☁️15: Di Balik Instagram Story☁️

132 30 5
                                    

And I'm always tired but never of you

- From a song: I Hate You I Love You -

Di Balik: Bintang

Kurentangkan tangan ketika hembusan angin menerpa wajahku. Hari mulai sore, setelah siang yang panas cuaca sore ini benar-benar bersahabat. Cuma menatapi kabel yang menyambung dari satu tiang listrik pinggir jalan ke tiang lain dengan latar langit biru yang seperti tak terbatas itu saja berhasil membuat senyum tidak luntur dari wajahku. Dan sepedaan sore ini jadi lebih menyenangkan karena aku tidak sendirian.

“AWAAAAN!” Aku menjerit keras sambil berusaha mempertahankan badanku yang hampir terbang setelah sepeda kami terlonjak oleh polisi tidur di jalan. Ketika kurasakan laju sepeda kembali normal, aku langsung memukul-mukul punggung Awan heboh. Menyalahkan cowok itu karena dia pasti sengaja tidak menarik rem dan malah mempercepat kayuhan. Masih kurasakan pompaan jantungku yang seperti melompat-lompat. Andai saja Awan kurang lihai bawa sepedanya, aku yakin kami sudah sama-sama terhempas ke aspal.

“Aduh aduh! Ampun Bi!” mohon Awan sambil meringis berlebihan. Aku menyasar punggungnya sekali lagi, dan yang terakhir ini pakai tenaga penuh. Rasain!

Aku nggak hitung kami sudah berputar-putar berapa kali. Tapi saat kami mulai berkeliling jalanan di depan sebuah taman terbuka ini, Mbak dan Mas yang lagi pacaran itu masih mengantre pesan mie ayam. Setiap kali lewat aku iseng perhatikan mereka—makan bareng, ngobrol, berdebat, foto, tidak lupa membayar—terakhir kulihat mereka sudah pulang. Sedangkan aku dan Awan belum puas bersenang-senang.

Kami memarkir sepeda di tempat khusus yang disediakan. Sempat beli es jeruk peras sebelum jalan bersisihan mengabsen isi taman. Memang tidak banyak yang bisa dilihat, tapi kami memang mudah teralihkan dengan hal apapun. Aku berhenti buat mengusap perut ibu kucing yang sedang hamil. Awan juga melipir untuk bertanya siapa nama bayi 3 bulan yang digendong neneknya. Kami berdua juga lomba lari melawan anak TK dengan sepatu rodanya. Lalu sekarang, kami ikut lompat tali bareng segerombol anak perempuan.

“Kakak berdua nih kelas berapa sih?” tanya Rania si kuncir kuda. Dari gaya bicaranya aku yakin Rania masih SD.

Aku melirik Awan dan Awan melirikku. Saling menangkap niat usil masing-masing.

“Aku masih SMP kok.”

“Sama,” timpal Awan, “Aku kakak kelasnya. Kelas sembilan.” Cowok itu menambahkan supaya kejomplangan tinggi kami nggak bikin mereka curiga.

“Abang aku juga SMP kelas sembilan tapi nggak setinggi kakak tuh?” aku nggak ingat yang bicara membantah Awan ini Vira atau Safa, pokoknya dia pakai kacamata.

“Eeee...” Awan menggaruk rambutnya, sedang cari-cari alasan, “Kakak kamu pasti nggak pernah  gelantungan di pohon pas ada gerhana bulan.”

Vira atau Safa itu bingung seketika, “Apa hubungannya?”

“Bikin tinggi itu.”

Aku mendekat pada Awan dan terbahak diam-diam di balik punggung cowok itu. Nggak kuat dengar omongan Awan yang ngaco.

“Tapi masih SMP kok udah pacaran sih?”

Rania lagi. Pertanyaan polosnya bikin ekspresiku dan Awan berubah 180 derajat. Aduh niat ngerjain anak kecil malah dikerjain balik!

“Ahaha udah dulu ya mau pulang!” Awan memecah kecanggungan kami dengan mengajakku kabur. Entah aku harus berterima kasih atau tidak. Awan menyelamatkanku dari pertanyaan menjebak Rania namun refleksnya menggenggam tanganku mendatangkan canggung yang lebih parah. Aku blank seperti kepalaku baru saja dilubangi.  

Di Balik AwanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang