28. FRUSTRASI

3.3K 681 105
                                    

"Sudah saya duga dia bukan sembarang orang," ucap pria paruh baya itu sembari menatap dokumen di atas mejanya. Tulisan di dokumen itu kaku seperti diketik di mesin ketik dan juga ditempeli berbagai macam foto yang tak jelas.

Hening kembali mengisi ruang kerja Danu. Atasannya meraih selembar foto seorang pemuda dengan seragam sekolah tingginya tengah berpose dengan temannya. Pria itu tampak berpikir sembari mengetuk-ngetukkan jemarinya di foto itu.

"Tjandra..." ucap atasannya itu sembari mengusap dagunya pelan. "Bukankah sedikit munafik, Rendra? Ayahnya adalah seorang politikus kotor, sedangkan anaknya bergerak dalam perhimpunan merakyat seperti ini."

Danu tetap diam dan tidak menjawab setiap komentar dari atasannya itu. Perilaku yang ia pertahankan sejak dulu dan memang begitulah seharusnya ia bersikap ketika atasannya mengomentari semua pekerjaannya. "Hati-hati, Danu. Jangan sampai ketahuan kamu menyelidiki dia, sebab ini bukan lagi orang-orang biasa yang kita selidiki."

"Baik," jawab Danu patuh.

Atasannya tampak menatapnya dengan tatapan yang intens dan lama. Danu tidak bereaksi sedikit pun, meski jauh di dalam hatinya ia merasa tidak nyaman dan menyadari pria itu sedang menelaaahnya. Pria itu kembali meletakkan foto itu di atas tumpukan dokumen. Ia beranjak berdiri dari kursi kerja Danu dan memutari meja perlahan, sembari mengamati setiap sudut ruangan itu. Danu tak bergeming sedikit pun dari tempatnya dengan nafasnya yang tenang dan terkendali. Ia menatap meja kerjanya dalam diam, menyadari atasannya semakin mendekatinya.

"Apa gadis malang itu tahu kamu membunuh ayahnya?" tanya pria itu membuat Danu menegang untuk beberapa saat, sebelum kembali rileks.

"Ya," jawab Danu singkat, padat dan jelas.

"Dan apa gadis malang itu juga tahu kamu berusaha membantu ayahnya kabur?" ucap atasannya dengan nadanya yang tajam, lalu tak sampai beberapa lam kemudian, kepalan tangan sudah melayang di wajahnya. Danu tersungkur di lantai dengan perasaan kaget luar biasa. Refleksnya memang sangatlah baik, tetapi saat itu, Danu sudah terlalu syok untuk bisa menghindar dari pukulan atasannya. Hidung Danu berdarah hebat, sebab kekuatan atasannya memang tidak perlu diragukan lagi.

"Sudah saya katakan Danu, perasaan itu membunuh!" bentak atasannya dengan nafasnya yang berat, karena dipenuhi amarah. "Kamu mau meniduri gadis itu, atau membuangnya, saya tidak akan peduli. Namun, ketika kamu melalaikan perintah saya hanya demi perasaan kamu, itu saya tidak akan mengampuni kamu!"

Lalu, sebelum Danu sempat menghindar lagi, tendangan keras berlabuh di perutnya, membuatnya meringis. Tendangan demi tendangan itu terus berlabuh di sana dan Danu menerima semuanya... seperti dulu ketika ia dididik dengan keras. Darah yang mengalir di hidung Danu membasahi lantai. Ini bukanlah seberapa, sebab Danu pernah merasakan sakit yang lebih dari ini. Prinsipnya adalah selama ia masih bisa merasakan sakit, maka itu berarti ia masih hidup.

"Jika... jika... sampai kamu melalaikan tugas yang saya berikan lagi hanya karena gadis ini... saya tidak akan segan-segan menyingkirkannya dengan tangan saya sendiri," ancam pria paruh baya itu, membuat Danu sontak menoleh dan mata keduanya kini bertatapan.

Atasannya tampak kaget melihat reaksi Danu yang tidak biasa itu. Pria itu tampak mendengus mengejek ke arah Danu. "Tampaknya gadis itu sangat penting bagimu. Baiklah," ucapnya dengan nada misterius, lalu pergi dari ruang kerja Danu, meninggalkan Danu yang perlahan bangkit.

Kewaspadaan mulai tumbuh dalam diri Danu. Danu salah. Ia bodoh. Tidak seharusnya ia bereaksi seperti itu. Kini, pria itu tahu kelemahan Danu yang sebenarnya.

***

Arum bangkit dari tidurnya ketika ia mendengar pintu yang ditutup dengan kasar. Sepertinya suasana hati Mas Danu sedang tidak baik, sebab pria itu biasanya akan berlaku setenang air dan tak pernah berlaku kasar pada benda-benda di sekitarnya. Arum turun dari ranjangnya perlahan sembari mengikat asal rambut panjang bergelombangnya. Anehnya, suara-suara itu berhenti dan Arum melihat ada bayangan di depan pintu kamarnya.

NAMANYA ARUM.Where stories live. Discover now