ARCA pov 12

269 30 1
                                    


Happy reading :)









Lima hari sudah Ica berada dalam ruangan bernuansa putih ini.

Bukan tertidur tak sadarkan diri tapi dia hanya duduk di tempat tidur rumah sakit sambil memandang keluar melalui jendela yang ada di ruangan itu.

"Ayah, bunda gak tega liat Ica terus seperti ini." ujar bunda.

"Bunda yang sabar ya, ayah yakin Ica anak yang kuat dia pasti bisa lewatin ini semua." sambil memeluk bunda yang mulai terisak.

Sedangkan Ica dia sedang mencoba untuk bangkit dan tak mau terus-terusan bersembunyi dan ketakutan dengan apa yang terjadi.

"Gue gak boleh kayak gini, gue gak boleh mudah menyerah, gue harus jadi Ica yang kuat !" gumamnya sambil berdiri dari tempat tidurnya.

"Bunda ayok kita pulang, Ica bosen disini." ajak Ica tiba-tiba.

"Ica kamu yakin?" tanya bunda sambil menghampiri Ica

Ica hanya menganggukkan kepalanya dan tersenyum ke arah ayah dan bundanya, "maafin Ica udah buat ayah sama bunda khawatir." sambil memeluk bundanya.

"Gak Ica gak salah, ayah sama bunda bangga sama Ica, Ica anak yang kuat." balas bunda sambil mengelus punggung dan rambut Ica.







"Icaaa aku seneng banget kamu udah masuk sekolah, uuuhhhh kangennn. Kamu baik-baik aja kan Ca?" tanya Puspa saat Ica baru saja duduk di kursinya.

"Gue baik kok." jawab Ica.

"Oh iya, siapa yang jadi perwakilan sekolah ke California?" tanya Ica pada Puspa.

"e-emm itu, Rena kelas 9 A, anaknya kepala sekolah" jawab Puspa.

"Oh"

Puspa merubah posisi duduknya menjadi menghadap Ica, "kamu tau gak kalo Haikal sekarang pacaran sama Rena?"

"P---pacaran?" ujar Ica terbata-bata.

"Heem" balas Puspa sambil manganggukkan kepalanya.

Ica keluar dari kelasnya dan berjalan menyusuri lorong untuk menemukan Haikal.

Saat Ica pergi ke kelas Haikal, kursi tempat duduknya kosong, apa Haikal tidak masuk sekolah? kemana Haikal waktu Ica di rumah sakit?. Pertanyaan itu selalu menghampiri benak Ica.

"Lo nyariin Haikal? " tanya Rena yang tiba-tiba muncul di hadapan Ica saat akan pergi.

"Rena?"

"Haikal udah pindah." ujar Rena sambil melihat menundukkan kepalanya.


"Haikal pindah?"


"Gue juga gak ngerti kenapa, setelah lima hari yang lalu waktu gue di umumkan lolos seleksi dan bisa berangkat ke California, dia bilang suka sama gue dan kita pacaran."

"Tapi baru sehari kita pacaran dia udah ngilang gitu aja gak ada kabar, ternyata pas gue tau, dia udah pindah. Cuma Haikal sempet bilang ke gue kalo dia seneng banget dendamnya udah bisa terbalaskan, kata Haikal akhirnya orang itu bisa merasakan apa yang dia rasakan. Udah lah gue pergi dulu, sorry ya gue malah curhat sama lo Ca." ujar Rena sambil pergi meninggalkan Ica.

Ica yang mendengar itu hanya bisa terduduk lemas dilantai, "ternyata bener lo ngelakuin semua itu buat balas dendam sama gue. GUE BENCI SAMA LO HAIKAL!" teriak Ica dengan air mata yang sudah mengalir deras.



BRUKKK !!!





"Awww hiks ... hiks" rintih Ica saat lututnya berdarah karena jatuh dijalan dan lututnya tergores aspal.

Ica tadi pergi meninggalkan sekolah karena dia tidak mau bertemu dengan Haikal. Kebetulan gerbang sekolah tidak dikunci dan pak satpam yang berjaga sedang tidak ada di tempat jadi mudah buat Ica untuk keluar.

Ica mendongak saat ada sebuah tangan terulur untuk membantunya berdiri, "Arya?" gumam Ica.

"Cepetan bangun panas." sahut Arya.

Ica menerima uluran tangan dari Arya, "ikut gue." ajak Arya pada Ica.

"Gak, gue gak mau balik ke sekolah lagi hiks .." ujar Ica sambil melepaskan tangannya dari tangan Arya.

"Gue gak ngajakin lo ke sekolah tapi buat obatin luka lo" balas Arya sambil menaiki motornya dan menggunakan helm.

"Cepetan naik, lo mau ketemu sama preman-preman itu lagi?" tanya Arya.

Ica langsung menggelengkan kepalanya dan naik ke motor Arya. Mereka pun pergi tanpa mereka sadari ada sepasang mata yang menatap mereka dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Sial!" umpat orang tersebut.



Mereka berhenti di sebuah tempat mirip dengan taman. Ica duduk di bangku panjang di bawah pohon yang lumayan besar sehingga merasakan sejuk akibat hembusan angin.

"Lo mau kemana?" tanya Ica pada Arya yang akan pergi dari sana.

"Mau cari obat buat ngobatin luka lo." balas Arya.

"Gak usah, di tas gue ada obat merah sama kapas kok, nanti gue bersihin sendiri." ujar Ica sambil membuka tasnya.

Arya mengerutkan dahinya, "gak usah heran, gue anggota PMR, jadi wajar." sambung Ica lagi.

"Kalo gitu gue mau cari minum, haus" ujar Arya sambil pergi dari sana.

Ica mulai membersihkan lukanya secara hati-hati, "awww perih juga, padahal dikit doang lukanya, dah beres gak sia-sia gue ikut PMR" sambil menutup lukanya.

"Udah? nih" tanya Arya sambil memberikan sebotol minuman rasa jeruk.

"Lo ngapain nyusulin gue?" tanya Ica.

Arya yang sedang meneguk minuman kalengnya pun tersedak karena mendengar Ica bertanya, "uhuk .. gue gak ngikutin lo tadi emang gue izin mau keluar, ada urusan."

"Kenapa lo sekarang ada disini gak urus urusan lo?" tanya Ica kepo.

"Lo sebenci itu sama sejarah?" tanya balik Arya mengalihkan topik.

Ica kaget saat arya menanyakan hal itu, "maksud lo?"

"Gue denger semua percakapan lo sama adek lo waktu pertama kali lo nelpon gue."

"J---jadi lo denger?" tanya Ica meyakinkan. Arya hanya menganggukkan kepalanya sambil meminum kembali minuman kalengnya.

Ica menundukan kepalanya sambil menghela napas panjang, "sebenarnya gue ...." kata-kata Ica terpotong saat hp Arya berbunyi dan menampilkan panggilan masuk disana.

"Hallo" jawab Arya

"..."

"Oke gue kesana sekarang" sambil mematikan sambungan telponnya dan berdiri.

"Lo balik sendiri bisakan? gue ada urusan" tanya Arya sambil pergi meninggalkan Ica sendiri.

"Siapa juga yang minta buat lo nganter balik gue!!" teriak Ica sambil melihat Arya yang perlahan menjauh.

"Gue kira dia ngikutin gue ternyata emang ada urusan."

"Ishh .. apaan sih gue kok gue jadi kesel gini." omel Ica sambil meneguk habis minumannya.










To be continue

ARCA pov  [End]Where stories live. Discover now