21. KOTA PELABUHAN

2.8K 716 128
                                    

Kota pelabuhan itu telah menjadi kota mati. Memang tidak ada lagi mayat yang bertebaran di jalanan, tetapi kota itu sangatlah sepi dan banyak rumah kosong yang sudah rusak, pecah kacanya dan ditumbuhi ilalang tinggi. Mobil dan sepeda yang lewat bisa dihitung dengan jari. Pasar yang selalu ramai kini sepi sekali, bahkan hanya terdapat kurang dari sepuluh pedagang di sana. Tempat Ayah menimbang ikan sudah tutup dan bahkan pintu besinya sudah berkarat. Toko kelontong milik Mei Li kacanya sudah pecah dan rerumputan tinggi tumbuh rimbun di depan rumah itu. Sawah-sawah banyak yang hanya tertinggal tanah lumpurnya yang becek. Kota pelabuhannya telah meredup, hilang nyawanya.

Mas Danu lagi-lagi berbohong. Tidak ada tentara sama sekali di situ. Kota pelabuhannya sudah kembali tenang, hanya saja tetap sepi. Bahkan ketika pertama kali datang ke situ, tidak ada yang mencegatnya sama sekali. Mobil itu hanya ditatapi dengan tatapan tak biasa dari orang yang berlalu lalang. Arum mengingat beberapa warga di situ dan mereka tampak sangat muram dan tak sebahagia dulu. Arum melewati sawah Pak Tarno, tempat dulu ia sering terjatuh dan mendapati sejauh mata memandang, sawah itu hanya tinggal lumpur saja. Arum menangis sepanjang perjalanannya ke rumahnya sendiri, mengingat kebahagiaannya dulu di kota indah ini. Semua orang yang ia kasihi meninggalkannya. Semua tempat yang memberi memori indah, telah porak-poranda.

Ketika Arum sampai di rumahnya, sampan Ayah bahkan sudah berlumut. Rumah Arum masih berdiri kokoh. Pakaian dan barang-barangnya pun masih di tempat yang sama seperti ketika ia meninggalkannya. Bahkan gelas kopi Ayah yang belum ia cuci, masih tergeletak di meja makan. Arum berjalan ke lemari, tempat Ayah menyembunyikannya. Ia meraba baju Ayah yang berdebu dan menangis hebat di sana. Arum merasakan dirinya pecah berkeping-keping. Arum tidak menemukan Ayah di rumah ini dan di mana-mana. Prasangkanya semakin kuat. Ayah telah mati.

Kepanikan mulai menjalari Arum. Ia berlari keluar dari rumahnya dan meneriaki Ayah sepanjang jalan. Arum tidak peduli jika ada orang yang menganggapnya gila. Ia tidak peduli kini semua orang menatapnya. Arum hanya ingin tahu Ayah di mana. Setidaknya Ayah harus menunjukkan dirinya sekali saja dan Arum bersumpah akan memaafkan Mas Danu.

"Arum!"

Panggilan familiar itu membuat Arum menoleh. Matanya bertemu dengan mata seorang wanita paruh baya yang anehnya terlihat semakin menua. Mama Sintha menghampiri Arum kemudian menggenggam pundak gadis malang itu.

"Arum, astaga... astaga... kamu Arum?" ucap Mama Sintha dengan matanya yang berair. "Saya pikir kamu sudah mati, Arum."

"Ayah dimana?" gumam Arum sembari menatap Mama Sintha penuh harap.

Keterkejutan hinggap di wajah Mama Sintha, membuat perasaan Arum semakin tidak enak. "Apa... yang terjadi, Arum?" tanya Mama Sintha kaget luar biasa, ketika mendengar pertanyaan Arum.

"Arum... Arum... dibawa Mas Danu ke kota dan Mas Danu bilang Ayah masih hidup," gumam Arum lagi, berusaha menjelaskan pada Mama Sintha.

Sinar ketakutan yang teramat sangat terlihat di wajah Mama Sintha. Mama Sintha menoleh ke sekeliling orang yang berekspresi sama sepertinya. Perlahan-lahan, keanehan mulai terjadi. Kerumunan itu bubar dengan sendirinya dan bahkan ada beberapa yang berlari menjauhi Arum, seolah dia adalah orang gila. Mama Sintha tampak panik dan juga bingung harus bagaimana. Namun, melihat kerapuhan Arum, dengan baik hati, ia melepaskan selendangnya dan menyelimuti Arum.

"Kita bicarakan ini di rumah, Arum," ucap Mama Sintha sembari menuntun Arum yang masih terisak ke rumahnya. Rumah Mama Sintha masih seperti yang diingat Arum. Rumah kayu yang luas dan bertingkat dua serta pintu yang selalu terbuka lebar. Mama Sintha membawa Arum ke dapur dan membuatkannya teh, di kala Arum masih menenangkan nafasnya. Beberapa wanita yang mengenal Arum langsung menghampirinya dan semuanya kaget, Arum masih hidup. Mereka menangis bersama Arum, sekaligus bersyukur Arum masih hidup dan tak berkekurangan.

"A-Ayah," ucap Arum lagi sembari menggenggam tangan Mama Sintha yang duduk di hadapannya.

"Ayah kamu sudah tidak ada, Arum," gumam Mama Sintha perlahan, membuat Arum tak kuasa menahan dirinya. Ia langsung pecah dan hancur sejadi-jadinya. Ia menangis hingga dadanya terasa begitu sesak dan menarik nafas saja terasa sulit sekali. Saking terpukulnya, Arum, perempuan di situ dengan berbaik hati mengusap punggungnya, berusaha menenangkannya. Arum menggenggam tangan Mama Sintha sembari menangis dengan seluruh hatinya.

"Mas Danu... bilang... Ayah masih hidup. Mas Danu... dia... dia bilang Ayah bersembunyi," isak Arum, tak bisa berkata-kata lagi.

"Danu yang membunuh Ayah kamu, Arum. Dia adalah mata-mata. Pria brengsek itu lebih dari tahu bahwa semua yang menandatangani sembako itu tidak benar-benar mendukung organisasi tersebut. Mereka... mereka..." Mama Sintha pun juga tak kuasa menahan tangisannya ketika ia menceritakan hal yang sangat memilukan itu. "... hanyalah orang-orang kecil yang ingin membawa makanan untuk keluarga mereka; biskuit untuk anak-anak mereka. Dan Danu brengsek itu tahu hal itu, tetapi ia tetap memutuskan menangkap semua orang tidak bersalah itu dan... menembak mereka, Arum."

Mama Sintha tahu bahwa apa yang keluar dari mulutnya akan menghancurkan Arum. Namun, beginilah faktanya dan Arum harus mendengar hal itu, tidak peduli gadis itu senang mendengarnya atau tidak.

"Semua mengira kamu sudah mati, Arum, sebab... kami menemukan mayat kamu. Pakaiannya seperti kamu dengan rambut panjang, hanya saja wajahnya hancur," jelas Mama Sintha lagi. "Kami kira... kamu sudah mati, Arum."

"Bajingan itu yang merencanakan ini..." isak Arum tak kuasa menahan dirinya.

"Ada apa antara kamu dengan Danu, Arum?" tanya salah satu perempuan di

Arum menoleh menatap perempuan yang bertanya itu. Nafasnya masih terengah-engah, karena desakan emosi dalam dadanya. Ia mengusap perutnya sembari menitikkan air matanya. Tanpa menjelaskan semua wanita di situ paham maksud Arum.

"Arum..." panggil Mama Sintha kaget setengah mati. "Kamu hamil anak Danu?"

Arum mengangguk, membuat semuanya langsung terdiam syok.

"Mas Danu menipu Arum," ucap Arum dengan nadanya yang datar, tetapi semua di situ tahu seberapa besar kegetiran dalam diri gadis sembilan-belas tahun itu.

TBC....

Haii bestie apa kabar, selamat menikmati.

Jangan bosan2 yaww✨

NAMANYA ARUM.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang