☁️1: Di Balik Semalam☁️

642 49 2
                                    

Di Balik: Bintang⭐

Aku udah capek.

Hari ini semuanya tentang revisian. Sususan laporannya salah, kalimatnya masih harus ditambah, banyak typo pada penulisan laporanku. Sampai malam aku masih bolak-balik ke tempat print. Tapi tetap saja, lagi-lagi aku terpaksa pulang dengan segepok kertas yang dicoreng tinta merah dimana-mana.

Anfal dan Andari, kedua teman seperjuanganku lebih beruntung karena berhasil dapat tanda tangan ACC di sesi konsultasi terakhir. Setelah cukup membuat mereka repot dengan tingkah stress-ku, kupaksa Anfal dan Andari pulang. Bagaimanapun aku mengerti jika hari ini pasti terasa sama beratnya bagi mereka. Kataku tadi, aku juga mau segera pulang ke kost dan fokus ngebut revisian. Tapi nyatanya aku masih terduduk di teras minimarket 24 jam. Engga punya tenaga untuk menutup-nutupi keadaan setengah putus asa ini. Lagian, siapa peduli. Aku cuma mau bersedih dan menangisi dunia perkuliahanku yang bergenre Romusha.

Engga bercanda loh. Aku bukan sedang menangis didalam hati atau semacamnya, melainkan sesengukan dan kadang sampai setengah meraung. Terutama kalau lagi-lagi kepikiran soal besok.

Kalau besok berantakan lagi, kayaknya aku bakal dapat wejangan dari dosbing yang maha benar buat revisi hidupku sekalian.

Iya. Stress benar-benar bikin orang overdramatic.

Masalahnya, besok adalah tenggat terakhir pengumpulan laporan survey alias DEADLINE. Dan celakanya dosbing hanya akan membuka sesi konsultasi sampai sebelum pukul 10 pagi. Itu berarti bakal ada peperangan sengit antara para budak revisi-termasuk aku-yang masih harus berjuang sampai detik dealine penghabisan.

Aku menengok kertas dipangkuanku, yang kusut karena remasan tanganku sendiri. Bisa gila! Kalau besok pagi aku masih riweh ngurus revisi, jelas aku engga bakal dapat kesempatan ketemu dosbing. Sambil kelabakan aku akhirnya memilih menyalakan laptop. Sinar dari screen ternyata bisa semenyakitkan ini pada mata sehingga air mataku tidak berhenti berlinangan. Atau sebetulnya engga? Aku saja yang lagi lebay? Bodo amat! Paling engga menangis menjagaku dari kantuk sehingga-entah bagaimana-aku rampung merevisi.

Jadi apa tangisanku mereda?

Aku sendiri capek nangis sebetulnya. Tapi gimana mau engga nangis kalau sekarang sudah hampir pukul setengah 11 malam. Dimana coba aku bisa menemukan tempat print yang masih buka?!

Diam! Jangan ada yang coba merayuku untuk nekat ngeprint besok pagi saja. Sudah kubilang aku engga ada waktu lagi.

"Gimana dong??? Gimana dong???" Gumamku. Sialnya panik begini semakin bikin kepalaku mampet.

Andari engga punya printer sendiri, sama halnya denganku. Anfal punya, tapi benda elektronik memang suka ajaib. Pas lagi dibutuhkan printer Anfal tahu-tahu rusak, hasil print outnya cuma hitam putih mirip hidup mahasiswa semester 2 yang harus menghadapi TA karena program kampusnya yang kebut-kebutan. Aku ingin mengunyah setumpuk kertas kegagalanku, tapi sepertinya benda yang semakin hari semakin menebal ini lebih cocok dipakai untuk menggetok kepala seseorang. Kepalaku sendiri. Yang dengan briliannya menemukan ide ganti produk padahal tahu deadline sudah didepan mata.

Kertas-kertas itu sudah diatas kepalaku, tinggal satu sentakan untuk sebuah terpaan rasa pusing yang akan terasa lebih parah. Tapi kertas-kertas tersebut tertahan diudara. Aku mendongak pada pemilik suara yang ternyata menggunakan salah satu tangannya untuk menghentikan tindakan anehku.

Di Balik AwanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang