☁️18: Di Balik Midnight Cinema☁️

190 28 2
                                    

Di Balik: Bintang

Dari Angkringan Hujan, Andari dan Anfal bisa langsung lurus ke arah GOR untuk kembali ke rumah. Arah sebaliknya untuk Mas Iyan yang masih berencana nongkrong di tempat lain lagi. Belum puas mengumpulkan cerita sebelum bertemu pagi. Aku dan Awan menyusuri jalan yang sudah kami lewati ketika berangkat, hanya berpindah lajur.

“Ngantuk nggak, Bi?”

Suara Awan tersampaikan padaku berkat bantuan Angin, “Eh, mau gue gantiin bawa motornya?”

“Bukan.” Awan terkekeh dan aku yang ditatap lewat kaca spion malah meringis bodoh, “Udah pernah nonton Midnight Show belum?”

Kami berhenti karena lampu merah bersama empat pengendara motor lain. Jalan raya sudah mulai lengang dan tidak ada motor yang berada sangat dekat dengan kami, jadi aku bisa bicara lebih bebas, “Sama lo? Belum lah. Jangankan midnight show, terakhir kita janjian nonton jam 5 sore aja nggak jadi.”

Awan mengalihkan wajah dengan perlahan. Lehernya terdongak pada papan angka yang menyala menyajikan hitung mundur. Kurasa itu hanya aksi Awan demi menghindari kaca spion dan pantulan bayanganku. Begitu gas kembali diputar, suara yang menyelingi kami cuma berasal dari deru mesin motor dan terpaan angin.

Apa aku sudah membuat cowok itu tersinggung? Ya ampun, aku nggak mengira Awan benar-benar memikirkan ucapanku yang bernada candaan itu.

Aku pikir perjalanan kami bakal segera tersudahi di kostku setelah suasana yang berubah dingin di antara kami. Tapi aku keliru. Awan melipir masuk ke sebuah Mall dan sekarang kami berdua sedang naik lift menuju Cinema yang terletak pada lantai paling atas.

Kutoleh sekilas orang di sampingku. Kemudian aku geleng-geleng sendiri karena tersadar jika Awan melakukan hal itu lagi—memutuskan meski persetujuan atau penolakanku belum jelas. Aneh. Sikap Awan satu ini mengingatkan aku dengan ungkapan, ‘Bikin pertanyaan sendiri eh dijawab-jawab sendiri juga.’

“Lebih simple begini kan, ya? Nggak pakai janjian. Jadi nggak harus ada yang dikecewakan.” Nada sendu yang kudengar bikin aku enggan melihat wajahnya langsung.

Pintu lift terbuka dan Cinema berada tepat di hadapan kami. Ini bukan bioskop tempatku menunggunya 5 tahun lalu. Tetapi pada dasarnya aku memang mulai membenci bioskop mana pun sejak hari itu. Malah sebenarnya, dengan menyebut atau mendengar kata bioskop saja, dadaku serasa dilubangi. Memberiku perasaan kosong yang tidak menyenangkan.

“Sori ya, Bi. Soal semua yang gue kacaukan.”

Awan mengaitkan jemarinya seperti berusaha menegaskan kehadirannya. Sekaligus menyelipkan perasaan bersalah. Awan tahu ia sudah benar-benar terlambat tentang hari itu, namun setidaknya kali ini ia tidak membiarkanku berjalan di lobi Cinema seorang diri. Apalagi sampai harus berjam-jam menunggu.

“Gue melewatkan banyak hal dengan melewatkan kesempatan nonton bareng waktu itu.”

☁️⭐☁️⭐

/Sekolah Menengah Pertama/

Sekarang aku tengah membongkar isi lemari. Dan berujung muak karena tidak berhasil menemukan yang aku cari. BINTAAAAANG! Teriakku pada diri sendiri. Apa sih, esensinya koleksi kaos bola? Aku ini cewek. Dan sudah beranjak remaja. Setidak-tidaknya aku harus punya persiapan untuk menghadapi momen ini agar pengalaman pertamaku tidak jadi bencana. Tapi aku bahkan nggak punya rok apalagi gaun atau pakaian sejenisnya yang bakal membantuku membangun kesan cantik. Terus masa harus pakai jeans dan kaos bola? Mau bikin kesan yang bagaimana? Hei ini Bintang Arashi. Jatuh hati denganku itu bagaikan hukuman penalti, nggak bisa dihindari. Gitu? GA JELAS BANGET HUEEEEK!

Di Balik AwanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang