☁️3: Di Balik Pertandingan Itu☁️

220 33 0
                                    

Di Balik: 🌬Angin

Angkasa bilang, orang tidak akan bisa benar-benar membenci sesuatu yang pernah sangat dicintainya.

Aku percaya 2 tahun ini Awan hanya marah. Dan itu tidak mungkin bertahan selamanya. Nanti Awan pasti akan kembali berlari. Menggiring bola bundar berwarna oranye cerah untuk mendekati ring, lantas menembaknya dari titik tiga point dengan penuh bangga.

Atmosfer riuh yang mengisi stadion tetap gagal menjauhkanku dari perasaan sedih. Ternyata sudah lama juga aku kehilangan pemandangan itu. Tapi aku juga tidak bisa menghakimi Awan atas marahnya yang kekanakan.

Aku ingat betul bagaimana kecewanya Awan saat Om Darco—Ayahnya, menentang mentah-mentah keinginan Awan untuk mengambil program beasiswa Student Athlete dari salah satu kampus swasta tempat Angkasa berkuliah sekarang. Dari dulu, Om Darco memang hanya menghendaki anak-anaknya untuk mengikuti jejak pria yang merupakan salah satu pengacara kondang itu. Apalagi anak sulung Om Darco juga sukses menjadi jaksa setelah lulus dengan gelar Sarjana Hukum. Sedangkan bagi Awan semua itu sama sekali tidak adil.

Segala keberhasilan orang disekitar, yang kemudian dipaksakan sebagai standar ukur keberhasilan baginya adalah hal paling tidak masuk akal. Itu tidak lebih dari alasan-alasan egois yang memupuskan mimpi.

Meski aku selalu tahu keluarga Awan menyayangiku sebagai Windi kecil yang bertumbuh bersama putra bungsu mereka, itu tidak membuatku merasa kalau aku punya hak untuk ikut campur terlalu jauh. Sehingga hal terjauh yang dapat kulakukan waktu itu—ketika tiba-tiba saja Awan mendapati namanya telah terdaftar sebagai mahasiswa Ilmu Hukum—adalah melepas tiketku untuk menempuh pendidikan kedokteran supaya Awan tidak sepenuhnya merasa hilang ditempat kami sekarang.

Hei, kita tidak sedang bicara tentangku. Lagipula bukan masalah kok. Ternyata Psikologi juga bidang ilmu yang cukup menyenangkan.

Kulirik Awan yang menemaniku sambil menekuk wajah. Rasanya sungguh aneh menemukan sahabatku ini ada dibangku penonton. Padahal biasanya Awan yang jadi alasanku menonton suatu pertandingan basket.

Nice shoot, Sa!!!” aku mengangkat kedua jempol tangan setinggi-tingginya kepada Angkasa yang baru mencetak skor. Walaupun tidak yakin juga dia bisa lihat karena gadis setinggi 155 cm ini kebetulan dapat tempat di pojok yang jauh. Iya semua gara-gara Awan. Kami bahkan terlewat 5 menit pertama pertandingan karena benar-benar butuh usaha untuk memaksanya. Seperti ceritaku tadi, Awan masih marah. Apapun tentang basket mudah sekali membuatnya uring-uringan.

Tapi ia sudah membuatku menangis tadi siang. Kurasa baginya itu sudah jumlah maksimal dalam sehari. Jadi Awan memilih mengalah setelah macam-macam alasannya hanya kutanggapi dengan diam. Sudah seharusnya begitu. Malahan seharusnya aku boleh dapat lebih, satu pertandingan saja sepertinya masih kurang untuk menebus kebohongan Awan.

Benar juga...

Seharusnya aku boleh dapat lebih. Mungkin, seharusnya aku boleh minta penjelasan lebih mengenai gadis tadi? Karena Awan belum cerita apa-apa. Bantuan apa yang gadis itu maksud, dan siapa dia sampai Awan melewatkan perayaan ulang tahunku demi membantunya?

Tiba-tiba aku merasa janggal.

“Sekarang bukan cuma kamu yang ga mood nonton.”

“Apa, Di?” sahutnya sambil mengerjap. Kemungkinan Awan tidak menangkap suaraku dengan jelas. Tapi biar saja.

“Pertandingan basket ini?” ekspresiku berubah tajam. Begitu juga caraku menatapnya lurus-lurus. Keterlaluan kalau ini belum cukup untuk memaksa Awan menggali maksudku, “Awan, ini bukan pengalihan kan?”

“Dari apa memangnya?”

“Parah kalau ada hal lain yang berusaha kamu tutup-tutupi selain soal gadis tadi.”

“Serius, Di? Mau dibahas sekarang? Disini?”

Aku mencegah diriku untuk memberi respon yang lebih dari sekedar membuang muka. Tidak, pokoknya jangan sampai terpengaruh. Memberi Awan kesempatan untuk menunda sama saja dengan membukakan celah untuk cowok itu membuat lebih banyak pengalihan. Setelah satu lagi kebohongannya, Awan benar-benar tidak bisa dipercaya.

“Aku sekedar nolong anak kampus sebelah yang lagi bingung nyari tempat buat print revisian tugas akhirnya. Sesalah itu memangnya?”

Sebelum aku bisa simpulkan kamu sesalah itu atau tidak, Wan... cerita kamu ini terlalu melompat. Malah kedengaran kayak alasan saja. Jadinya, sekarang aku makin bertanya-tanya gimana kamu sampai bisa tahu permasalahan gadis itu? Kamu ketemu dia dimana memang? Awan kamu itu bukan tipe orang yang mau ngobrol apalagi cerita-cerita tanpa alasan sama orang random.

“Di, dia nangis sendirian didepan minimarket dan hampir nyakitin dirinya sendiri. Menurut kamu aku bisa pergi gitu aja seakan-akan ga lihat dia disana?”

Awan terdengar emosional. Caranya menjelaskan yang setengah membentak seketika membungkamku. Tapi Awan tidak berhutang maaf padaku karena itu. Karena jika yang semalam Awan lakukan adalah membantu gadis itu untuk tidak menyakiti dirinya, maka justru aku yang perlu minta maaf. Kecurigaan-kecurigaanku jelas berlebihan. Dan aku mungkin sudah bersikap tidak ramah tanpa alasan.

 🌬☁️🌬☁️

Haduh gimana ya, Windi...
Terlalu baik kadang bisa jadi engga baik😣

Di Balik AwanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang