15. KEPERCAYAAN

3.7K 665 153
                                    

"Ditolak."

Ucapan itu disertai dengan sebundel kertas yang dilemparkan di meja kerja atasan Danu. Danu tetap berdiri dalam diam dengan ketenangannya yang sempurna. Tidak ada ekspresi marah, kecewa atau pun bingung yang terlintas di wajahnya. Ia hanya berdiri diam sembari menatap atasannya tepat di mata, seolah menyampaikan kegigihan hatinya.

"Setelah apa yang saya berikan pada kamu, kamu memilih untuk meninggalkan saya," ucap pria paruh baya itu dengan wajah kecewanya yang jelas. Pria itu bersandar di kursi kerjanya yang mewah sembari menghela nafas kasar. "Apa karena perempuan itu?"

"Tidak," jawab Danu cepat. "Ada hal lain..."

"Apa itu?" potong pria paruh baya tersebut tanpa membiarkan Danu melanjutkan perkataannya. "Apa yang tidak bisa saya berikan pada kamu?"

"Kebebasan," jawab Danu berani dan lugas.

"Lalu, apa kamu pikir itu semua sepadan dengan segala pengorbanan yang saya berikan pada kamu?" balas atasannya dengan sengaja memutar kata agar menempatkan Danu sebagi orang yang paling bersalah di situ. Danu tahu pola ini. Ia terbiasa dan tidak lagi termakan, tetapi seberapa pun Danu berusaha menghindar, ia terus terjebak dan tidak akan pernah keluar. Inikah kutukannya?

"Ingat yang pernah saya lakukan pada kamu. Ketika seluruh keluarga kamu mati, saya yang memberi kamu tempat untuk tinggal, pendidikan dan mengajari kamu menjadi pria yang hebat," jelas pria paruh baya itu dengan nafasnya yang terengah karena marah. Pria itu meraih rokok dan menyalakannya. Ia menyesapnya dengan agresif dan mengeluarkannya lagi dengan perasaan frustrasi. "Kamu bukan apa-apa tanpa saya."

"Saya paham," jawab Danu singkat, padat dan jelas.

"Tidak!" seru pria paruh baya itu dengan nadanya yang jengkel. "Kamu tidak paham dan tidak akan pernah paham. Jika kamu sudah paham, tidak mungkin kamu meminta hal yang sama untuk kedua kalinya."

"Maaf," jawab Danu lagi sembari menundukkan kepalanya untuk menunjukkan formalitasnya.

Tiba-tiba saja semuanya hening dan hanya terdengar suara sesapan rokok yang agresif. Danu masih menunduk sembari menatap bundel kertas pengajuan undur dirinya yang sudah ditolak dua kali. Atasannya menatap jalanan kota Djakarta yang lengang sembari menyesap rokoknya, berusaha memulihkan emosinya.

"Saya menganggap kamu seperti anak sendiri," gumam pria itu memecah keheningan. Kali ini nadanya terdengar lebih lembut dan Danu bisa mendengar nada kecewa di sana. "Saat pertama kali bertemu kamu saat itu, rumahmu terbakar hingga menjadi abu. Kedua orangtua dan adikmu, semuanya menjadi abu. Namun, kamu selamat dan itu adalah rahasia Tuhan. Kamu spesial dan saya yakin kamu akan menjadi sesuatu nantinya. Nyatanya, dugaan saya benar. Kamu adalah yang paling kompeten dari semua orang yang pernah saya temui."

"Seberapa banyak yang harus saya berikan untuk berhenti?" tanya Danu lagi dengan ketenangannya yang sempurna.

Alis atasannya menukik tajam. "Kamu berhutang pada saya seumur hidup. Ingat itu!" serunya jengkel.

"Saya hanya akan memberikan kamu cuti. Satu bulan. Nikmati hidup kamu bersama istri barumu itu. Lalu, kembali lagi ke sini dan saya tidak ingin menerima kertas sialan ini lagi!" tambah pria itu sembari melemparkan kertas itu pada Danu dengan penuh amarah.

"Ingat, Rendra, jika kamu saja punya kuasa sebesar itu, bayangkan kuasa sebesar apa yang saya miliki," lanjut pria paruh baya itu pada Danu dengan ancaman khasnya, lalu berjalan keluar dari situ dengan hentakan langkah agresif.

***

Ayah, Arum rindu. Sampai kapan Arum akan tetap di sini dan berpisah dengan Ayah? Arum rindu ikan tembang Ayah. Arum rindu rumah kita. Ayah di sana baik-baik saja? Apa Ayah makan dengan baik? Makan biskuit dengan baik? Di sini Arum diberikan banyak sekali biskuit, sampai Arum bingung memilihnya. Ayah harus coba biskuit di sini, Ayah pasti akan langsung suka.

NAMANYA ARUM.Where stories live. Discover now