☁️12: Di Balik The Overdramatic One☁️

129 27 5
                                    

Di Balik: 🌬Angin

Aku tidak tegang dengan pendaratan ini. Wajahku mendekat pada jendela untuk menatap lintasan aspal panjang yang seperti sudah menanti-nanti. Aku tersenyum kecil, tertawa dalam hati karena tiba-tiba aku merasa iri dengan pesawat-pesawat ini. Sebuah burung besi selalu tahu harus datang kemana, punya tujuan pasti untuk melandaskan roda. Berbeda sekali dibanding hati manusia yang tidak pernah bisa memilih kepada siapa harus mendaratkan rasa. Kita mungkin bisa menemukan satu yang istimewa kapan saja. Masalahnya biarpun begitu, kita masih harus menebak-nebak apakah seseorang itu benar-benar 'tempat' yang tepat.

"Udah, galaunya tinggalin di Bali." Tante Farah meletakkan telapak tangan pada bahuku. Aku penasaran kalimat keren apa lagi yang akan Tante katakan demi menghibur keponakannya, "Let's keep ourselves busy because we're too pretty to be broken."

Gaya bossy Tante Farah saat memasang kacamata nggak pernah gagal bikin aku tertawa. Kurasa tidak ada satu hal pun dari Tante Farah yang terpengaruh pertambahan usia. Kami mengambil foto berdua di tiap ulang tahunku, dan Tante betul-betul masih terlihat secantik dan semuda dirinya pada foto lama. Orang pasti kaget mengetahui Tante Farah bakal menginjak usia 35 tahun ini, terlebih lagi dengan gaya nyentrik dan cara bicaranya yang gaul begitu.

Tidak pernah bosan kukatakan seberapa kagumnya aku dengan sosok Tante Farah. Bukan dari sudut pandang orang yang berterima kasih karena Tante Farah telah bersamaku disaat-saat terbaik hingga yang terburuk. Tapi ia memang sepantas itu untuk dikagumi. Aku belum pernah bertemu orang lain yang bisa menyaingi keuletan Tante Farah dalam berproses.

"Tante kira masa depan bakal selalu mengkhawatirkan kalau yang menjalani cuma menganggap hidup sebagai ajang berebut peluang. Nggak harus kayak gitu cara kerjanya. Nggak harus dengan berebut. Peluang itu jangan sekedar dicari, tapi coba kita buat sendiri. Dengan begitu kita nggak bakal kehabisan jalan."

Aku bangga sekali karena Tante benar-benar sudah menjelma menjadi wanita matang dan mandiri seperti sekarang. Dari semua pemikiran-pemikiran hebatnya, aku paling setuju dengan yang satu itu. Sampai kutulis ulang dan kutempel pada hijang diatas meja belajar. Biar bisa kubaca berulang-ulang kalau sedang dilanda krisis jati diri.

Ngomong-ngomong, kami sudah nggak di dalam pesawat sekarang. Aku membuntuti Tante dari belakang sambil menyeret koper, berusaha tidak kehilangan jejak wanita itu. Heran. Dengan koper yang lebih besar, telepon dari seseorang yang menyibukkannya juga sepatu hak tinggi yang ia kenakan, gerakan Tante tetap jauh lebih gesit ketimbang aku.

Menangkap seseorang yang perawakannya sangat aku hafal berdiri di depan gate kedatangan, aku urung membuka ponsel. Senyumku melebar saat ia melambaikan tangan, kupikir Awan masih di jalan.

"Sori jadi bikin repot kamu, Wan." Tante berusaha menjauhkan ponsel dari bibirnya saat bicara pada Awan. Sepertinya telepon yang tadi belum diakhiri. "Soalnya Tante harus langsung ke kantor, ada janji."

Awan menggeleng, tidak merasa dirinya sedang direpotkan, "Nggak masalah, Tan. Lagian aku kangen Didi."

Mataku melotot penuh peringatan dan nggak ketinggalan aku membuat gestur bergidik geli. Jangan ditanya. Aku memang sengaja menyusun aksi pura-pura kesal buat menutupi salah tingkah setelah dengar kata 'kangen' dari Awan. Untung saja Awan nggak usil mengedipkan sebelah mata tadi, kalau cowok itu melakukannya, pipiku pasti sudah semerah tomat sekarang.

"Aduh iri banget sama kawula muda nih. Kalo bangkotan kayak Tante gini siapa coba yang ngangenin?" Dengan dramatis Tante Farah menekan dadanya.

"Itu, klien." Goda Awan sembari tergelak.

"Oiya bener juga. Yaudah Tante cabs dulu ya, take care kalian!" Sempat mencuri kecupan kecil pada rambutku, sejurus kemudian Tante melangkah lebar-lebar menyusul supirnya yang baru datang.

Di Balik AwanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang