☁️11: Di Balik Ketidaktahuan☁️

138 32 4
                                    

And I know that it's wrong
That I can't move on
But there's something about you

Everything comes back to you

- From a song: This Town -

Di Balik: Bintang⭐

Ini hari yang panas. Kumpul di kost bukan ide bagus mengingat aku nggak pasang AC di sana. Mau mengandalkan satu kipas lantaiku juga mana ada efeknya. Aku yakin kami bertiga malah akan berantem berebut menguasai kipas kecil yang sudah nggak bisa menengok ke kanan dan ke kiri itu. Sebagai opsi kedua, aku, Andari dan Anfal akhirnya cari kursi di pujasera. Meskipun tempat ini semi outdoor tapi ada beberapa kipas blower yang lumayan membantu mengurangi gerah.

“Nongkrong dimari tuh bonusnya cuci mata,” Andari mesem-mesem, bola matanya aktif berlarian mengabsen cowok-cowok yang lewat, “Kenapa yaa cowok kampus sebelah seger-seger banget? Nggak kayak cowok di kampus sendiri,” memindai Anfal perlahan-lahan membuat raut cewek itu berubah bete, “Sepet mukanya!”

Aku sampai tersedak gara-gara komentar yang agak keterlaluan jujur itu. Buru-buru kujauhkan kakiku dari pijakan di bawah meja saat Anfal mulai bergerak membabi buta mencari sasaran balas dendamnya, sepatu Andari.

“Nanti kalo excell lo nggak balance, gausah ya pake nangis-nangis ke gue!” ancam Anfal yang otomatis bikin Andari ciut.

“Becanda ya, Babe...” rayunya sambil kedip-kedip bulu mata, “Kamu tetap yang terganteng—diantara kita bertiga.” Tapi pujian setengah hati itu ternyata masih nggak mempan buat bikin Anfal berhenti ngambek.

Sebelum Andari menodongku minta dibantu membujuk Anfal, aku melarikan diri ke stan abang batagor. Sengaja memilih stan yang antreannya paling panjang supaya waktu kembali ke meja nanti perang saudaranya sudah mereda dan aku bisa makan dengan tentram. Padahal rencananya aku cuma bakal jajan es disini, tapi sehabis puas menonton tingkah konyol kedua sahabatku, tahu-tahu aku jadi lapar.

Sepiring batagor dengan siraman saus kacang, kecap dan sesendok sambal sampai di tanganku sekitar 15 menit kemudian. Aku sempat melipir ke tempat sampah untuk membuang acar mentimun dari piringku karena aku memang tidak suka. Padahal seingatku, aku sudah request nggak usah acar ke Abang Batagornya. Pasti nggak ngeh berhubung memang lagi banyak pembeli.

“Bintang!”

Saat menoleh, aku mendapati Awan berjalan menyela beberapa orang. Awan tampak cukup rapi memakai setelan kemeja warna silver yang dipadukannya dengan celana bahan meski ia belum mau memasang almamater dan malah menenteng-nenteng identitas kampus tersebut di tangan. Mungkin agar penampilannya tidak terkesan terlalu formal untuk mampir ke sebuah tempat makan.

“Lagi cari makan siang?”

Aku mendesah. Dengan atau tanpa sepeda gunung keren miliknya, Awan selalu berhasil menyusulku. Tapi masa aku harus sembunyi sepanjang hari di dalam kamar kostku kalau tidak ingin bertemu cowok ini?

“Udah dapet nih.” Pertanyaannya sekedar kujawab singkat sembari mengangkat piring.

Awan ber-oh ria. Cepat-cepat ia mengklaim tempat kosong di dekat kami dengan meletakkan almamater dan kunci motornya keatas meja. Untuk beberapa saat, Awan hanya berdiri sambil menggerayangi leher. Aku tahu ia mau bilang sesuatu, tapi sepertinya sikapku yang tidak begitu ramah sedikit membuat cowok itu ragu. “Mau makan bareng?”

Di Balik AwanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang