11. SATU RANJANG

3.9K 720 47
                                    

Pagi hari yang cerah itu, Mbok Asri mengajak Arum berkebun sekaligus menata bunga di sekitar rumah. Arum dengan senang hati memenuhi tawaran itu, mengingat ia tidak memiliki pekerjaan sama sekali di rumah itu selain menjahit, membaca buku, menulis surat dan mendengarkan radio. Arum mengepang rambutnya, lalu menggulungnya hingga ke atas agar tidak menutupi wajahnya ketika ia melakukan pekerjaan itu. Arum semakin cantik dalam balutan terusan selutut berwarna biru dongker yang dihiasi motif floral. Roknya melambai lembut, apalagi ketika ditiup angin, menambah kesan dewasa dalam figur Arum.

Arum duduk di samping Mbok Asri yang tengah memotong tangkai bunga mawar berwarna merah muda itu. Wanita tua itu menyusun bunga di vas dengan telaten dan rapi. Arum pun ikut melakukan pekerjaannya dengan meniru apa yang dilakukan Mbok Asri pada vas yang berbeda.

"Mas Danu sudah pergi, Mbok?" tanya Arum perlahan.

"Saya tidak bertemu dia sejak pagi, Non. Mungkin dia sudah pergi sejak subuh," jawab Mbok Asri dengan nadanya yang sopan dan tenang.

"Apa... mekanik memang seperti itu?" tanga Arum lagi, merasakan kejanggalan pada jam bekerja Mas Danu yang tidak teratur.

"Wah, saya tidak tahu, Non. Mungkin memang seperti itu," balas Mbok Asri lagi dengan senyuman masamnya.

"Mbok Asri sudah lama di sini?" tanya Arum penasaran.

"Di rumah ini?"

Arum mengangguk. "Bersama Mas Danu."

"Iya, Non. Saya sudah menjadi pengasuh Mas Danu sejak masih kecil di rumah ini," jawab Mbok Asri sembari menyibukkan dirinya dengan menata bunga.

"Ibu Mas Danu ke mana?" tanya Arum terang-terangan, tanpa bisa membendung semua rasa penasarannya.

"Ibu Mas Danu memiliki kehidupan yang lain, Non, tetapi dia biasa berkunjung ketika dibutuhkan," jawab Mbok Asri, yang menimbulkan tanda tanya dalam diri Arum. Saking terlalu banyak pertanyaan itu, Arum sampai memilih untuk tidak menanyakannya, sebab ia takut mengetahui lebih banyak.

"Mas Danu... orangnya seperti apa, Mbok?" tanya Arum lagi, sembari menatap mahkota bunga mawar di tangannya.

"Dia memiliki masa lalu yang sedikit kelam. Makanya, dia banyak diam dan sedikit menakutkan. Namun, sebenarnya Danu adalah pria yang baik -sangat baik. Ia tidak pernah menunjukkan kasih sayangnya lewat kata-kata, melainkan lewat aksi," jelas Mbok Asri lagi sembari sesekali menatap mata Arum. Ada perasaan tulus dan kasih sayang yang terpancar dengan jelas dari mata Mbok Asri. Hal itu tak ayal membuat hati Arum menghangat, sebab akhirnya Mas Danu terlihat lebih manusiawi.

Arum menolehkan kepalanya ke arah ruang tamu yang tampak begitu hangat pagi itu dengan sinar matahari yang menembus langsung jendela bergaya Belanda tersebut. "Kalau boleh tahu... kenapa tidak ada foto keluarga di dalam rumah ini, Mbok?"

Mbok Asri tampak tegang. Namun, wanita itu dengan cepat menguasi dirinya lagi. Senyuman tenang kembali tersungging di wajah Mbok Asri. "Untuk apa menyimpan kenangan yang tidak menyenangkan, Non? Apalagi sampai memajangnya?"

Hal itu cukup memberikan jawaban yang diinginkan oleh Arum. Karena itu, Arum hanya mengangguk dan kembali diam. Ia menata bunga di vas itu sembari tenggelam dalam pikirannya sendiri. Tenggelam pada semua asumsi yang seringkali terlintas dalam benaknya, mengenai seorang Danu. Asumsi yang kebanyakan tidak menyenangkan, namun untungnya semuanya dipatahkan.

"Mas Danu bukanlah pria yang berbahaya, Non," gumam Mbok Asri lagi sembari menggenggam tangan Arum dengan lembut. "Ia hanya terluka. Itu saja."

Setelah berkata demikian, Mbok Asri bangkit dari kursi itu sembari membawa vas dengan bunga yang sudah ditata cantik ke dalam rumah, meninggalkan Arum yang mematung sendirian. Perkataan itu cukup memancing simpati dari Arum pada sosok Danu.

***

Malam itu, Arum tertidur nyenyak di ranjangnya yang luas dan empuk itu. Pekerjaan yang berat membuatnya kelelahan hingga Arum langsung terlelap begitu kepalanya menyentuh bantal. Mbok Asri sendiri sudah pulang sejak beberapa jam yang lalu, meninggalkan Arum sendirian di rumah itu. Seberapa lelap pun Arum dalam tidurnya, ia tetap mudah terbangun. Kebiasaan buruk ini baru ia dapatkan ketika Arum pindah ke kotanya yang baru itu.

Ranjang yang melesak lembut membuat Arum langsung terbangun kaget. Ia menoleh dan mendapati ada figur bayangan lain yang menemaninya. Figur itu kini duduk di samping ranjangnya. Sebelum Arum sempat berpikiran aneh, lampu tidur yang berada di sebelah ranjangnya langsung dinyalakan. Matanya langsung bertemu dengan mata Mas Danu yang menatapnya dalam diam.

"M-Mas?" ucap Arum serak, sembari beranjak duduk di ranjangnya.

"Saya... boleh tidur di sini, Arum? Bersama kamu?" tanya Mas Danu lagi dengan nadanya yang setenang air. Tidak ada nada permohonan atau perintah di sana. Perkataan itu keluar tanpa emosi.

Arum terdiam sembari berusaha mencerna maksud pria itu. Jantungnya berdegup sangat kencang, namun Arum tahu bahwa ia tidak memiliki hak untuk menolak. Di sisi lain, Arum juga percaya Mas Danu tidak akan menyentuhnya lebih dari yang ia izinkan. Karena itu, Arum bergeser, memberikan tempat untuk Mas Danu. Pria itu naik ke ranjang dan merebahkan dirinya di sebelah Arum. Dimatikannya lampu tidur itu, meninggalkan kegelapan kembali meliputi keduanya. Cahaya lampu taman yang menelusup dari penutup jendela menjadi satu-satunya penerang di kamar itu. Namun, hal itu cukup memberikan gambaran Mas Danu yang tengah memejamkan matanya.

"Arum," gumam Mas Danu pelan, tanpa membuka matanya, membuat Arum langsung menoleh ke arah lain dengan perasaan salah tingkahnya.

"Saya bermimpi buruk malam ini," tambah Mas Danu lagi. Sekilas, nada pria itu terdengar gemetar, seolah Mas Danu sedang menahan perasaan takut itu. "Mimpi yang... selalu menghantui saya. Kutukan saya."

"Tentang apa, Mas?" tanya Arum perhatian.

"Banyak hal," gumam Mas Danu seadanya, tidak ingin memberi jawaban lebih. "... tapi saya sadar saya pantas mendapatkan itu."

Arum kembali hening, tetapi tatapannya tak lepas dari Mas Danu yang masih memejamkan mata. Matanya menangkap dada Mas Danu naik dan turun dengan tempo yang tidak lazim, seolah nafas pria itu sesak.

"Terkadang, Arum, saya hanya ingin hidup tenang bersama orang yang saya cintai," tambah Mas Danu lagi. "Dan... saya ingin merasa dicintai."

"Semua orang pantas dicintai. Tidak ada orang yang buruk di dunia ini. Kita semua melakukan kesalahan dan itu wajar," gumam Arum, berusaha menenangkan Mas Danu.

Mas Danu menoleh ke arah Arum dan menatap gadis itu untuk sepersekian detik. Tatapan keduanya saling terkunci antara satu dengan yang lain, seolah saling menceritakan perasaan tanpa berucap. Mas Danu membalikkan tubuhnya, hingga ia berbaring miring dan menghadap Arum sepenuhnya. Mas Danu mengulurkan tangannya ke dahi Arum dan merapikan rambut gadis itu dengan lembut.

"Bunga liarku sudah dewasa," bisik Mas Danu dengan senyuman tipisnya.

Arum merasakan jantungnya berdegup kencang mendengar perkataan Mas Danu. Pipinya memanas, tetapi Arum tidak bisa memutus kontak mata antara dirinya dengan Mas Danu. Mas Danu bergeser mendekati Arum, namun tetap menyisakan sejengkal jarak di antara keduanya. Dengan penuh perhatian, Mas Danu menaikkan selimut Arum hingga menutupi pundak gadis itu. Pria itu memejamkan matanya, lalu menepuk lembut punggung Arum, berusaha menidurkan Arum seolah gadis itu adalah anak kecil. Arum memejamkan matanya, merasakan ketenangan yang syahdu mulai menjalari dadanya.

Lalu tak lama kemudian, Arum terlelap. Ia tidur dengan sangat nyenyak dan tak ada satu malam pun, Arum merasa aman, selain malam ini.

TBC...

Hola bestie, selamat menikmati.

Jangan bosan-bosan yaaww

NAMANYA ARUM.Where stories live. Discover now