☁️19: Di Balik Unit 307☁️

142 26 0
                                    

Di Balik: 🌬Angin

Memiliki pengharapan itu baik. Tapi kau harus tahu jika tidak semua hal berjalan baik. Maksudku, kekecewaan bukan sesuatu yang ringan. Itu tidak menyenangkan. Jika ada kesempatan untuk menghindarinya, kenapa tidak sekalian lari yang jauh saja?

Aku menggeleng. Meninggalkan sejilid karangan yang aku baca pada penutup bagian tiga puluh di mana monolog tokoh utama dimuat. Kurasa aku tidak akan melanjutkan satu judul dari penulis kesukaanku ini. Aku tidak tahan dengan kegamangan tokoh 'Aku' yang terkadang seperti ikut memengaruhiku.

Memang benar jika kekecewaan bukan sesuatu yang ringan. Tapi mau lari kemana kalau sumber kecewanya tidak lain adalah diri sendiri? Kita tidak bisa meletakkan kecewa pada siapapun, bukan? Sebab kecewa adalah tanggung jawab kita sendiri sebagai pemilik ekspektasi.

Dan itu juga bukan tanggung jawab Awan, kalau aku kecewa karena mengetahui alasan yang menyudahi kemarahannya bukanlah aku.

Itu hanya... benar-benar mengecewakan untuk melihat dirimu yang sudah mencoba setiap waktu, tidak mampu melakukan sebaik seseorang yang tiba-tiba datang.

"Ayo, Di! Keburu terang!"

Seruan Angkasa membuat lamunanku terhenti. Aku segera menyusulnya menuruni tangga, sudah siap dengan setelan kaos longgar, training dan sepatu lari. Kami mampir dulu ke dapur buat mencomot selembar roti. Sekalian mengambil bekal sebotol air untuk dibawa jogging pagi. Ngomong-ngomong, aku nggak hanya akan olahraga berdua dengan Angkasa, tapi Awan juga akan ikut! Karena rute yang kami tentukan akan melewati kawasan apartemen Awan, jadi kami bakal sekalian menyusul cowok itu.

"Serius nggak capek, Sa? Kamu kan semalem baru dateng." Aku berjalan di belakang Angkasa dengan mengaitkan kedua tanganku pada pundak cowok itu. Mirip anak kecil yang mau main kereta-keretaan.

"Aneh," Angkasa menukar posisi kami sehingga sekarang aku yang dijadikan kepala kereta. Merasa menempatkan yang pendek di depan begini lebih aman berhubung tingkahku sudah semakin menjadi-jadi sampai hampir bikin ia terjengkang, "Tanya capek kok ke yang tiap hari kerjaannya lari keliling lapangan."

Aku tertawa karena jawaban Angkasa ada benarnya.

"Mas Angkasa ini bolanya ndak jadi dibawa?" teriak Pak Narto-supir Tante Farah-dari dalam garasi. Sehingga aku dan Angkasa yang baru sampai di pekarangan kompak menahan langkah. Angkasa berbalik lantas berlari kecil untuk mengambil bola bundar yang memang ia request sebelum mandi tadi.

Pak Narto melambungkan bola dari balik mobil yang belum dikeluarkan dan Angkasa dapat menangkapnya dengan mudah, "Makasih, Pak! Berangkat dulu, ya."

"Siap, Mas. Hati-hati!"

Sejurus kemudian Angkasa kembali menyusulku. Kami melanjutkan ayunan kaki dengan aku yang bersukarela membawakan bolanya. Untung saja si karet bundar ini tidak betulan tertinggal. Takut saja kalau tidak dibawakan bola Awan malah bakal cari-cari alasan untuk mengubah agenda kami. Masalahnya aku juga belum tahu pasti apakah Awan sudah bersemangat penuh soal basket atau sebetulnya sore itu ia tiba-tiba main cuma karena Bintang.

Sambil mengisi paru-paru dengan sejuknya udara, kami mengobrol banyak mengenai gelaran turnamen basket yang sayangnya tidak bisa kutonton penuh karena setiap babak diselenggarakan di kota yang berbeda-beda. Mendengar cerita-ceritanya, bisa aku lihat seberapa ambisius Angkasa tentang turnamen kali ini. Maksudku, Angkasa memang selalu menaruh fokus penuh pada setiap pertandingan, bedanya untuk sekarang ia tidak hanya memiliki target sebagai tim melainkan juga target untuk diri sendiri. Angkasa bilang, 10 pemain peraih penghargaan akan mendapat kesempatan istimewa yaitu mengikuti training dengan pemain basket internasional di Singapura, jadi cowok itu berusaha mengamankan salah satu dari nominasi.

Di Balik AwanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang