☁️6: Di Balik Yang Belum Waktunya☁️

141 31 3
                                    

Di Balik: 🌬Angin

Awan senang duduk menyandar pada kusen jendela kamarku saat diluar hujan. Tapi ia tidak benar-benar senang dengan hujan, terlebih dengan hujan kemarin sore yang menjadi alasan kenapa aku meringkuk dibalik selimut, menggigil ditengah hari.

"Apa?" itu suara Angkasa, terdengar dari balik sambungan telepon.

Aku kurang paham juga kenapa Awan menghubungi Angkasa yang pasti masih menunggu keretanya tiba. Harusnya aku dan Awan ikut mengantar sahabat kami yang hari ini sudah harus kembali itu, malah kemarin lusa kami berdua yang pergi ke stasiun untuk memesankan tiket pulang Angkasa. Cuma berhubung kondisiku sedang kurang sehat, planning tersebut jadi gagal. Syukurnya Angkasa itu pengertian.

"Idiot!" bahkan aku belum sempat meredam kaget saat Awan secara sepihak memutus sambungan setelah satu makiannya yang keras.

Sambil berusaha melawan pusing juga menahan kompres kain agar tidak jatuh dari dahiku, aku menyangga punggung pada kepala ranjang. Ini pasti karena aku memberitahu Awan jika kemarin sore aku dan Angkasa pergi ke taman kota dan main basket sambil hujan-hujanan.

"Wan, kamu tadi kan sudah janji buat engga marah ke Angkasa?!"

"Maksudnya, aku harus berterima kasih tentang kamu yang jadi sakit begini?"

"Awan! Masa harus diulang?" Aku menghela, memutuskan mengalah pada egonya, "Angkasa berkali-kali maksa aku buat udahan tapi aku nya yang memang ngeyel."

"Kalau itu aku, kamu bakalan aku seret pulang."

"Memang kapan aku bakal punya kesempatan untuk main basket sama kamu lagi?"

Aku hanya bisa menghela napas saat Awan beranjak tanpa berminat menjawab pertanyaanku. Tidak tahu kemana ia kali ini membawa motornya pergi. Tidak tahu pula kapan Awan akan berhenti marah dan lari.
Yang jelas, 30 menit kemudian ia kembali dengan satu plastik obat dari apotek, beserta beberapa lembar plester penurun demam yang terpisah bungkus. Ia beli itu dari minimarket. Fakta kalau Awan peka soal kompres kain yang cukup merepotkanku sudah bikin aku senang. Jadi aku tidak menghakiminya meski plester demam tersebut untuk usia anak-anak.

Atau mungkin dimata Awan aku masih seperti anak-anak?

"Aku barusan mampir ke dapur. Kata Bibi tinggal tunggu supnya mendidih."

"Iya..." jawabku setengah malas sembari memasang plester dengan gel dingin ajaib.

Sebetulnya aku lebih ingin makan bakso putihan ketimbang sup. Cuma, sup ayam yang sedang dimasak Bibi adalah request Awan. Sup memang satu-satunya hidangan berkuah yang cowok itu suka. Dan aku yakin ia memilih sesuai seleranya supaya bisa ikut menemaniku makan. Lebih tepatnya memaksaku menghabiskan makananku dikondisi tidak berselera.

Tidak lama kemudian Bibi mengetuk pintu saat kami menyalakan TV. Awan berhenti memindah-mindah channel dan bergegas membantu Bibi karena jelas merepotkan membawa nampan berisi 2 mangkuk besar sup dan 2 piring nasi putih.

"Wah, wangi banget. Makasih ya, Bi!" aku tidak bisa melihat ekspresi Awan, tetapi nada bicaranya benar-benar sumringah.

"Bibi yang makasih. Jadi bisa gantian jagain Non Didi."

Yaa... paling tidak sekarang kalian paham kenapa Awan selalu menggunakan panggilan 'Di' dan bukan 'Win' seperti kebanyakan orang. Didi adalah nama panggilan yang tidak pernah mau ditinggalkan oleh siapapun yang menjadi bagian dari masa kecilku. Aku dulu kesal karena Didi terdengar mirip nama laki-laki, tapi kupikir orang-orang yang memanggilku demikian adalah orang-orang yang paling menyayangiku.

Itu berarti Awan juga menyayangiku bukan?

Ah, aku bengong cukup lama karena nama panggilan itu, sampai tidak sadar kalau semua sudah siap diatas kasur. Awan mengatur peralatan makanku diatas meja belajar darurat portable yang biasa kugunakan saat jenuh belajar dengan duduk diatas kursi.

Di Balik AwanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang