☁️14: Di Balik Peter Pan☁️

112 29 1
                                    

Di Balik: Bintang⭐

Belum ada yang meninggalkan ruangan padahal sesi kelas bimbingan sudah diakhiri satu jam lalu. Sasmita—entah bagaimana—menemukan komposisi angka yang pas sehingga tabelnya balance dengan profit sesuai yang ditargetkan. Mendahului siapapun, ia juga sudah mendapat tanda tangan dosen setelah pekerjaannya diakui benar. Dan berkat pencapaian pesat Sasmita, semua orang kena imbasnya. Dosen memangkas batas waktu penyelesaian tabel harga dengan alasan, “Kalau sudah ada satu orang yang bisa, berarti bakal lebih mudah buat yang lainnya.” Sontak ultimatum tersebut meledakkan dua hal berbarengan. Pertama, sudah pasti otak kami. Dan kedua, perang dingin antar anggota kelas.

Selentingan pembicaraan terdengar dari sudut-sudut kelas. Beberapa dari kami menganggap Sasmita itu curang. Semestinya dia bisa kan kabari lewat grup dulu dan membagi trik pengerjaannya pada kami. Kalau langsung mengumpulkan hasil ke dosen begitu, seakan-akan ia memang sengaja tidak memberitahu supaya kami semua tertinggal. Sisanya—terlebih para cowok, memillih menyalahkan dosen. Menurut mereka Bapak Gendut itu sama sekali nggak berperi kemahasiswaan. Sementara aku tim yang tidak menyalahkan Sasmita atau dosen, tapi laptopku yang dengan manjanya ngadat di keadaan genting begini. Saat yang lain berkejaran menggarap revisi, aku hanya bisa melongo menonton mereka dari kursi.

“Pal, ini gimana ceritanya bisa dapet segini?”

“Gopal! Kolom yang ini tuh rumusnya apaan, woi?!”

Teriakan Andari melengking tidak henti. Orangnya sendiri sibuk wara-wiri menggendong laptop. Kalau Anfal telat meresponnya beberapa detik saja, Andari bakal langsung samperin cowok itu dengan menghentak-hentak nggak sabaran. “Lo budeg apa congek, hah?”

“Diem dulu, Gerandong! Dipikir gue ga lagi mumet!”

Andari itu haters Sasmita sejak awal. Setahuku dari SMA, Andari memang paling benci sama tipikal anak pintar yang medit dan nggak mau diajak kerja sama. Apalagi kalau orangnya suka cari muka ke guru atau dosen. Benar-benar bikin Andari muak. Jadi bisa ditebak pada situasi perang ini Andari ada di kubu mana. Walaupun butuh, Andari tetap gengsi tanya-tanya langsung ke Sasmita. Alhasil Anfal yang sekarang jadi tumbal. Lima menit sekali dia bolak-balik ke bangku Sasmita demi mengais pencerahan.

“Bi? Diem aja lo kayak upil!”

Aku langsung melirik Reymon sengit. Nggak terima dengan komentarnya. “Minggat lo penyamun!”

Reymon membetulkan letak tas yang ia sampirkan pada bahu, “Lah, ini juga gue mau minggat. Bisa gila gue lama-lama dimari.” Cowok itu menutup ucapannya sambil bergidik. Lantas berjalan keluar melewati pintu kelas tanpa menyapa seorang pun.

Tiba-tiba aku jadi termotivasi. Kuangkut bawaanku meninggalkan bangku. Dengan langkah selebar bahu aku mengikuti jejak Reymon karena cowok itu ada benarnya. Daripada cuma jadi upil di dalam kelas, kenapa aku nggak pulang saja?

Setibanya di kost, aku baru teringat kalau tadi aku main pergi dan nggak pamit dulu pada Anfal maupun Andari. Sekalipun kelihatannya dua sahabatku pasti terlalu sibuk untuk menyadari kalau Bintang menghilang, aku tetap merasa perlu mengabari mereka via Whatsapp. Ketimbang repot chat Andari dan Anfal satu-satu, kuketik saja pesannya di grup kami bertiga. Selesai, aku berpindah aplikasi. Main ke twitter sebentar cuma mau bikin tweet curhat.

Aku hendak ganti baju saat layar ponselku berubah abu-abu menandakan ada panggilan masuk. Nomor Kak Ge.

“Kenapa lagi?” sambar Kak Ge begitu teleponnya kujawab.

Aku mengernyit kurang paham dengan pertanyaan pendeknya, “Kenapa apa?”

“Itu tweet kamu?”

Di Balik AwanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang