☁️10: Di Balik Intensinya☁️

121 31 4
                                    

My attention for you
Even if it's not what you need

- From a song: Affection -

☁️⭐☁️⭐

Di Balik: Bintang⭐

"Wah, bener-bener reunian ya kita tadi?"

Aku nyaman memeluk guling dibalik selimut yang kunaikkan sampai batas leher. Sudah mengatur posisi duluan karena terlalu malas menunggu Andari yang belum juga keluar kamar mandi. Masih mempraktekkan serangkaian step mencuci muka ala korea.

"Beteweee... yakin nih cuma temen biasa?" muka berbusa Andari muncul mengintip dari balik dinding, dan aku hanya bisa menyesali aksi iseng-iseng waktu di mobil tadi yang malah berbuntut banyak. Awan memilih diam seribu bahasa sehingga kami terjebak dalam kecanggungan sepanjang jalan. Setelahnya aku juga masih harus berurusan dengan rasa ingin tahu Andari yang nggak kalah merepotkan.

Begitu kami masuk kamar kost, si miss rumpi langsung tancap gas memberondongku dengan segala pertanyaan yang entah sejak kapan sudah ia siapkan. Karena aku tahu Andari belum akan berhenti menggangguku sebelum dapat yang ia mau, malam ini akhirnya aku membagikan cerita masa SMP itu. Dimana aku sempat mengenal seseorang yang kemudian Andari kenal sebagai siswa pindahan di sekolahnya. Awan itu senang sekali mengusili aku pakai bola basketnya, tapi kemudian kami memang jadi berteman setelah ia membantuku memperbaiki rantai sepeda yang lepas. Seputar hal-hal tersebut saja yang aku rangkum tentang 'kami.' Sementara bagian yang lebih jauh, kupikir tidak perlu membahasnya karena yang terjadi memang hanya tentang aku.

"Asli, Bi? Jadi lo emang pernah ada something sama Awan?"

Astaga aku bahkan nggak jawab apa-apa! Tapi Andari malah makin percaya diri dengan kesimpulan seenak jidat yang ia buat. "Ngawur!" semburku malas.

Kumiringkan badan lantas menaikkan selimut sampai keatas kepala berharap bisa menghindari kelanjutan ocehan Andari. Sayangnya cara ini nggak berhasil sama sekali.

"HELAAWWW??? Nomor lo masih di save sama si Awan loh, cuy???" bisa aku tebak Andari sudah terngkurap di sampingku sambil scroll layar ponsel. Di jarak sedekat ini suaranya tambah ngeselin saja.

"Ya terus?" aku balik bertanya dengan ketus.

Andari mendengus, "Menurut gue itu cukup membuktikan sesuatu."

"Yaelah, Dar... kan gue emang belum pernah ganti nomor dari pas SMP."

"Ya tapi Bi... orang tuh biasanya bakal hapus-hapusin daftar kontak yang sekiranya nggak penting. Nah si Awan tetap nggak hapus nomor lo tuh, padahal kalian juga nggak pernah komunikasi lagi."

Di balik persembunyian bibirku mencebik. Andari ini nggak asik sekali! Dia nggak tahu ya kalau dari tadi sebetulnya aku berusaha keras buat nggak usah mencari tahu kenapa Awan masih menyimpan nomorku. Sekarang berkat teori panjangnya, pertanyaan-pertanyaan itu semakin nggak bisa hilang.

"Awan nggak bilang iya kalau itu nomornya."

"Justru dengan doi diem, artinya doi ngaku, hissh!" kayaknya Andari mulai geregetan menghadapi sahabatnya yang terus terusan denial, "Masalahnya nggak mungkin Awan main iya iya aja waktu ada ceweknya."

Sudah tentu aku nggak bakal memberitahu ini pada siapapun. Tapi belakangan hubungan di antara Awan dan Windi masih cukup sering mengisi benakku tanpa sadar. Aku menyimpulkan hal yang sama seperti yang Andari tangkap. Windi dan Awan itu tidak tersangkal. Bahkan bukan cuma foto-foto kebersaman mereka yang dapat kutemukan di rumah Windi. Awan pun ada di sana, berkeliaran dengan santai seperti rumah Windi adalah rumahnya sendiri. Kusibak selimut karena tiba-tiba rasanya gerah. Tapi dengan semua kejelasan itupun, tetap sesulit ini untuk menghentikan diri sendiri untuk tidak bertanya ulang perihal mereka, "Oh... jadi Windi emang pacarnya Awan ya, Dar?"

Di Balik AwanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang