12. SENI RAKYAT

3.3K 671 58
                                    

"Mbok, kalau misalnya Arum bermimpi buruk, berikan dia teh dan biskuit," ucap Mas Danu pada Mbok Asri di halaman depan rumah. Suara Mas Danu pelan, namun tetap bisa didengar oleh Arum yang berdiri di depan pintu rumah. Perkataan pria itu cukup memberi informasi bahwa Mas Danu akan pergi dalam waktu yang lama.

"Saya sudah membeli piringan hitam dan pemutar vynil, mengingat Arum senang mendengar lagu. Kalau ia bosan, dinyalakan saja pemutar vynil-nya," tambah Mas Danu lagi, masih tidak menyadari kehadiran Arum yang sejak tadi mencuri-curi dengar.

"Dan... kunci ruang kerja saya tolong disimpan baik-baik." Mas Danu mengakhiri perkataannya dengan kalimat yang cukup memberikan tanda tanya besar dalam diri Arum. Ya, ruangan itu. Mas Danu tidak pernah membiarkan orang lain masuk ke ruang kerjanya, bahkan Mbok Asri sekali pun. Ruangan itu selalu tertutup dan Arum tidak pernah masuk ke dalamnya sama sekali. Beberapa kali, Arum mendapati Mas Danu berada dalam ruang kerjanya -dilihat dari cahaya yang menelusup di celah bawah pintu. Namun, kehadiran pria itu di ruang kerjanya pasti selalu malam dan terkadang pagi -ketika Arum belum bangun dan Mbok Asri belum datang. Jujur, Arum sangat penasaran pada ruangan itu.

Mungkinkah itu ruangan pesugihan dan semacamnya?

"Arum." Panggilan itu membuyarkan lamunan Arum dari semua prasangka yang kembali menyerang benaknya. Arum memasang senyuman tipisnya pada Mas Danu. Mbok Asri dengan segera pamit, masuk ke dalam rumah, meninggalkan Arum dan Mas Danu saja di situ. Arum berjalan menghampiri Mas Danu dengan langkahnya yang pelan dan teratur.

Mas Danu menunggunya dengan kedua tangan yang terkait di belakang tubuh tinggi pria itu. Tas gitar sudah diletakkan di atas jalan setapak, tepat di samping Mas Danu. Tas yang tidak akan pernah Mas Danu lupakan setiap kali ia pergi.

"Saya akan pergi lama..."

"Arum tahu," potong Arum lembut.

Pagi itu, Arum tampak sangat menawan dengan rambut panjangnya yang diikat setengah, membiarkan beberapa gelombang terurai feminin. Terusan yang dipakai Arum sederhana, tetapi memeluk pas tubuh gadis itu, menonjolkan bagian-bagian yang menjadi aset seorang wanita dewasa. Potongan lehernya cukup memperlihatkan kulit Arum, namun tetap dalam batas sopan. Roknya melambai lembut ketika ditiup angin, menambah kesan anggun dan lembut seorang gadis. Dengan tampilan seperti ini, takkan ada yang menyangka jika Arum dulunya adalah seorang gadis pantai.

"Makan yang baik," gumam Mas Danu sembari menggenggam pundak Arum. "... tidur yang baik dan... bersenang-senanglah dengan pemutar vynil itu."

Arum menundukkan kepalanya sembari menatap jemarinya. Mas Danu tersenyum lembut, lalu menaikkan dagu Arum agar mata gadis itu menatap langsung matanya. "Jadilah gadis yang baik, Arum," tambah Mas Danu dengan suaranya yang lembut.

"Jangan sedih," canda Mas Danu lagi, membuat Arum mengerling tajam ke arah pria itu.

"N-ndak..." elak Arum, namun pipinya tak bisa membohongi situasi, sebab kini pipinya merah padam.

Mas Danu tertawa pelan sembari mengacak puncak kepala gadis itu dengan gemas. Hati Arum menghangat mendengar tawa Mas Danu yang sudah lama tidak ia dengar lagi. Pria itu kembali menjadi sosok yang ramah dan baik seperti Mas Danu yang dulu.

"Saya pergi dulu." Mas Danu berpamitan sembari melabuhkan ciuman singkat di pelipis Arum. Pria itu sudah lebih dulu membalikkan tubuhnya dan berjalan ke arah gerbang, meninggalkan Arum yang membeku dengan jantung yang berdegup kencang.

***

Sore yang cerah itu, Arum memutuskan untuk pergi ke toko buku yang letaknya di tengah kota. Persediaan buku di rumah itu memang banyak, tetapi seringkali buku-buku yang diberikan itu kurang menarik perhatian Arum. Karena itulah, Arum memutuskan untuk mencari buku yang ia sukai, sekaligus menikmati udara baru di kota kependudukan. Mbok Asri dengan setia menemaninya, bahkan wanita itu yang memilihkan angkutan umum yang aman dinaiki.

Ketika sampai di toko buku, Arum langsung mencari buku yang ingin ia baca. Di sisi lain, Mbok Asri juga melihat-lihat buku yang menarik perhatiannya hingga mereka berpencar cukup jauh. Arum mendongak sembari menatap buku tebal yang berada di bagian rak tertinggi. Ia berjinjit ingin meraih buku itu, tetapi ia kembali gagal. Arum melompat berulang kali sembari terus menggeser buku tersebut, tetapi jemarinya bahkan tidak menyentuh buku tersebut barang sedikit pun.

"Butuh bantuan?"

Pertanyaan itu membuat Arum menoleh dan matanya bertabrakan dengan seorang pemuda berpakaian necis dan rapi. Pria itu jauh lebih tinggi darinya hingga dengan mudahnya meraih buku yang diinginkan, Arum. Dari pengamatan Arum, pria di hadapannya, berusia sedikit di atasnya, tetapi jauh lebih muda dari Mas Danu. Mungkin usia pria itu sekitar dua puluh satu tahun.

Arum menerima buku tersebut dengan senyuman sopannya. "Terima kasih."

"Suka seni ya sepertinya?" tanya pemuda itu ramah, sembari melirik buku yabg diinginkan Arum sebagai sumber dugaannya.

"I-iya," jawab Arum pelan.

"Menggambar? Menulis atau seni lain?" tanya pria itu lagi-lagi membuka percakapan di antara mereka.

"Menggambar dan... membaca."

"Seni membaca ya," canda pemuda itu dengan tawanya yang karismatik. Pria itu sangatlah ramah dan Arum merasa seperti seolah sudah berkenalan lama dengannya.

"Astaga, pemuda macam apa saya ini, belum memperkenalkan diri," ucap pria itu dengan nada sungkannya pada Arum sembari mengulurkan tangannya sebagai tanda perkenalan. "Perkenalkan nama saya Tjandra."

"Arum," jawab Arum pelan sembari meraih tangan pria itu. Di luar dugaannya, pria itu menarik tangannya dan mengecup punggung tangannya dengan lembut. Arum ingin tersipu, tetapi kemudian ia tersadar bahwa itu gestur tersebut adalah formalitas orang-orang berpendidikan di kota kependudukan.

"Nama yang cantik," gumam Tjandra sembari melepaskan genggamannya di tangan Arum. Arum menarik tangannya kembali dan memeluk erat buku tersebut.

Arum tidak pernah dipuji oleh seorang pria sebelumnya. Lidahnya kelu. Ia menelan ludahnya perlahan, kemudian berdeham. "I-iya," jawab Arum seadanya.

Tawa lembut terdengar dari Tjandra. Pria itu tersenyum sembari menatap Arum dengan tatapan tertariknya. "Kamu gadis yang menarik, Arum. Sayang untuk dilewatkan."

"S-sepertinya saya harus..."

"Arum, jika kamu senang menggambar, mungkin kamu bisa mempertimbangkan ikut dalam perkumpulan saya," jelas Tjandra lagi, memotong Arum dengan nadanya yang pelan dan lembut.

"Perkumpulan apa?"

"Seni Rakyat," jawab Tjandra dengan senyuman ramahnya. "Kami membuat seni untuk rakyat. Seni yang menyuarakan pikiran rakyat dengan cara yang halus tentunya."

Arum mengerjapkan matanya berkali-kali, tampak tertarik mendengar tawaran pria itu. Gestur dan ekspresi Arum cukup memberikan jawaban bagi Tjandra. Pria itu tersenyum tipis, kemudian meraih pena dari sakunya. Diraihnya tangan Arum dengan lembut, lalu ia menuliskan beberapa digit nomor di sana. Arum mengerutkan kening, tampak tidak paham dengan digit nomor tersebut.

"Telepon saya jika kamu tertarik, Arum," jawab Tjandra lembut, lalu kembali meletakkan tangan Arum di sisi tubuh gadis itu.

"Non."

Panggilan itu membuat Arum menoleh dan mendapati Mbok Asri tampak tidak senang dengan kehadiran pria itu. Arum berlari ke arah Mbok Asri sembari menyembunyikan digit nomor di tangannya itu. Mbok Asri langsung memeluk punggung Arum dan membawanya menjauh dari situ.

"Hati-hati, Non, banyak orang jahat sekarang," gumam Mbok Asri khawatir. "Apa yang dia tawarkan?"

"Perkumpulan," jawab Arum. "Seni rakyat."

Mbok Asri tampak terdiam beberapa saat, sebelum kembali berkata, "Jangan dihiraukan, Non. Mereka hanya kumpulan pelajar yang kurang ajar."

TBC...

Holaa selamat menikmati✨

Jangan bosan bosan yaww

NAMANYA ARUM.Where stories live. Discover now