seolah memperjelas maksud perkataannya yang sebelumnya. "Kalau itu maksud pertanyaan kamu yang sebelumnya."

TBC...

Jangan bosan-bosan yaa✨

NAMANYA ARUM.Where stories live. Discover now