25. DILEMA

3.2K 692 46
                                    

"Bangun," pinta Danu datar sembari menatap ke arah anak buahnya yang tersungkur di lantai. Anak buahnya tampak sangat kepayahan, tetapi Danu tidak memberikannya jeda sedikit pun.

Danu tetap berdiri tenang dengan nafasnya yang terengah-engah sembari menatap pria muda itu berusaha mengumpulkan semangat dan kekuatannya lagi. Danu mengaitkan tangannya di belakang tubuhnya, menunggu pria itu bangkit lagi dan menghadapinya secara jantan.

"Kaki kamu masih lemah. Setiap kali bertarung, tegakkan kakimu dan tetap berada di posisi sebagai pertahanan kamu. Bergerak ke sana ke mari hanya akan membuat tumpuan kaki kamu tidak stabil," jelas Danu lagi, akhirnya mengulurkan tangannya pada pemuda itu dan membantunya berdiri. Pemuda itu sangat kepayahan, sebab ketika berdiri ia berulang kali hampir oleng dan terjatuh lagi, kalau saja temannya tidak membantunya.

Danu meregangkan kepalan tangannya sembari menatap anak buahnya yang tampak panik dan khawatir jika mereka yang dipilih untuk berduel hari ini. Namun, Danu sedang tidak dalam suasana hati yang baik untuk berduel, karena itu, Danu mengizinkan mereka beristirahat. Jika dipaksakan, hal itu tentu saja sangat membahayakan mereka yang bertarung melawannya. Kekuatannya tidak akan lagi bisa ia kontrol.

Ketika Danu ingin kembali ke ruangannya, matanya bertemu dengan seseorang yang tampak sangat familiar dalam ingatannya. Pria itu menganggukkan kepalanya, lalu memasuki ruangan Danu tanpa berkata apa pun. Danu menghela nafas panjang, lalu mengikuti atasannya itu. Kedatangan pria itu pasti memiliki tujuan tersendiri dan apa pun itu, semuanya bukanlah tujuan yang baik.

Ketika ia memasuki ruang kerjanya, atasannya sudah duduk di kursinya. Pria itu meraih pigura tersebut sembari menatap lamat-lamat wajah yang ada di sana. Mata Danu pun juga ikut terarah pada pigura yang dipegang oleh atasannya.

"Hati-hati, Danu," gumam atasannya itu sembari meletakkan pigura tersebut dengan foto Arum yang berada di bawah. Danu tetap tenang menunggu kata-kata selanjutnya yang mungkin keluar dari bibir atasannya itu.

"Perasaan manusiawi seperti ini bisa menjadi racun," tambah atasannya itu sembari menatap Danu dalam diam. "Saya tidak melarang kamu menikahi siapa pun atau tidur dengan siapa pun, tetapi saya hanya mengingatkan untuk berhati-hati."

"Saya paham," gumam Danu tenang.

Atasannya mendengus, tampak meragukan pernyataan Danu. "Dasarnya, manusia mengambil keputusan dari perasaan. Karena itu, hati-hatilah dengan perasaan. Ia lebih berbahaya dari logika."

"Baik," jawab Danu patuh.

Atasannya kembali meletakkan sebuah dokumen di atas meja kerja Danu. Danu menatap dokumen itu dalam diam dan tidak mengambilnya, sebelum diberikan perintah. Dugaannya benar. Ia akan melakukan pekerjaan kotor lagi. Pekerjaan yang tidak akan sudi disentuh oleh pria berkhasa seperti atasannya, karena itu menyuruh orang-orang tak berperasaan sepertinya.

"Semakin menjamurnya perkumpulan yang memberikan opini dan pemahaman yang 'nyeleneh' belakangan ini. Memang tidak seberbahaya yang sebelumnya, tetapi cukup memprihatinkan," jelas pria itu dengan raut wajah muramnya sembari menelusurkan jemarinya pada dokumen tersebut dan membukanya.

"Anak-anak zaman sekarang memang terlalu berani," tambah pria itu sembari membalikkan dokumen tersebut hingga Danu bisa membaca tulisan dan melihat foto yang terpampang di sana.

"Selidiki perkumpulan 'Seni Rakyat'. Beberapa karya mereka cukup berbahaya, tetapi belum melewati batas," pinta atasannya itu sembari menelusurkan telunjuknya pada karya-karya yang dianggap berbahaya itu. "Jika mereka melewati batas... lakukan apa yang seharusnya kamu lakukan."

***

Hari itu, Danu pulang cukup larut. Ketika ia sampai di rumah, Danu langsung mendapat kabar dari Mbok Asri jika Arum demam tinggi sejak pagi. Demam itu terus naik turun sepanjang hari dan Arum sering mengigau mencari Ayah. Ketika mendengar hal itu, Danu menghela nafas kasar. Arum masuk angin, karena kemarin malam wanita itu tidak menyeka keringatnya dengan benar. Kini, Arum sakit dan hal itu tentu saja membuatnya sangat khawatir.

"Demamnya sudah turun, Pak," ucap Mbok Asri pada Mas Danu yang berdiri di sisi ranjang Arum. Wanita itu tertidur lelap, setelah selesai meminum obatnya. Pakaian Arum dibasahi keringat dan juga air sisa-sisa kompres.

"Mbok boleh pulang. Biar saya yang mengurus sisanya," gumam Danu yang ditanggapi dengan anggukan patuh dari Mbok Asri. Ketika Mbok Asri menghilang dengan pintu yang tertutup sempurna, Danu mendekati Arum dan menyeka keringat wanita itu dengan telaten. Setelahnya, ia berdiri dan membongkar lemari Arum, mencari terusan tidur baru untuk gadis itu.

Danu kembali duduk di sisi ranjang, lalu menyingkap selimut tersebut. Ditariknya tubuh Arum dengan lembut hingga duduk dengan kepala bersandar di dadanya. Danu melepaskan terusan Arum, begitu juga dengan pakaian dalam wanita itu. Ia kembali menyeka keringat di tubuh Arum yang polos, mencegah gadis itu kembali masuk angin. Tiba-tiba saja tangannya ditahan oleh Arum. Ia menunduk dan mendapati istrinya itu telah terbangun, meskipun dalam keadaan setengah sadar. Mata Arum sayu ketika menatapnya.

"Apa semua ini mimpi?" tanya Arum perlahan, terlihat sekali wanita itu masih setengah mengigau. "... sebab ini terasa seperti mimpi."

"Mimpi apa?" bisik Danu lembut.

"Semuanya..." gumam Arum lagi. "... Ayah yang sudah tiada. Mas yang membunuh Ayah dan pertengkaran kita..."

Danu terdiam mendengar ucapan Arum. Ia menatap mata sayu wanita itu dalam keheningan. Cukup lama Danu berpikir sampai akhirnya ia menelusurkan jemarinya di dagu Arum dan mengusap bibir wanita itu dengan ibu jarinya. "Ya, Arum," gumam Danu dengan suaranya yang begitu lembut dan membuai. Kecupan terasa di pelipis Arum.

"Ini hanya mimpi buruk Arum yang biasanya?" tanya Arum lagi dengan matanya yang tampak berbinar.

"Ya, Arum," jawab Mas Danu lagi.

"Mengapa... terasa sangat nyata..." gumam Arum perlahan.

"Itu biasa, Arum," ucap Mas Danu lagi sembari merapikan rambut Arum dengan lembut. "Kamu selalu mengatakan itu setiap bermimpi buruk."

Arum tampak mengerjapkan matanya perlahan, berusaha mencerna perkataan Mas Danu. Namun, malam itu, ia merasa kepalanya sangat berat dan setiap hal lewat begitu saja bagaikan potongan memori yang tidak lengkap. Mungkin ini semua karena efek obat yang ia minum atau mungkin karena stres yang berkepanjangan, Arum tidak bisa berpikir malam itu. Ia merasa seolah dirinya melayang dan berada di angan-angan.

Dan entah bagaimana awalnya, kini bibir Mas Danu sudah berlabuh di bibirnya. Pria itu menciumnya dengan gerakan perlahan dan lembut. Bibir Mas Danu bergerak, mencicipi bibirnya dan pria itu tampaknya menginginkan lebih. Mas Danu memperdalam ciuman mereka sembari menarik tubuh Arum semakin menempel ke arahnya. Arum membalas ciuman itu dengan tempo yang pelan sembari melingkarkan lengannya di leher Mas Danu.

Mas Danu menekan tubuh Arum hingga wanita itu berbaring di ranjang. Ciuman keduanya pun terlepas. Nafas Arum dan Danu beradu di antara bibir keduanya. Arum menatap Mas Danu dengan tatapan sayunya, membuat Danu menggeram. Arum akan sangat membencinya ketika wanita itu bangun keesokan harinya dan mengetahui apa yang akan mereka lakukan malam ini. Namun, Danu benar-benar tidak bisa menahan dirinya. Kelembutan tubuh Arum, helaan nafas wanita itu dan tatapan istrinya membuat Danu akhirnya memilih keputusan yang brengsek.

Menipu Arum... tidak, apa yang ia lakukan sekarang lebih brengsek lagi, sebab ia memanfaatkan situasi Arum.

Danu semakin gamang di tempatnya. Ia menelan ludahnya, berusaha menahan dirinya agar tidak menjadi bajingan. Untungnya nuraninya lebih kuat dari sisi bajingannya. Danu memaksakan dirinya untuk bangkit dari ranjang itu, tetapi sebelum ia sempat menjauh, Arum sudah memeluk lehernya dengan erat.

"Jangan pergi..." gumam Arum perlahan sembari mengerjapkan mata sayunya. Danu menggeram dan ia tidak lagi bisa menahan dirinya.

Apa yang terjadi malam itu bukanlah kesalahan Danu. Ini semua adalah keinginan Arum, ulang Danu dalam hatinya untuk mengurangi perasaan bersalahnya.

Danu tahu apa yang ia lakukan salah, tetapi malam itu ia memutuskan untuk membodohi dirinya sendiri.

TBC...

HELLAW, yaaa selamat menikmatii...

Jangan bosan-bosan yaw

NAMANYA ARUM.Where stories live. Discover now