☁️Prolog☁️

1.4K 93 4
                                    

Di Balik: 🌬Angin

Kami langsung duduk diundakan aula, tidak memilih ubin mana yang paling bersih. Tapi aku sengaja mengambil satu undak lebih rendah dari posisi Awan, aku sudah diam padanya sejak kami jalan kaki meninggalkan parkiran. Satu-satunya respon yang kutunjukkan adalah saat sebelah tangannya terulur menyentuh bahuku. Yang mana langsung kutepis mentah-mentah.

Dihadapan Awan, rasanya aku selalu perlu melakukan ini: terang-terangan mengenai suasana hati.

"Gamau makan ini, Di?" Awan sudah turun, menyejajariku. Tapi apa sih yang cowok ini pikirkan?! Bisa-bisanya dia bersikap seolah engga paham kalau kotak bekal itu, beserta beberapa cup muffin cokelat-keju didalamnya-yang disampaikan seorang gadis sebagai tanda terima kasih atas bantuan dari Awan semalam-adalah alasan dibalik muka masamku.

Awan menarik kembali uluran tangannya, kupikir ia bakal cepat-cepat menyingkirkan kotak bekal yang bahkan enggan kulirik itu. Karena sungguh hanya itu yang tepat dilakukan agar urusan tidak runyam. Masalahnya sore ini Awan benar-benar orang yang menyebalkan. Ia pindahkan kotak bekal tersebut keatas paha kakinya yang kini berselonjor santai. Aku melirik dari sudut mata, mendapati Awan mengupas kertas roti yang membalut setengah bagian muffin sebelum menggigitnya dari samping. Awan memancingku, sebab ia tahu aku tak akan membiarkannya sampai digigitan kedua.

"Wan, aku marah. Banget."

"Di, semalam cuma acara makan pizza. Lagipula Angkasa dateng kan?"

Iya, Awan. Buat merayakan ulang tahun, aku cuma merengek ingin makan pizza bertiga. Aku, kamu dan Angkasa. Aku kira itu adalah perayaan kecil yang pasti tidak susah untuk dipenuhi. Tapi Awan, kamu melewatkannya-acaranya dan detailnya. Kamu bahkan engga sadar kenapa pilihan menunya adalah pizza sementara aku dan Angkasa pasti akan lebih memilih Sushi kapan saja.

Wan, bagaimana aku bisa engga sakit hati waktu kamu gigit muffin tadi. Satu loyang pizza paperoni kesukaaanmu dingin di dapurku. Pagi tadi tidak kuhangatkan lagi. Aku membuatnya dengan senang hati sepanjang sore kemarin, tapi jujur aku kepalang jengkel kalau harus menyalakan microwave sekali lagi.

"Udah jelas. Sahabat mana yang melewatkan ulang tahun sahabatnya?" sindirku menusuk.

"Sorry, Di."

Aku menengadah, menahan air mata. Menggeleng sendiri tidak puas dengan apa yang baru kudengar, "Kamu bohongin aku lagi, Wan. Ini kebohongan pertama kamu setelah lima tahun." Kuseka air mata yang meluber lewat sudut mata dengan gusar. Bermilyar manusia di bumi ini, kenapa tidak satupun dapat memberitahuku bagaimana caranya mengutarakan sebuah perasaan ekstrem tanpa membuatku menangis.

"Di..." jari-jemarinya merambat mencoba menempati celah-celah diantara jemari tanganku. Dan kali ini Awan tidak membiarkanku menepisnya, "Aku disini. Sama kamu." Nada bicara awan yang lunak benar-benar bertolak belakang dengan seberapa erat ia menggengamku. Seperti ia punya firasat aku bisa tiba-tiba jatuh jika ia melepaskan genggamanya itu.

Dikepalaku, cuplikan-cuplikan setengah hitam berputar tidak beraturan. Semrawut juga tajam. Aku mengecil, terlempar ke sebuah ruang putih tenang dan menyaksikan bagaimana titik kabur yang tadinya hampir terhapus kini sepekat tetes tinta.

Lima tahun. Sudah berlalu. Aku sudah baik-baik saja.

Aku tidak ingin Awan menyadarinya. Pelan-pelan kubebaskan tanganku yang mulai terasa dingin. Sebagai gantinya, kurangkul saja lengan kanannya dari samping. "Coba kamu datang ke hidupku bukan sebagai Awan. Apa gitu, mungkin Langit?"

"Kenapa?" Awan mengerutkan dahi padaku. Entah maksudnya dia bingung karena aku tiba-tiba merangkulnya-yang berarti sudah engga marah. Atau sedang heran dengan pertanyaan spontanku.

"Langit itu engga konsisten, Di." Tambahnya, menepis gagasan anehku tentang ia yang harusnya lahir dengan nama selain Awan.

Sebenarnya, aku sedang berusaha mengembalikan dialog kami pada persoalan ulang tahunku semalam. Apa katanya tadi? Lagian Angkasa dateng, kan? Enteng sekali cowok itu kalau membela diri. Serius, aku jengkel dengan pola pikir Awan yang satu ini. Seolah-olah, kadang kehadirannya bisa diwakilkan oleh Angkasa-walaupun aku sungguh berterima kasih karena tanpa kedatangan Angkasa, semalam mungkin jadi ulang tahun ter-galauku.

"Yah meskipun Langit engga selalu cerah, paling tidak Langit membuktikan janjinya untuk tidak beranjak kemana-mana."

Semoga saja Awan menangkap maksud sindiranku. Biar deh sesekali aku mengeluh dan membanding-bandingkan ia dengan Angkasa. Lagipula Awan juga keterlaluan.
"Tapi Langit engga membuka hatinya untuk siapapun, ingat? Ia engga akan bisa jadi milikimu sendiri."

Aku berusaha mengupas jawaban Awan dengan cepat tapi jujur saja aku kebingungan. Awan tidak terdengar tersinggung sama sekali. Sedikit banyak aku jadi curiga kalau ia tidak memahami kiasan-kiasanku. Tapi kalimat tadi juga terlalu romantis untuk dikategorikan sebagai jawaban secara harfiah.

"Apa bedanya?" timpalku mencibir, "Kamu juga engga pernah jadi milikku sendiri."

Sedih. Tapi memang itu yang terjadi.

Selanjutnya adalah hal paling merepotkan didunia. Apalagi kalau bukan sebuah senyum yang cowok ini munculkan perlahan mengiringi tatapannya yang bertambah dalam. Terkesan hanya diulas untukku.

"Aku engga perlu dimiliki buat bisa selalu kamu pegang erat seperti ini, Windi."

Kenalkan, namaku Windi.

Aku ini angin yang pembantah. Menyalahi aturan kamus semesta. Aku tidak menentukan arah untuk Awan seperti seharusnya. Justru aku yang mengikuti kemana saja Awan ingin berarak. Meski ia sungguh tak tahu aturan, tapi tanpa awan siapa lagi yg akan memberi tahu jika kebaradaanku ini ada artinya.

 Meski ia sungguh tak tahu aturan, tapi tanpa awan siapa lagi yg akan memberi tahu jika kebaradaanku ini ada artinya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Di Balik AwanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang