16. KABAR BAIK

3.4K 679 77
                                    

Arum berjengit pelan ketika merasakan kecupan lembut Mas Danu di lehernya. Malam terasa lebih hangat setelah memadu kasih dengan Mas Danu, apalagi kini kedua tangan pria itu memeluk tubuhnya dengan kuat. Arum kini duduk di antara kedua kaki Mas Danu tanpa memakai sehelai benang pun dan hanya ditutupi selimut yang terasa lembut di kulit. Mas Danu mengusap lembut perut Arum, berusaha menenangkan kegugupan istrinya itu.

Terkadang, Danu merasa Arum menggemaskan. Wanita itu masih gugup dan malu ketika bercinta dengannya padahal keduanya cukup sering melakukan ini, terhitung sejak pertama kali mereka memadu kasih dua minggu yang lalu. Meskipun begitu, Arum tidak menolaknya sama sekali dan membiarkannya untuk memuja tubuh wanita itu dengan caranya. Arum hanya akan tegang dan tidak berani menatapnya, tetapi selebihnya, respons wanita itu sangat baik pada sentuhannya. Desahan Arum begitu lembut dan manis, membuat kecantikan wanita itu kian bertambah ketika mereka saling menikmati momen-momen intim tersebut.

"Mas mengambil cuti," bisik Danu lagi sembari mencium telinga Arum, membuat wanita itu lagi-lagi menciut dengan pipinya yang merah padam.

Kabar itu membuat senyuman Arum mengembang, sebab akhirnya ia tidak perlu merasa kesepian lagi di rumah. "Kita kembali ke kota pelabuhan ya, Mas?" tawar Arum sembari menoleh dan menatap Mas Danu dengan matanya yang berbinar.

"Tidak," jawab Mas Danu tegas, lalu senyuman kembali muncul di wajahnya. "Kota pelabuhan masih tidak aman, Arum."

"Tetapi satu tahun sudah berlalu, Mas," gumam Arum lagi dengan tatapannya yang memohon.

"Gejolak ini tidak akan berakhir sampai 5 tahun ke depan, Arum," jawab Mas Danu tenang sembari mengusap pipi istrinya, berusaha menenangkan Arum.

"Arum rindu Ayah," bisik Arum pelan dengan matanya yang berair.

"Mas tahu," jawab Danu lagi. "... tetapi bersabarlah, Arum. Ayah baik-baik saja."

"Apa Ayah tidak bisa ke sini?" tanya Arum lagi dengan nadanya yang gemetar.

"Ayah tidak memiliki identitas seperti kamu, Arum. Itu sangat berbahaya, apalagi Ayah buta huruf," jelas Mas Danu sembari menarik Arum semakin masuk ke dalam pelukannya. Arum khawatir sekali pada Ayah hingga matanya berair seperti ingin menangis

"Ayah baik-baik saja, Arum," ucap Mas Danu menenangkan Arum.

"Arum tahu," gumam Arum perlahan.

"Lalu kenapa gundah?" tanya Danu lagi sembari mengusap pipi Arum membuat Arum refleks mengedipkan sebelah matanya.

"Arum... khawatir," ucap Arum sembari menjauhkan tubuhnya dari Mas Danu dan duduk terdiam, berusaha mencerna emosinya. Selimut yang menutupi tubuhnya telah turun hingga ke pinggangnya.

"Mengapa khawatir pada sesuatu yang sudah pasti, Arum?" tanya Mas Danu lagi sembari menegakkan tubuhnya dari sandaran kepala ranjang dan mendekati Arum. "Apa kamu tidak mempercayai Mas?"

Arum mendongakkan kepalanya hingga matanya bertemu dengan Mas Danu. Pria itu duduk dekat dengannya, tetapi anehnya Mas Danu tidak menyentuhnya barang sedikit pun. Dingin mulai menjalari kulit Arum, membuatnya menggigil.

"Arum... percaya."

"Mas adalah suami kamu, Arum. Satu-satunya yang kamu kenal dengan baik dan bisa kamu percayai," jelas Mas Danu lagi dengan nadanya yang membujuk, tetapi Arum mendengar nada tak biasa di sana, seolah-olah seperti menekannya. Namun, Arum sadar ini semua karena hormon pra datang bulannya. Ia terlalu sensitif untuk semua hal.

Arum menundukkan kepalanya dan mengangguk. Cukup lama, keduanya terdiam. Mas Danu membiarkan Arum bergulat dengan pikirannya sendiri, sampai terdengar helaan nafas lembut dari pria itu. Danu menaikkan dagu Arum ke arahnya, kemudian tersenyum lembut.

"Hei..." bisik Danu pelan. "Kamu mendapat suara balasan dari Ayah, Arum. Bukankah itu sudah cukup?"

"Apa kita akan mengunjungi Ayah nanti?" tanya Arum dengan nadanya yang membujuk.

Mas Danu menunduk kemudian mengecup lembut pipi Arum, berusaha menenangkan kegundahan gadis itu. "Pasti, Arum. Setelah semuanya reda," bisik Mas Danu, kembali melabuhkan kecupan demi kecupan di pipi istri kecilnya itu, lalu menarik Arum masuk ke dalam pelukannya.

Ya, Arum percaya. Mas Danu tidak pernah membohonginya.

Namun, ironisnya, Arum mengulangi afirmasi tersebut berkali-kali, seolah berusaha meyakinkan dirinya sendiri.

***

Mas Danu berbohong.

Pria itu mengatakan ia cuti, tetapi menghilang di pagi hari. Ketika Arum terbangun di pagi hari, ia tidak menemukan Mas Danu di ranjang. Lagi-lagi, ia menangis. Arum jengkel sekali dan ia merasa sangat cengeng. Arum tidak senang jika ditinggal bangun sendirian seperti ini terus. Arum tidak menyukainya. Namun, yang bisa ia lakukan hanyalah menangis. Arum merutuki gejala datang bulannya yang membuatnya begitu labil seperti saat ini. Ia bahkan seperti anak kecil yang kehilangan orangtuanya.

Mungkin karena beban pikirannya atau mungkin karena malam yang panjang, Arum merasakan tubuhnya tak enak pagi itu. Ia merasa perutnya mual dan beberapa kali Arum muntah-muntah di kamar mandi. Mbok Asri yang selalu menemaninya di pagi yang kacau itu. Bahkan Mbok Asri dengan berbaik hati membuatkan Arum teh untuk mencegah mualnya.

Arum mengira, Mas Danu akan kembali di malam hari. Namun, nyatanya pria itu tak kunjung pulang, bahkan sampai keesokan harinya. Arum terus bertanya pada Mbok Asri mengenai keberadaan pria itu, tetapi Mbok Asri selalu menjawab Mas Danu ada keperluan mendesak. Tubuhnya juga semakin aneh dari hari ke hari. Ia terus mengalami mual hebat di pagi hari dan mengantuk berat di siang hari. Arum tidak paham akan keadaan tubuhnya. Ia sudah meminta Mbok Asri mengerok-nya, tetapi wanita paruh baya itu menolaknya dengan alasan yang tidak masuk akal yaitu 'berbahaya'.

Dan hal aneh itu terus berulang setiap hari dalam kurun waktu satu minggu, sejak kepergian Mas Danu yang tanpa kabar itu. Dan barulah Arum sadar, ia terlambat datang bulan, atau mungkin lebih tepatnya ia tidak datang bulan, sebab bulan sudah berganti. Arum mulai panik, sebab hal itu tentu tidak biasa dan ia tidak paham apa yang terjadi pada dirinya sekarang.

Arum kembali menangis panik sembari memeluk lututnya sendiri dan bersandar di pinggir ranjang. Arum yang menangis panik, membuat Mbok Asri akhirnya menyerah dan berkata pada Arum, "Non, tenang... Non... tidak perlu khawatir. Itu semua hanya gejala kehamilan."

"Kehamilan... Arum... hamil?" tanya Arum perlahan yang ditanggapi anggukan lembut dari Mbok Asri. Mbok Asri tidak mengatakan hal itu pada Arum, mengira gadis belia itu sudah memahaminya. Namun, kenyataannya Arum malah panik tak jelas beberapa akhir ini. Dan sebenarnya bukan ranah Mbok Asri memberitahukan kehamilan Arum.

"Bagaimana bisa..." Arum terdiam berusaha mencerna informasi kehamilannya itu. Ya, Arum tahu prosesnya bagaimana ia bisa sampai hamil. Hanya saja... bukankah itu terlalu cepat? Rata-rata yang ia temui tak secepat dirinya.

"Bukankah Non sering menghabiskan waktu bersama Pak Danu?" gumam Mbok Asri ikut kebingungan.

"A-Arum tahu. Hanya saja, terlalu... cepat?" balas Arum salah tingkah, mendengar ucapan Mbok Asri.

"Namanya rezeki, Non," ucap Mbok Asri demgan tawanya yang gemas pada wanita yang baru mekar ini.

Lalu, tepat di hari Arum mengetahui dirinya hamil, sorenya Mas Danu sudah kembali. Berbeda dari biasanya, kali ini pria itu tidak sendirian. Ada seseorang yang ikut bersamanya. Seorang pria yang lebih muda dari Mas Danu, lebih ceking dan lebih pendek. Arum bersembunyi di belakang tubuh tinggi Mas Danu, sedikit takut bertemu orang baru.

"Ini, Arum. Teman, Mas. Namanya Bima," ucap Mas Danu memperkenalkan temannya.

"Apa kabar, Nona Arum. Perkenalkan saya Bima," ucap pria itu sembari mengulurkan tangannya.

Arum tertegun di belakang tubuh tinggi Mas Danu. Ia mengenal suara itu. Suara itu cukup familiar dalam ingatannya.

Bukankah... suara itu yang mencegah tentara membongkar rumahnya lebih jauh hari itu? Hari ketika ayahnya ditangkap dan ia dibawa paksa pergi dari kotanya.

TBC...

Selamat menikmati gengs✨

NAMANYA ARUM.Where stories live. Discover now