☁️20: Di Balik Timezone☁️

158 31 10
                                    

But on and on
From the moment I wake
To the moment I sleep
I'll be there by your side
Just you try and stop me
I'll be waiting in line
Just to see if you care

- From a song: Shiver -

Di Balik: 🌬Angin

“Aku perhatiin, kamu kok sering melamun, Di?”

“Kayak orang kesepian.”

Kadang-kadang, aku benci cara Angkasa mengenalku terlalu baik.

“Memang kesepian.”

“Masa?” Angkasa terkekeh karena pikirnya aku tidak sedang serius. Tentu saja itu sebelum ia menengok cermin dan mendapati wajahku yang mendung terpantul di sana. “Kan ada Awan?”

Aku mengangkat bahu dengan tidak bersemangat, “Belakangan Awan sering keluar sama temennya.”

“Temen yang mana?”

“Nggak tahu juga.”

Hanya tinggal mengatur rambut dan aku akan siap. Awalnya aku hendak menggerai rambut karena kurasa itu adalah tatanan paling cocok untuk dipadankan dengan blouse berkerah. Tapi urung kulakukan mengingat rambut yang selalu kuikat rendah menyamping selama seminggu ini bukan tanpa alasan. Kemudian aku cuma memasang scrunchie dan berusaha puas dengan itu.

“Diantar Awan?” tanya Angkasa saat aku berpindah ke sampingnya untuk mengisi tas dengan buku dan beberapa keperluan lain sesuai mata kuliah Psikometri yang sudah kusiapkan.

Mataku tertuju sebentar pada benda pipih di atas nakas yang masih diisi daya. Belum ada bunyi notifikasi sejak pesan singkat yang kukirim pada Awan satu jam lalu. Jadi aku menggeleng. “Awan nggak ada jadwal kelas.”

Angkasa mengernyit, “Biasanya tetap diantar, kan?”

“Kalau kamu, mau antar nggak, Sa?”

Meninggalkan keheranannya, Angkasa mengumbar senyum lebar lalu kabur setelah berhasil mencuri tasku. Aku yang masih tertinggal di kamar bisa mendengar teriakan cowok itu menggema dari lantai bawah. Angkasa sibuk mencari Pak Narto menanyakan kunci mobil. Sehabis mencabut charger ponsel, aku menyusulnya sambil terkekeh geli. Kenapa tiba-tiba Angkasa yang antusias?

Sekarang pukul empat. Orang-orang yang baru pulang kerja membuat jalanan padat. Tapi aku tidak begitu khawatir meski mobil kami tidak bisa melaju dengan cepat. Kelasku dijadwalkan pada pukul lima sore jadi sebetulnya masih agak terlalu awal untuk berangkat.

Angkasa menyalakan stereo, namun tetap memastikan volumenya cukup rendah sehingga tidak akan menghalangi percakapan kami.

“Kalau sama aku begini, cukup nggak, Di?”

Aku berhenti menggumamkan lirik lagu Somebody out There milik A Rocket To The Moon yang sedang terputar. Sejenak bermain logika mencoba menebak yang Angkasa maksud walaupun ujung-ujungnya tetap bertanya balik minta dijelaskan, “Cukup gimana?”

Cowok itu mengusap lehernya, seperti mencari keyakinan untuk berterus terang, “Cukup mengurangi sepi nggak?”

Sudut bibirku berkedut. Pelan-pelan kupalingkan wajah sembari menggosok telapak tangan pada kain celana. Keingintahuan Angkasa mendatangkan perasaan canggung yang aneh. Dan aku sekedar mampu merespon itu dengan tersenyum tidak yakin. Aku berusaha agar Angkasa tidak melihatnya karena takut ia justru salah paham.

“Tetep kurang ya Di, Kalau nggak ada Awan?”

“Bukan kayak gitu, Sa...”

“Ya enggak apa-apa. Aku memang bukan Awan.”

Di Balik AwanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang