☁️27: Di Balik Kesedihan Yang Mengering☁️

195 25 12
                                    

[Beberapa Saat Sebelumnya]

Dibalik: 🌬Angin

Ini sore yang berangin. Bila aku menangis di luar, pasti air mataku yang jatuh bisa cepat kering. Aku tahu ini bodoh, tapi aku bisa bayangkan sensasi dari helaian rambut yang merekat pada bekas jalur basah di sekitar kulit pipi. Akan sedikit sakit saat coba ditarik. Ternyata memang demikian, ya? Kesedihan yang mengering pun, masih meninggalkan jejak.

Selimut putih yang kusut. Ternoda bersama seseorang di baliknya. Hari-hari yang kuhadapi usai malam yang kacau itu, telak sudah menguras kesedihanku. Seluruhnya hingga titik paling rendah di mana aku mengasihani diriku sendiri. Emosi yang kukira seruah lautan, terkuras oleh satu orang.

Lalu, disini aku. Meraba-raba setiap hari baru. Dengan pertanyaan yang selalu satu, "Apakah perasaan yang memberiku pengalaman meremukkan ini benar-benar telah gugur?"

"Memang harus sejauh ini ya?"

Aku terkekeh seraya mendongak mengejar mata Angkasa, "Aku kan masih disini, Sa." Kuteguk minumanku tanpa ingin menikmati rasanya.

Wajah di hadapanku tampak begitu gelisah. Jarang-jarang seorang Angkasa membiarkan orang lain membaca ekspresinya. "Pergi bukan satu-satunya cara untuk menerima kok, Di. Kamu bisa tetap disini."

Tiba-tiba tanganku gemetar. Rasanya selembar tiket yang akan mengantarkan aku ke tempat baru, berubah menjadi sesuatu yang beratnya tidak sanggup kuatasi. Sesuatu... bernama perpisahan.

Seperti yang mereka bilang, tidak ada perpisahan yang ringan. Namun dengan surutnya kesedihanku, aku cukup percaya diri untuk berada di bandara hari ini. Pasti tidak akan seburuk itu. Tidak kusangka, sahabatku menemukan sebuah kalimat yang seketika membuat aku ingin diantar kembali pulang ke rumah. Apa sebenarnya masih tersisa sesuatu dalam hatiku?

"Iya, memang. Kamu sendiri yang paling tahu apa yang terbaik buat dirimu. Aku cuma kurang ngerti. Sikap kamu, keputusan kamu, cara kamu menempatkan diri seolah-olah semuanya kesalahan kamu begini. Di, yang harus bertanggung jawab atas tindakannya adalah Awan sendiri. Bukan kamu."

Angkasa menurunkan pundaknya setelah selesai memberondongku dengan kata-kata yang ajaibnya mampu ia lontarkan hanya dengan satu tarikan napas. Ia langsung sadar jika aku merasa terintimidasi. Jadi saat bicara kembali, nadanya terdengar jauh lebih lunak. Angkasa mencoba memberiku pengertian jika maksudnya bukan ingin membuatku goyah. Tapi aku lantas memaksa ia menelan kembali apapun yang masih ingin ia sampaikan dengan bersingut meraih ponsel dari balik parkaku.

Aku perlu bicara sebentar dengannya untuk mendengar kabar apapun. Dan tidak apa jika ia tidak minat berpanjang-panjang. Aku hanya butuh dengar suaranya. Suaranya yang tidak akan pernah terdengar seceria sebelumnya. Satu-satunya hal yang mampu membantuku mematahkan ego dan mengatasi hatiku yang sesekali kembali gamang.

🌬☁️🌬☁️

Dibalik: Bintang⭐

Melangkah teratur jadi sulit dengan semua sisa ketegangan di belakang leherku. Malah sebetulnya aku tidak benar-benar berjalan menggunakan sepasang kakiku ini, melainkan hanya membiarkan tubuhku terseret oleh pergerakan Kak Ge yang tidak sedikitpun kulepas lengannya karena aku sangat khawatir dia akan berbalik menuju halaman dan melanjutkan kebrutalan yang agaknya belum puas ia lancarkan.

Meski pertikaian bukan hal baru buatku mengingat hampir setiap hari Anfal dan Andari meributkan segala sesuatu, tapi tensi yang kurasakan ketika berdiri di antara Kak Ge dan Awan jelas sangat berbeda. Rasanya situasi tadi sedikit memberiku shock. Jantungku masih berdentam-dentam dan telapak tanganku dingin berkeringat. Tiba-tiba saja tangisanku pecah dengan keras padahal aku tidak merasa ingin melakukannya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 24, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Di Balik AwanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang