29. SEBELUM MELAUT

3.3K 686 95
                                    

Malam itu, laut terasa lebih tenang dari biasanya. Bulan bersinar terang di atas langit, membantu penerangan di malam yang hening itu. Dari kejauhan Danu melihat Ayah sudah menyiapkan rantang makanan, jala dan peralatan melaut lainnya. Danu mendekati Ayah perlahan dengan jantungnya yang berdebar kencang. Ayah yang menyadari kehadiran Danu langsung mendongak dan tersenyum menyapa.

"Bantu atur jala, Mas," ucap Ayah dengan nada lembutnya sembari mengurai jalanya di atas sampan. Danu juga ikut membantu Ayah mengatur jala agar ketika melaut nantinya tidak kesusahan menebarnya.

Danu menoleh ke arah Ayah sesaat, lalu berkata, "Malam ini, katanya ada tentara yang datang, ndak takut, Mas?" tanya Danu pelan.

"Ya ngapa takut, toh saya ndak salah," jawab Ayah sembari tertawa jenaka.

"Mungkin... Mas lupa pernah melakukan sesuatu yang bisa membuat Mas terlibat," jawab Danu santai dengan senyuman tenangnya.

"Saya orang kecil, Mas. Orang kecil seperti saya ya paling hanya cari makan aja, ndak mungkin melakukan hal yang aneh-aneh," jawab Ayah dengan nadanya yang santai. Ayah melompat turun dari sampan, lalu mendorong perahu kayu itu ke arah lautan. Danu buru-buru membantu Ayah mendorong sampan itu ke arah lautan.

Namun, sebelum sampan itu sempat berlayar, tiba-tiba saja Danu menahan sampan itu agar tidak pergi terlalu jauh. Ayah mengerutkan kening bingung melihat Danu yang tiba-tiba saja terdiam. Danu menoleh ke belakang, sebab ia mendengar samar-samar suara gemuruh mobil. Ia menatap Ayah dalam keheningan. Ayah kebingungan melihat Danu yang tiba-tiba saja berubah serius.

"Mas," panggil Danu, melepas sampan itu dan menggenggam pundak Ayah. "... dengar saya baik-baik. Sekarang, bangunkan Arum, lalu pergi dari sini sejauh dan secepat mungkin lewat hutan -jangan pernah lewat jalan besar."

"Apa yang terjadi?" tanya Ayah dengan raut wajahnya yang mulai dipenuhi ketakutan.

"Malam ini, tentara-tentara tersebut akan menangkap semua orang yang terlibat dengan organisasi itu... termasuk semua yang melakukan cap jari saat pembagian sembako," ucap Danu lagi, membocorkan yang tidak seharusnya ia bocorkan. Tangan Danu gemetar hebat. Ia ketakutan. Sangat ketakutan. Apa yang ia lakukan adalah hal yang bodoh dan berbahaya, tetapi Danu tidak ingin Ayah dan Arum celaka. Danu tahu bahwa ia tidak boleh menaruh perasaan manusiawi dalam menjalankan tugasnya, tetapi kali ini ia tidak bisa mengelaknya.

".... tetapi... tetapi Mas... mereka sudah memiliki nama saya. Saya dan Arum akan menjadi buronan," ucap Ayah dengan nada memohon dan juga matanya yang mulai berair, penuh ketakutan.

Danu berdecak jengkel. Apa yang dikatakan Ayah benar adanya. Mereka akan menjadi buronan seumur hidup. Memalsukan identitas memang bukanlah hal yang sulit, tetapi itu tidak akan berjalan lancar untuk Ayah yang sudah mengisi dentitas lengkapnya pada organisasi itu. Memalsukan identitas hanya akan berfungsi untuk Arum saja. Kebingungan mulai menjalari Danu.

"Mas..." panggil Ayah sembari menggenggam tangan Danu. "Saya... saya rela jika saya ditangkap. Namun, Arum... tolong... bantu saya. Lindungi Arum, jangan sampai dia ikut terjerumus bersama saya."

"Mas tidak akan..."

"Ndak papa, Mas," ucap Ayah dengan air mata menitik sembari menepuk pundak Mas Danu dengan wajah penuh kasih sayangnya. "Saya memang sudah tua dan tidak ada lagi yang bisa dilihat di dunia ini. Berbeda dengan Arum... Dia masih muda dan dunia masih belum dia jelajahi. Saya titip Arum ya, Mas."

Danu kehilangan kata-katanya ketika mendengarkan kata-kata itu keluar dari bibir Ayah. Pria itu rela ditangkap dan Ayah bahkan menitipkan Arum pada pembunuhnya sendiri. Danu mengetatkan gerahamnya, membenci situasinya yang sekarang. Inilah mengapa perasaan manusiawi bisa menjadi racun, sebab ia akan menimbulkan kegamangan dan membuat kita akhirnya melakukan hal yang tidak seharusnya dilakukan.

"Di lemari," ucap Ayah, memberi kata kunci untuk Danu, sebelum ia berlari kencang ke arah rumahnya sendiri, meninggalkan Danu yang termenung.

Malam itu adalah malam yang penuh dengan tangisan dan mimpi buruk. Semua warga kota pelabuhan tidak ada yang tahu jika mereka ikut ditangkap. Dan tidak ada satu pun yang juga tahu jika yang membunuh sanak keluarga mereka adalah seorang pemuda yang selama ini mereka anggap baik dan santun

***

Danu terbangun dari tidurnya. Keringat dingin membasahi pelipisnya. Nafasnya berat dan mata Danu berkunang-kunang. Berbagai emosi terus berkeliaran dalam benaknya, membuat Danu memukul kepalanya sendiri berkali-kali. Otaknya masih merekam dengan jelas bagaimana Ayah tersenyum pada Danu untuk yang terakhir kali dan berterima kasih padanya, karena sudah bersedia menjaga Arum, putrinya. Pria naif itu berterima kasih pada Danu yang mana adalah pencabut nyawanya. Sungguh, Danu lebih baik dibenci, daripada pria itu bersikap seperti ini.

Danu bangkit dari ranjangnya dengan langkah terhuyung. Ia berjalan ke arah dapur, berniat mencari air untuk diminum. Mimpi buruk terus menghantui Danu, sejak pertama kali ia menunaikan tugasnya. Dan Danu tidak memiliki siapa-siapa untuk menenangkannya. Perasaan kesepian itu begitu kuat dan menyiksa. Karena itulah, Danu tidak ingin kepahitan yang ia rasakan, dirasakan oleh Arum. Setidaknya, Danu ingin Arum tahu bahwa ia selalu berada di sisi gadis itu.

Danu menyandarkan tubuhnya di konter dapur dengan nafasnya yang masih tidak terkendali. Ia meraih gelas, menampung air dan meminumnya. Tangannya gemetar hebat. Danu ingin menangis, tetapi hati kecilnya yang dididik keras, melarangnya melakukan itu. Hal itu membuat Danu semakin frustrasi. Ia memukul gelas itu di konter hingga pecah berkeping-keping dan melukai telapak tangannya. Danu perlahan merosot hingga terduduk di lantai. Air mata itu akhirnya turun juga. Danu memukul kepalanya sendiri berkali-kali -hal yang sering ia lakukan dulu untuk meredam tangisannya.

Danu menyadari ada seseorang yang berada di dapur itu bersamanya. Ketika ia mendongak, matanya langsung bertemu dengan Arum yang menatapnya datar. Danu merangkak ke arah kaki Arum dan memeluknya dengan erat.

"Arum... saya tidak pernah berniat membunuh Ayah," isak Danu perlahan dengan tubuhnya yang gemetar hebat. "Saya berusaha menyelamatkannya malam itu, tetapi tidak berhasil. Ayah menitipkan kamu pada saya, Arum. Kamu harus percaya..."

Arum sungguh tidak tahu harus mempercayai siapa. Ia terdiam lama sembari menatap Mas Danu yang masih menangis pilu di kakinya dengan tangan pria itu yang berdarah. Untuk pertama kalinya, Arum melihat Mas Danu menangis seperti ini. Dan untuk pertama kalinya juga, ada kepercayaan yang tumbuh perlahan di sana, meskipun Arum dengan segera langsung membunuhnya.

Arum berjongkok di depan Mas Danu, meraih tisu dan mengobati luka di tangan pria itu. Dibalutnya luka Mas Danu dengan lembut, tanpa mengatakan sepatah kata pun.

"Maaf, Arum..." ucap Mas Danu lagi dengan nadanya yang gemetar. "Saya... maaf, Arum... kamu harus percaya... Semua yang saya katakan pada kamu tadi adalah kejujuran."

Arum tetap diam dan memilih untuk tidak menjawab Mas Danu. Tiba-tiba saja, pria itu meraih kedua tangan Arum dan meletakkannya di lehernya. Arum menatap tepat di mata Mas Danu. "Bunuh saya saja, Arum," ucap Mas Danu dengan nada pelannya. "Saya menerimanya."

Arum terdiam lama, tanpa memutuskan kontak mata dari Danu. Tiba-tiba saja, Arum menarik Mas Danu masuk ke dalam pelukannya. Ia memeluk pria itu dengan erat sembari mengusap punggung Mas Danu dengan lembut. Lagi-lagi, Arum tidak mengatakan sepatah kata pun, tetapi pelukannya sudah lebih dari yang diharapkan Danu. Saat ini, memang bukan kata-kata yang mampu menjelaskan perasaan di antara keduanya. Perasaan keduanya rumit, tak bisa diungkapkan dan tak jelas arahnya. Perasaan seperti ini hanya bisa diungkapkan lewat bahasa tubuh, persis yang dilakukan Arum pada Danu.

TBC...

Selamat menikmati✨

Jangan bosan-bosan yaww

NAMANYA ARUM.Where stories live. Discover now