☁️16: Di Balik Bintang Kesepian☁️

134 30 7
                                    

Go on and take my heart and break it
Go on and own it then corrupt it
Because i miss being in love before i watch it all slowly fall apart

-From a song: Break It -

Di Balik: Bintang⭐

Gedung kampus kami cuma dua tingkat. Tapi kalau naik tangga lagi ke rooftop, ada mushola kecil dan ruang organisasi-organisasi kampus. Biasanya di rooftop terik, jadi ketika siang hari mahasiswa-mahasiswa jarang berkunjung kecuali ada kepentingan, entah untuk menunaikan ibadah atau rapat organisasi.

Anfal, Andari dan aku di rooftop sekarang, lesehan di lantai balkon sambil senderan ke tembok mushola. Nggak ada kepentingan sebenarnya, hanya ingin cari suasana baru buat mengerjakan revisi. Karena disini kami bisa sesekali melihat langit yang berawan. Kan siapa tahu dapat inspirasi buat mem-balance-kan tabel.

"Ekhem... ekhem..." dengan random Andari menyenggol bahuku sambil mengeluarkan suara batuk yang dibuat-buat.

Aku menyorot Andari aneh, "Batuk Pak Haji?" komentarku tidak begitu tertarik.

Bukan Andari namanya kalau langsung menyerah, "Sapa tuch yang kmaren?"

"Apaan-apaan?" seperti dapat mencium bau gosip, Anfal langsung nimbrung. Bertanya dengan penasaran.

"Itu loh Bund... yang Mba Bi post di story kemarin."

"Yang mana nih, Bund?"

"Ish, Bunda kok kudet sih!" percakapan ala rumpi itu terjeda sebentar karena Andari harus merogoh ponsel demi menunjukkan pada Anfal story instagramku yang mana yang dia maksud. "Perhatiin perhatiin! Sepatunya bukan sepatu Mba Bi loh ini." ujar Andari menyaingi sebuah kompor gas.

Anfal menangkup pipi seolah tercengang mendengar teori Andari yang mind blowing, "Ya ampun Bunda!" ujung jari cowok itu mentowel lututku, "Habis having fun sama siapa hayo?"

Aku mendengkus geram. Umpama nggak punya revisi yang masih harus dikebut, aku benar-benar bakal menjejalkan sepatu ke mulut dua biang rumpi itu. "Lo pada jangan gangguin dulu bisa nggak sih? Bikin tambah mumet aja!"

Untungnya setelah kusemprot Anfal dan Andari langsung diam. Tidak lagi melanjutkan ulah kepo mereka melihat targetnya yang belum apa-apa sudah sensi betulan.

"Windi apa kabar ya, Dar?" celetuk Anfal yang kemudian memilih mengganti topik. Ia berusaha menormalkan suasana dengan mulai mencamil makaroni pedas.

"Mana gue tahu!" Andari bersungut-sungut, "Nanya ke gue, emang gue bapaknya!" masih sama seperti waktu itu, Andari tampak malas membicarakan Windi.

Anfal berdecak melihat Andari kembali meluruskan wajah pada laptop dengan sinis, "Tapi lo kan temennya..."

"Mantan temen ya Gopal! Mantan. Temen. Catet!"

"Dih, ada gitu mantan temen?"

Sementara mereka berdua ribut-ribut, aku sedang panik karena baru saja mendapat peringatan baterai lemah dari sistem macbook Awan. Yang jadi masalah, kemarin aku tidak menemukan charger di dalam tas macbook-entah Awan lupa memasukkannya atau bagaimana. Sebelum macbook habis daya total, buru-buru kugunakan kombinasi CTRL+S untuk mengamankan dokumen yang sudah kuedit. Selisih pada tabelku tinggal lima ribu sekian ratus rupiah saja, bisa nangis dua hari aku kalau hasil revisi seharian ini sampai nggak tersimpan.

Aku mengirim pesan pada Awan. Tidak terpikir solusi lain kecuali menanyakan charger yang kubutuhkan pada si pemilik macbook. Tentu saja aku nggak tahu apakah Awan punya jadwal kelas yang harus dihadiri atau tidak. Tapi semoga cowok itu ada di kampus sekarang. Nggak enak juga misal harus memintanya jauh-jauh datang cuma buat mengantar charger. Masa sudah dikasih pinjem masih mau bikin repot lagi.

Di Balik AwanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang