27. BANTUAN

2.9K 651 46
                                    

Arum tak berhentinya menangis pagi itu, membuat Mbok Asri sedikit khawatir. Jika Arum terlalu stres, maka hal itu bisa membahayakan dirinya dan kandungannya. Arum menyisir rambutnya dengan tatapan kosong ke arah pantulan dirinya sendiri. Matanya langsung berlabuh pada setiap bekas percintaannya dengan Mas Danu dan Arum membencinya. Tanda-tanda itu membuatnya terlihat seperti pelacur sekarang. Arum menggaruk tanda itu perlahan, tetapi garukannya semakin lama semakin keras hingga menimbulkan bekas kemerahan. Sedikit lagi Arum menggaruk kulitnya, ia akan meninggalkan bekas luka yang mengerikan. Namun, untungnya Mbok Asri langsung menahan tangan Arum.

"Non," ucap Mbok Asri khawatir sembari menahan tangan Arum.

Arum langsung tersadar akan apa yang baru saja ia lakukan. Arum menoleh dan menatap Mbok Asri dengan matanya yang bengkak. "Apa yang dilakukan Mas Danu ke Mbok saat Arum pergi?" tanya Arum perlahan.

"Ndak ada, Non," jawab Mbok Asri sembari tertawa gugup dan ingin membantu mengepang rambut panjang Arum. Namun, Arum meremas tangan Mbok Asri, seolah memaksa wanita paruh baya itu untuk menceritakannya.

"Saya mengatakan yang sejujurnya, Non," gumam Mbok Asri lagi dengan tatapannya yang serius.

"Kenapa Mbok ketakutan?"

"Karena... karena..." Mbok Asri tergagap di tempatnya. Arum memicingkan matanya tampak curiga pada Mbok Asri. Mbok Asri kian tam tenang di bawah tatapan Arum.

"Ada beberapa hal yang membuat saya takut," ucap Mbok Asri pada akhirnya, membuat Arum semakin curiga.

Setelah dipikir-pikir, bukankah sedikit aneh Mbok Asri yang sudah mengabdi sekian lama pada Mas Danu, tetapi dengan mudahnya mengabulkan permintaan Arum yang terlarang? Lagi, seharusnya Arum curiga pada Mbok Asri, sebab wanita paruh baya itu adalah satu-satunya orang yang tahu jika Arum akan kabur ke kota pelabuhan.

"Apa yang Mbok ketahui tetapi tidak dengan Arum?" tambah Arum lagi.

"M-maksud, Non?" tanya Mbok Asri kebingungan, tetapu juga waspada.

Arum berdiri dari kursi riasnya, hingga kini tubuhnya jauh lebih tinggi dari Mbok Asri. Arum menatap Mbok Asri dengan tatapannya yang intens dan dalam. "Apa yang Mbok ketahui, tetapi tidak dengan Arum?" gumam Arum, menekan setiap katanya dengan nada yang memaksa.

"Non... saya... saya... tidak... Non," ucap Mbok Asri terbata, lalu mundur selangkah.

"Apa sejak awal Mas Danu tahu saya akan kembali ke kota pelabuhan?" tebak Arum membuat Mbok Asri tampak kaget, tetapi wanita paruh baya itu tetap berusaha menjaga ekspresi wajahnya.

"Ti-tidak, Non," gumam Mbok Asri lagi dengan nada terbatanya.

"Apa yang tidak diketahui Arum, Mbok?" sentak Arum lagi sembari menggengam pundak wanita malang itu.

"Non..." ucap Mbok Asri dengan matanya yang berair. "Maaf... maaf..."

Arum menghela nafas panjang, merasakan jantungnya turun. Bahkan Mbok Asri pun membohongi dan mengkhianatinya. Arum memejamkan matanya sejenak sembari berusaha mengatur nafasnya.

"M-Mbok ndak memiliki pilihan lain, selain... selain memberitahukannya pada Pak Danu," ucap Mbok Asri gemetar dan terisak.

"Apa saja yang Mbok beritahukan?" tanya Arum datar.

"I-ibu Yasinta... dan... dan... kota pelabuhan," jawab Mbok Asri lagi dengan raut wajahnya yang penuh rasa bersalah.

"Arum yakin bukan itu saja," jawab Arum dengan nadanya yang dingin sembari menatap Mbok Asri dengan tatapannya yang terang-terangan mencela.

Mbok Asri langsung bersujud di depan Arum dan memeluk kaki wanita itu. Isakan wanita paruh baya itu terdengar memilukan dan menyayat hati, seolah Mbok Asri benar-benar merasa bersalah pada Arum. "Saya... saya yang mengambil surat Non pada Ayah. Saya yang memberikannya pada Mas Danu..." jelas Mbok Asri lagi sembari memeluk kaki Arum dengan erat.

"Mas Danu yang menyuruh?" tanya Arum, berusaha memaafkan Mbok Asri jika wanita paruh baya itu memang ditekan oleh Mas Danu.

"Saya yang melakukannya atas kemauan sendiri," gumam Mbok Asri lagi dengan tangisan bersalahnya. "Saya diminta sejak awal untuk mengawasi Non. Dan... Non harus paham konsekuensi yang akan saya dapatkan jika tidak melakukan itu..."

Nafas Arum kian berat. Ia merasakan dadanya sesak. Kini, Arum tidak tahu harus mempercayai siapa lagi. Semuanya mengkhianatinya, termasuk Mbok Asri sendiri. Arum benar-benar sendirian kali ini dan tak ada lagi yang bisa diandalkan selain dirinya sendiri.

Dan bahkan di situasi seperti ini pun, Arum tak tahu apa ia bisa mempercayai dirinya.

***

Arum berbaring di sofa ruang tamu dengan pemutar vynil yang berputar lembut, mengeluarkan suara nyanyian syahdu. Hari semakin sore dengan suara cicit burung yang kian nyaring di taman rumahnya. Pandangan Arum kosong. Arum tidak stres berat, sampai di satu titik ia tidak lagi bisa memikirkan apa-apa. Mata Arum masih bengkak, karena tangisannya tadi pagi. Dan sebentar lagi, Arum harus melihat wajah brengsek itu. Pria itu mungkin akan kembali menidurinya seperti yang dilakukan pria itu biasanya tanpa rasa bersalah sedikit pun.

Arum memejamkan matanya perlahan, lalu membukanya kembali. Fokus matanya tak sengaja terarah pada sebuah buku tebal yang pernah ia beli. Arum menatap buku itu lama sekali, sampai kemudian ia tersadar akan sesuatu. Arum buru-buru bangkit dari posisi tidurnya, meraih buku itu dengan segera dan membuka halaman pertama, tempat ia menuliskan kembali nomor telepon pria bernama Tjandra itu.

Ya, benar. Tjandra memiliki kesempatan yang sangat berharga. Seni rakyat adalah senjata ampuh Arum untuk mengkonfrontasi Mas Danu atau mungkin juga menyeret pria itu agar mati bersamanya. Arum tidak ingin bunuh diri, meskipun banyak situasi yang bisa ia manfaatkan untuk itu. Itu semua karena Arum tahu ia tidak boleh mati konyol. Arum harus bisa membuat Mas Danu sengsara atau mungkin juga menyeret pria itu bersamanya ke neraka. Arum sungguh tidak peduli jika ia harus masuk ke neraka paling panas, asalkan itu bersama Mas Danu. Tidak peduli jika Arum hamil atau ada mahkluk tak berdosa dalam tubuhnya, yang terpenting adalah jika Arum ditangkap dan mati, Mas Danu harus ikut bersamanya.

Arum merobek kertas itu dengan segera, memasukkannya ke dalam kantong, lalu bergegas keluar dari rumah itu. Ia mencari stasiun telepon terdekat yang bisa ia temukan. Arum tidak akan pernah mau menanyakan lagi pada Mbok Asri, sebab wanita itu adalah mata-mata di rumah. Dan Arum bertekad akan menanyakan dan mencari sendiri stasiun telepon itu. Untungnya, ada beberapa orang yang berbaik hati menjelaskan letak stasiun telepon yang ada di kompleks itu.

Segera ketika Arum menemukannya, ia langsung masuk ke salah satu bilik dan memutar nomor di telepon itu, mengikuti angka yang tertera di kertas. Cukup lama Arum menunggu, sampai kemudian terdengar sapaan lembut dari ujung telepon.

"Halo, ada yang bisa saya bantu?"

"Ada... ada... Tjandra?" tanya Arum perlahan.

"Sebentar, Bu, saya panggilkan," ucap wanita itu, lalu membiarkan panggilan itu hening beberapa saat.

Tak lama kemudian, terdengar sapaan lembut dengan suara yang rendah. "Halo, dengan Tjandra di sini."

"H-halo, Tjandra... ini... ini Arum... perempuan yang kamu temui di..." ucap Arum perlahan dan langsung dipotong oleh Tjandra.

"Saya kira kamu tidak akan menelepon, Arum," ucap Tjandra dengan tawa lembutnya.

"Saya butuh bantuan kamu," balas Arum mantap.

TBC...

Tahun segitu, orang yang memiliki telepon sendiri di rumah adalah orang-orang yang kaya, sebab telepon masih menjadi barang mahal.

Selamat menikmati✨

Jangan bosan-bosan yaw

NAMANYA ARUM.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang